Bab.7 Memanas

1525 Kata
"Pulang sana! Kamu kenapa seperti orang yang tidak punya kerjaan dari tadi merecoki aku terus?!" dengus Ibra kesal mengusir Bian dari kantornya. "Sialan! Sejak kemarin aku mengkhawatirkan kalian, bahkan dari bandara langsung ke sini tapi malah begini tanggapanmu. Dasar teman tidak tahu diuntung!" maki Bian dengan tatapan jengkelnya. Ibra terkekeh, dia hanya kesal karena si tukang nyinyir itu sejak datang sudah membuyarkan konsentrasi kerjanya dengan tidak ada henti-hentinya bertanya. Kemarin pagi Bian memang berangkat ke Batam dan baru pulang sekarang, jadi wajar kalau dia ikut ketar-ketir saat tahu studio Freya dan hotel Ibra yang diobrak-abrik orang suruhan Budiman Anggoro. "Siapa suruh dari tadi kamu terus saja mengoceh!" ucap Ibra meletakkan berkas terakhir yang baru saja selesai dia tandatangani. "Budiman mau kamu lempar kembali ke penjara atau mau kamu paketkan ke akhirat?" tanya Bian yang duduk di kursi depan meja kerja Ibra itu. "Tentu saja akan aku oper ke neraka menyusul Riana. Bukankah memang itu yang dia harapkan, bertemu dengan anak kesayangannya." sahut Ibra. "Sebenarnya kasihan juga, karena dia sama seperti Riana yang jadi korban hasutan Agung Prayoga dan anaknya." ujar Bian. "Terus menurutmu aku harus biarkan dia masuk penjara lagi dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa begitu? Jangan harap! Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan anak istriku dengan memberinya kesempatan hidup lebih lama lagi." tegas Ibra. "Dia punya otak untuk berpikir dan waktu untuk menimbang tawaran dari Agung Prayoga juga anaknya. Budiman tidak bodoh, sejak awal dia tahu apa resiko berurusan denganku. Jadi tidak ada alasan aku memberinya kesempatan kedua untuk dia menebus kesalahannya di penjara," lanjutnya. Bian mengangguk setuju, penembakan di puncak dan teror-teror Budiman jelas bukan cuma gertakan. Lengah sedikit saja, mereka yakin pria tua itu benar-benar akan mencelakai Ibra dan keluarganya. "Kapan kamu mau main ke gudang?" tanya Bian. "Nanti malam," jawab Ibra sambil berdiri mengenakan jasnya. Dia juga meraih ponselnya di atas meja dan bersiap untuk pulang. ''Asik, mau dapat tontonan gratis!" serunya mengikuti langkah Ibra keluar. Mengulur waktu memang bukan pilihan yang tepat. Ibra ingin semua kerusuhan ini segera selesai, sehingga istrinya tidak perlu lagi terkekang dalam ketakutan. Baik Budiman Anggoro maupun orang di belakangnya, mereka akan membayar semua kelancangannya yang telah berani mengusik keluarganya. "Itu muka kenapa butek kayak air kali tercemar limbah begitu Sat?" cibir Bian saat lift mereka berhenti dan Satria masuk bersama Rena di belakangnya. Satria tidak menjawab, dia tetap saja diam dengan wajah kecutnya. Rena yang berdiri di pojok lift hanya meringis saat Bian meliriknya. "Sok jual mahal, giliran ditinggal nangis guling-guling. Maunya apa coba?" sindir Ibra. "Mulut sialan!" sahut Satria ketus, sontak Bian tertawa ngakak tahu apa yang dimaksud Ibra. "Aku lagi ngomongin Cello, kenapa jadi kamu yang merasa tersindir? Kelakuan bocah kan memang begitu," balas Ibra. "Pak dokter ganteng apa kabar Ren?" ucap Bian seperti sengaja memanas-manasi Satria. "Baik, Bang Rendra lagi nunggu di luar kok." jawab Rena. "Oh … pantas langsung panas," gumam Bian mengulum senyum menatap Satria yang melengos kesal. "Siap-siap drama patah hati berjilid-jilid," tambah Ibra. Satria mendengus keras karena dirinya jadi bahan ledekan mereka, sedang Rena masih mengernyit tidak paham maksud obrolan mereka yang membuat Bian sampai tertawa sekeras itu. Begitu lift berhenti di lantai satu mereka segera melangkah keluar. Ibra dan Satria hanya mengangguk saat beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan menyapa mereka sopan. "Ren …" Mereka menoleh dan menghentikan langkah kakinya saat melihat Rendra yang duduk di lobi mendekat menghampiri Rena. "Kalian mau kencan kemana?" tanya Bian. "Cuma mau mengajak Rena makan malam kok, soalnya tadi siang dia sibuk jadi rencana makan bareng kami terpaksa batal." jawab Rendra. Ibra melirik Satria yang masih betah membungkam seolah tidak tahu apa-apa. Padahal semua gara-gara ulahnya yang sengaja tidak membiarkan Rena pergi bersama Rendra. "Kami duluan yang Bang," pamit Rena ke Ibra dan Bian. Saat matanya tertuju ke Satria, bosnya itu justru membuang muka masamnya. "Habis makan jangan langsung diantar pulang, ajak nonton dulu juga tidak apa-apa. Biar Rena tidak stres setiap hari menghadapi bosnya yang kurang waras," sindir Bian. Rendra hanya tersenyum, lalu beranjak pergi bersama Rena. Menyisakan Ibra dan Bian yang tersenyum geli melihat Satria kelicatan dibakar cemburu. "Panas ya Sat, lihat mantan digandeng orang?" ledek Bian tertawa cekikikan menyusul dan merangkul Ibra yang sudah lebih dulu melanjutkan langkahnya keluar. "Bego dipelihara, sok cuek padahal masih ngarep balikan!" ucap Bian menggeleng. "Mobilmu mana? Kenapa nempel terus kayak lintah?" sungut Ibra kesal karena Bian yang malah ikut naik ke mobilnya. "Sopirku sudah pulang," jawabnya setelah duduk di bangku penumpang tanpa peduli dengan wajah masam sahabatnya. Toh biarpun tidak sedang kesal muka Ibra memang sudah butek dari sananya. Mobil yang dikemudikan Ibra perlahan melaju meninggalkan area parkir khusus LinZone, namun saat sampai di pintu keluar tiba-tiba sebuah mobil datang memotong jalan dan menghadang tepat di depan mereka. Suara rem mobil berderit keras, kalau saja Ibra telat menginjak remnya sudah pasti mobil mereka bertabrakan. ''Sialan!" umpat Bian keras sambil mengusap bibirnya yang terbentur dashboard mobil. Tadi dia tidak langsung mengenakan sabuk pengaman, akibatnya begitu Ibra mengerem mendadak Bian terdorong keras ke depan. Ibra menyeringai melihat siapa pria yang kemudian turun dari mobil di depan sana. Semalam dia masih bisa dengan pongah sengaja datang ke hotel mengejeknya, tapi lihatlah sekarang Arya Prayoga seperti orang kebakaran jenggot. "Mau apa lagi banci satu itu?" dengus Bian. "Dasar goblokk dia! Dengan datang melabrak kesini justru sama halnya membuka kartunya sendiri," ucap Ibra, lalu turun menemui Arya Prayoga yang mendelik sengit di depan mobilnya. "Sepertinya orang tuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun, jadi kamu juga tidak tahu tata krama bertamu ke rumah orang." cibir Ibra. "Tidak usah banyak mulut! Katakan apa maumu sebenarnya sampai berani membakar villaku dan membobol data perusahaan kami?!" bentaknya dengan mata berkilat marah. "Wah, fitnah itu namanya! Pantai tempat umum, lalu apa salahnya kalau aku juga datang jalan-jalan ke sana?" Bian tertawa tergelak mendengar Ibra yang dengan tak kalah menyebalkan membalas ucapan Arya Prayoga saat penembakan di puncak dua hari yang lalu. Merasa dirinya diremehkan, Arya Prayoga menyambar kerah kemeja Ibra dan menariknya dengan wajah merah padam. Ibra tertawa terkekeh, menikmati kemarahan Arya Prayoga yang begitu menyenangkan baginya. "Apa yang kamu lakukan sudah melewati batas. Asal kamu tahu, kami bukan orang yang bisa seenaknya kamu usik keparatt!" makinya keras. Tawa Ibra semakin lebar, lalu mencengkram tangan pria itu dan mendorong keras hingga terhuyung ke belakang. "Seharusnya aku yang mengatakan itu pada kalian, jangan coba-coba menyulut masalah denganku. Kelakuanmu tidak lebih dari seorang banci yang beraninya hanya bersembunyi di belakang Budiman Anggoro," ucap Ibra. "Berengsek! Mulut sialan!" Arya Prayoga yang sudah tidak bisa menahan emosinya menghambur maju dengan tangan terkepal mengarah ke wajah Ibra. Namun, sedetik kemudian justru dia sendiri yang jatuh terjungkal membentur keras mobil di belakangnya. "Bangsatt! Jadi kamu orang yang sudah membantu tua bangka itu menghancurkan studio kakakku dan membuatnya ketakutan!" "Wah, slow Sat! Dia bukan Rendra," cibir Bian cengengesan melihat Satria menatap Arya prayoga marah setelah menghajar pria itu dengan tinjunya. Ibra menoleh ke sekeliling, keributan mereka sudah mulai memancing perhatian para pegawainya. Bahkan beberapa pihak keamanan kantornya juga berdiri siaga di belakangnya. "Teruslah berulah di sini kalau kamu memang tidak malu jadi tontonan! Ini baru permulaan. Apapun alasanmu sampai berani mengambil resiko membantu tua bangka itu kabur dan mengusik keluargaku, aku pasti akan membuat kalian membayarnya dengan harga yang setimpal!" tegas Ibra memperingatkan Arya Prayoga yang berdiri menyandar mobilnya sambil meringis. "Jangan merasa di atas angin hanya karena bisa membakar vilaku dan mencuri data perusahaan kami! Permainan kita belum berakhir, kamu juga harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan!" ucapnya. Baru saja dia berbalik hendak masuk ke mobilnya, Ibra kembali membuat pria itu meradang. "Ayahmu sudah terlalu tua, bilang padanya untuk tidak banyak tingkah kalau tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Kamu pasti tahu, aku bahkan lebih dari mampu untuk membuatnya menemani Budiman Anggoro menyusul anak kesayangannya." "Berani kamu mengusiknya, aku pastikan kamu akan menyesal seumur hidup!" ucap Arya Prayoga. "Kalau begitu kalian boleh buktikan, karena tidak ada yang perlu aku takuti dari banci pengecut sepertimu!" Arya Prayoga menggeram marah, niatnya kembali maju mendekat terhalang oleh Satria yang lebih dulu menghadangnya. "Aku seperti pernah melihatmu dulu di tempat Andra," ucap Satria dengan mata menelisik menatap pria di depannya itu awas. Dia berusaha keras menggali ingatannya, sedang Arya Prayoga tampak gelagapan. "Kamu pria yang datang bersama adik perempuan Andra. Iya kan?" Arya Prayoga tidak menjawab pertanyaan Satria, tapi buru-buru berbalik dan masuk ke mobilnya. Mereka hanya tersenyum menggeleng melihat pria itu mengemudikan mobilnya kencang meninggalkan tempat itu dengan suara gerungan kerasnya. "Jadi benar dia punya hubungan dengan adik Andra yang mati over dosis di toilet nightclub punya Ibra itu?" tanya Bian. "Punya hubungan atau tidaknya aku juga tidak tahu, tapi yang jelas mereka kenal dekat." ungkap Satria. "Apa peduliku! Kalau perlu aku akan melempar pria itu ke neraka supaya bisa bertanya sendiri ke adik Andra, siapa yang sudah memberinya obat hingga sampai mati over dosis di Mirror." ucap Ibra, lalu beranjak naik ke mobilnya. "Pulang Sat! Kalau masih panas karena ditinggal Rena yang pergi kencan dengan dokter ganteng, nanti malam bisa ikut ke gudang. Kita cuci mata di sana, pasti lebih menyenangkan daripada menonton kucing montok di Mirror." ajak Bian buru-buru menyusul Ibra. Satria mendengus keras, hanya orang edan yang cuci mata dengan menonton iparnya membantai tua bangka Budiman Anggoro.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN