Bab.9 Terkuak

1502 Kata
Budiman Anggoro terkapar mengenaskan dengan luka di sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal, lantai ruangan pengap itu sudah kotor belepotan darah. Meski tahu nyawanya akan segera berakhir di tangan Ibra, tapi bersikeras untuk tutup mulut justru akan membuat psikopat haus darah itu semakin menggila menyiksanya. Air mata pria tua itu mengalir, membayangkan penderitaan anak perempuannya yang pasti juga merasakan siksaan di tempat yang sama sebelum dihabisi. Semua salahnya, Budiman menyesal karena selalu menuruti keinginan Riana yang sudah jelas memang mengalami gangguan mental. Obsesi anaknya pada Aksa harus dibayar mahal dengan kehilangan nyawa di tangan Ibra, pria yang sebentar lagi akan mengantarnya bertemu Riana. "Helena, adik Andra yang mati overdosis di nightclub tempatmu itu adalah tunangan Arya. Mereka sudah berencana menikah, tapi wanita itu justru tiba-tiba mati tidak wajar." ungkap Budiman. Bukan hanya Ibra, mereka semua juga tertawa menggeleng. Satu lagi orang bodoh yang sudah antri mau mati di tangan Ibra karena kesalahpahaman itu. Dulu Ibra bahkan sampai bosan menjelaskan pada Andra, kalau dia tidak tahu menahu tentang kematian adiknya. Mirror tidak pernah bersentuhan dengan bisnis haram itu, lalu mana mungkin mereka menjual obat terlarang pada pengunjung di sana. "Lalu kenapa baru sekarang Arya Prayoga muncul? Kemana dia waktu Andra mati-matian ingin membalas dendam kematian adiknya?" cecar Ibra. "Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia enggan membantu Andra karena mereka berdua memang tidak pernah akur. Sejak awal Andra menentang keras hubungan adiknya dengan Arya, itu yang dulu aku dengar dari Agung Prayoga." jawab Budiman. Ibra menghela nafas kasar, masih menatap tajam sosok pria tua yang akhir-akhir ini sudah menebar teror dan menjadi ancaman bagi anak istrinya. Dia bukannya tidak punya hati, melihat keadaan Budiman yang terkapar bersimbah darah sempat terbesit rasa iba. Namun, Ibra tahu seberapa busuk hati pria ini. Membiarkannya hidup sama halnya mempertaruhkan nyawa anak dan istrinya, karena Budiman Anggoro pasti akan datang lagi menuntut balas. Bahkan meski tua bangka itu tahu kematian Riana mutlak karena salahnya sendiri. "Tolong ampuni aku. Apapun hukumannya akan aku terima, tapi jangan membunuhku. Aku mohon," ucapnya menghiba dengan tatapan memelas. "Terlambat, bukankah sejak awal kamu tahu resiko sudah berani mengusikku akan seperti ini." sahut Ibra. "Aku bersumpah tidak akan mengulanginya lagi, beri aku satu kesempatan lagi." "Jangan dengar dia, Ib! Manusia picik seperti dia tidak bisa dipegang ucapannya," seru Bian lantang mengingatkan Ibra untuk tidak menaruh iba pada Budiman. Pria tua itu menangis terisak, tapi seperti kata Ibra kalau penyesalannya sudah sangat terlambat. Tidak ada seorang pun yang bisa menjamin Budiman Anggoro akan melepas kesempatan balas dendam lagi, ketika suatu saat nanti menemukan celah untuk mencelakai keluarga Ibra. "Bersikaplah jantan layaknya laki-laki yang sanggup menerima konsekuensi dari kelakuanmu. Aku sangat tahu watakmu, jadi mana mungkin aku kembali mempertaruhkan nyawa anak istriku." tegas Ibra. Diantara senyap ruang bawah tanah yang pengap, suara letusan kembali menggelegar keras. Nafas mereka tercekat melihat Ibra dengan tatapan dinginnya menghabisi nyawa Budiman dengan dua tembakan tepat di jantungnya. Darah semakin banyak merembes mengotori lantai. Tubuh Budiman terkapar tidak berkutik lagi. Ibra memberikan senjata di tangannya ke Ryan, sebelum kemudian berbalik keluar dari sana. Namun, tatapannya terpaku pada sosok Jo yang entah sejak kapan datangnya sudah berdiri kaku di belakang mereka. "Ma … ma … mayat!" ucapnya gagap dengan wajah pucat pasi. Xena dan yang lain sontak menoleh. Sebelum sempat mereka melakukan apapun, Jo sudah lemas dan muntah-muntah. "Jo …" seru Xena panik, lalu bergegas menghampiri Johan. Sayangnya anak emak yang lugunya tidak ketulungan itu sudah keburu pingsan sebelum Xena sempat mendekat. Mereka mendecak keras, lalu buru-buru menolong Johan yang ambruk di lantai. Tragisnya lagi wajah dan baju Johan belepotan terkena muntahannya sendiri. "Jo …" Xena berkali-kali memanggil Johan sambil membersihkan wajahnya yang kotor dan bau muntahan. Meski kasihan, tapi tak urung Reza, Satria dan Bian tertawa terkekeh melihat kejadian konyol itu. Ini bahkan lebih lucu dari Aksa yang dulu juga muntah-muntah saat diajak kesana menonton Ibra membantai Andra. "Dasar anak emak, ngeyel sih!" ucap Reza. "Bantu aku bawa dia keluar dari sini dulu!" bentak Xena kesal. Dengan setengah diseret, Satria dan Reza kemudian memapah tubuh Johan keluar dari ruang bawah tanah. Mati-matian mereka menahan mual karena bau menyengat dari tubuh Jo yang belepotan muntahannya sendiri. Ibra mendengus, kalau saja Xena tidak mengabulkan rengekan Johan yang ngotot ikut ke gudang pasti tidak begini jadinya. "Siap-siap kena damprat mertuaku kalau Jo sampai pulang nangis mengadu ke emaknya, Ib." ucap Bian cengengesan. "Emaknya Jo juga mertuamu, dasar geblek!" sahut Ibra melirik kesal Bian. "Jangan-jangan nanti pingsannya sampai tujuh hari tujuh malam, bisa mengamuk nanti bunda dan Lovia." tambah Bian yang masih saja tidak berhenti tertawa. Ibra tidak mau ambil pusing, toh Herman Wijaya ayah Jo tidak mungkin akan mempermasalahkannya. Bahkan bisa jadi dia justru akan tertawa geli kalau mendengar cerita mereka. Pasti tidak ada yang menyangka, sosok ayah Jo juga tidak jarang bersinggungan dengan dunia hitam. Itulah kenapa dulu Herman Wijaya bisa membantu Ibra mendapatkan bukti kejahatan Budiman Anggoro. "Kalian bereskan dia!" titah Ibra ke Leon dan Ryan sebelum beranjak pergi bersama Bian dengan diikuti anjing peliharaannya. "Lalu bagaimana dengan Agung Prayoga dan anaknya, Ib? Mereka pasti masih akan terus membuat ulah," ucap Bian. "Kita coba korek lebih jauh tentang adik Andra. Aku yakin masalahnya tidak sesederhana itu. Apa alasan Andra menentang hubungan adiknya dengan Arya? Yang lebih penting lagi kita cari tahu seperti apa kehidupan Helana dan darimana dia dulu mendapatkan obat-obatan itu. Aku tidak akan diam saja dijadikan kambing hitam lagi!" Bian mengangguk setuju. Mungkin memang ada baiknya kalau menggali lagi soal kasus itu, supaya bisa meluruskan kesalahpahaman yang hingga kini masih terus berlarut-larut. Kematian Helena di Mirror benar-benar membuat Ibra ketiban sial karena terus disalahkan atas hal yang bahkan dia tidak tahu-menahu. *** "Ayo sini Jingga sama Mama, Papa kan mau berangkat kerja Nak!" bujuk Freya entah sudah keberapa kalinya, tapi Jingga masih saja nemplok di gendongan papanya tidak mau lepas. "Kita ke rumah Bang Ello yuk, lihat kura-kura!" ganti sang oma yang mengulurkan tangannya, tapi bocah itu tetap kukuh menggeleng. "Ikut Papa kerja," gumamnya merajuk. Ibra tertawa mencium gemas pipi gembul anaknya. Mungkin karena beberapa hari ini dia selalu pulang larut dan tidak punya waktu bersama kedua anaknya, jadi gadis kecilnya jadi makin manja begini. "Abang Langit mau ikut Papa juga nggak?" tanya Ibra ke anak laki-lakinya yang tetap anteng duduk di kursi makannya. "Mau," jawabnya kalem sambil mengangguk. "Bang, kenapa malah dituruti?" protes Freya kesal. "Tidak apa-apa, Yang. Kan beberapa hari belakangan ini mereka memang jarang bertemu aku kecuali pagi, itupun juga cuma sebentar." ucap Ibra. "Nggak boleh, bagaimana papa mau kerja kalau kalian ikut ke kantor?" sahut Freya. "Nggak usah manja Ndut, nanti papamu diambil Bang Ello." goda Satria. "Nggak boleh," seru Jingga dengan wajah galaknya. "Tuh Bang Ello datang mau ambil papamu!" ucap Satria sambil menunjuk ke arah ruang depan. "Ini papanya Jingga," ucapnya dengan suara cadel, kemudian mulai menangis memeluk papanya. Mereka mendengus melihat Satria yang tertawa senang sambil mengusap kepala Langit. Kelakuannya seperti anak kecil yang selalu sengaja cari ribut. "Dasar cengeng! Bang Langit dong, sudah ganteng, anteng lagi." ledeknya. "Bisa diam nggak kamu, Sat?!" bentak Ibra kesal. "Tidak usah diajak ke kantor! Biar saja nangis, paling juga sebentar sudah lupa lagi." ucap Freya. "Temani aku ke kantor, hari ini tidak ada meeting kok! Sekalian nanti kita makan siang di kafenya Lala," ajak Ibra ke istrinya. ''Sudah ikut saja sana, Frey!" sahut Jonathan yang tidak tega melihat cucu kesayangannya menangis sesenggukan. Benar kata menantunya, akhir-akhir ini Ibra memang jarang punya waktu untuk anaknya. "Nanti kebiasaan Pa, jadi rewel kalau Bang Ibra berangkat kerja." ujar Freya. "Cuma hari ini ya, besok Jingga tidak boleh nangis lagi kalau Papa mau kerja." "Iya," jawabnya mengangguk. "Bocah kok dipercaya," cibir Satria. "Ngaca dulu sana! Kamu yang sudah bangkotan saja juga sama tidak bisa dipercaya mulutnya. Sok nolak diajak balikan, tapi giliran mau ditinggal kencan anak orang dibentak-bentak." balas Ibra. "Jangan keterlaluan kamu, Sat! Aksa sama Sifa bisa marah kalau tahu Rena kamu perlakukan seenaknya seperti itu," tegur Jonathan. "Nggak Pa, Bang Ibra kok dipercaya." elaknya menatap jengkel ke Ibra. "Telepon Rena suruh kesini sekarang Yang, biar papa bisa tanya langsung ke orangnya!" ucap Ibra meminta istrinya memanggil mantan pacar Satria itu. "Sialan!" Mereka menggeleng melihat Satria dengan wajah kecutnya beranjak dari meja makan, lalu nyelonong pergi begitu saja. Jonathan dan Aida sudah tidak kurang-kurang menasehati Satria, tapi anaknya yang keras kepala itu tetap saja belum berniat memperbaiki hubungannya dengan Rena. Padahal tidak jarang saat libur Satria mengajak Rena dan Naya keluar makan juga jalan-jalan bertiga. Mereka benar-benar tidak paham apa mau Satria sebenarnya. "Ganti baju sana Yang, temani aku ke kantor!" "Terus nanti aku mau ngapain disana?" sahut Freya. "Main ke tempat Rena, biar kamu tahu kelakuan Satria yang suka seenaknya di kantor." ucap Ibra. Freya akhirnya mengalah, tidak tega mengecewakan kedua anaknya yang menatapnya penuh harap. Ibra kembali tersenyum dan mencium sayang kedua anaknya. Dia sudah berhasil menyingkirkan Budiman Anggoro, paling tidak ancaman untuk anak istrinya sudah berkurang. Sekarang tinggal mencari penyelesaian untuk meluruskan masalahnya dengan Agung Prayoga dan anaknya, itupun kalau mereka mau mendengarnya. Ibra tidak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan mereka seandainya masih berani mengusik dia dan keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN