Freya membuka mata saat tangannya yang meraba-raba hanya menemukan kasur kosong di sampingnya. Entah jam berapa suaminya pulang, sekarang dia tampak sedang tertidur pulas memeluk Jingga dan Langit yang merosot ke bawah lelap memeluk paha papanya.
Sejak mengajak kedua anaknya tidur di kamar mereka, Freya harus rela kehilangan pelukan hangat suaminya di saat tidur. Tidak, bahkan ketika terjaga pun Jingga selalu merengut marah kalau melihat papanya menempel memeluk Freya. Sifat posesif Ibra yang satu itu benar-benar menurun ke anak perempuannya. Jingga tidak pernah membiarkan siapapun dekat dengan papanya, kecuali Langit abangnya.
Perlahan Freya turun dari tempat tidur, lalu meraih dua botol kosong milik anaknya di atas nakas. Sudah hampir pukul tujuh, tapi dia sengaja tidak membangunkan suaminya yang sudah pasti baru sempat tidur beberapa jam.
"Pagi …" sapa Freya saat mendapati kedua orang tuanya dan Satria yang sedang sarapan bersama.
"Pagi Frey …" sahut mereka.
Freya menuang secangkir kopi, lalu menyusul mereka duduk di meja makan. Jonathan dan Aida tampak lega melihat wajah anaknya yang tak lagi murung seperti kemarin.
"Bang Ibra pulang jam berapa?" tanya Satria.
"Tidak tahu," jawab Freya menggeleng.
"Dirga bilang lobi hotel juga hancur berantakan."
Freya menghela nafas panjang, sudah terlalu pusing memikirkan keadaan yang makin hari justru kian mencekam. Setelah Seven dan hotel suaminya yang diteror, entah apalagi yang akan jadi target mereka selanjutnya. Sejak kemarin jantungnya sudah jumpalitan, apalagi saat dini hari tadi suaminya kembali tergopoh pergi dia sampai tidak bisa tidur lelap lagi.
"Tidak usah terlalu dipikirkan Frey, Papa yakin Ibra pasti bisa mengatasi semua secepatnya." ucap Jonathan berusaha menghibur anaknya yang tampak bengong menatap kopinya. Freya tersenyum mengangguk, tidak ingin beban pikirannya merusak suasana makan pagi mereka.
"Kamu tidak sarapan Frey?" tanya Aida.
"Nanti saja Ma, tunggu Bang Ibra bangun." sahut Freya.
"Enda kenapa sekarang jarang pulang Sat? Apa lagi sibuk dengan pekerjaannya?"
Satria mengangguk menjawab pertanyaan papanya yang tampak khawatir. Maklum biasanya paling tidak Enda seminggu sekali atau dua kali pulang bersama Dirga untuk menjenguk papanya dan si kembar, tapi ini sudah hampir dua minggu bocah itu tidak tampak batang hidungnya.
"Power Land sedang menyiapkan mega proyeknya Pa, Reza menggunakan kesempatan ini sekalian untuk menggembleng Enda." jelas Satria.
"Kalau Papa mau ketemu Enda nanti minta antar Kris saja, Pa." sahut Freya.
"Sekalian bawakan makan siang, nanti aku siapkan." tambah Aida.
Jonathan mengangguk, sejak setahun lalu saat Reza menerima tawaran Ibra dan Danang Pambudi untuk kembali memimpin Power Land, Enda juga mengalah mengikuti kakaknya bekerja di sana. Bagi mereka berdua ini adalah kesempatan untuk bisa lebih dekat dan memulai dari awal membangun hubungan persaudaraannya lagi.
Perhatian mereka kemudian tertuju pada Ibra yang baru keluar dari kamarnya dengan kedua tangan menggendong Langit dan Jingga. Kedua baby sitter nya buru-buru datang menghampiri momongannya, tapi Jingga mulai menangis memeluk leher papanya.
"Jingga mau sama Papa," ucapnya dengan suara cadel lucunya.
Freya hanya menggeleng, sudah biasa melihat anak perempuannya yang memang susah lepas dari papanya.
"Jingga mandi dulu, bau belum sikat gigi." bujuk Ibra yang ajaibnya langsung membuatnya diam mengangguk.
Setelah anaknya dibawa baby sitter untuk dimandikan, Ibra menyusul duduk di samping Freya. Sedikitpun dia tidak merasa canggung mencium pipi istrinya di depan mertua dan iparnya. Mereka sudah terbiasa melihat kelakuan bucin pria satu itu.
"Semalam Abang jam berapa pulang?" tanya Freya menatap suaminya yang menyeruput kopi sisanya.
"Jam lima," jawabnya.
"Rusaknya parah ya?" tanya Freya lagi, sedang mereka hanya diam menyimak.
"Lumayan, tapi tidak apa-apa karena mereka sudah membayarnya."
Satria mendongak, melihat senyum lebar iparnya dia bisa menebak kalau perburuan mereka pasti sudah membuahkan hasil.
"Siapa yang bayar?" Freya mengernyit bingung, tapi Ibra bukannya menjelaskan apa maksudnya justru beranjak menarik tangan istrinya bangun.
"Tanyanya ditunda dulu Yang, temani aku tidur sebentar." ucap Ibra, kemudian menguap menahan kantuk.
"Kamu tidak ke kantor, Bang?" seru Satria.
"Nanti agak siangan, sekarang mataku tidak bisa buat melek.'' jawab Ibra.
"Kalau mau tidur kenapa ajak aku? Nanti anak-anak ribut cari," ucap Freya menghentikan langkahnya, tapi Ibra tetap menarik tangannya.
"Titip anak-anak sebentar ya Ma?" seru Ibra ke mertuanya.
"Iya, nanti Mama ajak mereka main ke rumah Aksa biar tidak mengganggu kamu tidur." sahut Aida.
"Dasar menantu tidak tahu diri!" cibir Satria sinis.
"Mulutmu Sat!" tegur Jonathan.
"Memang iya kan Pa? Dia mau tidur dikeloni istrinya, malah mertua yang disuruh momong tuyulnya." gerutu Satria.
"Buruan berangkat sana kamu! Jangan selalu membuat Rena menunggu!" balas Ibra.
"Aku bosnya, dia datang telat juga bareng aku. Memangnya siapa yang berani mengomel?" sahutnya pongah.
"Aku bosmu, jadi berhak mengomel ke kalian?!" timpal Ibra sambil membuka pintu kamarnya.
"Sialan!" umpat Satria kesal, lalu beranjak bangun.
Jonathan dan Aida tersenyum menggeleng. Biarpun kelakuan mereka kadang seperti anak kecil yang masih suka ribut, tapi justru itu yang membuat Jonathan dan Aida bahagia. Bersyukur karena anak-anak dan menantunya selalu rukun.
"Aku berangkat kerja dulu Pa, Ma." pamit Satria menyambar jas dan tas kerjanya di sofa
Akhirnya Satria memang menerima tawaran Sifa untuk menjadikan Rena sebagai sekretarisnya. Itulah kenapa sejak hampir dua bulan ini Satria setiap hari mengantar jemput Rena. Benar-benar hanya sebagai sekretaris, tidak ada hubungan lebih meski keduanya adalah mantan.
"Padahal masih cinta, tapi sok malu-malu kucing mau ajak balikan. Nanti giliran Rena disambar beneran oleh Rendra, Satria pasti meweknya sampai berbulan-bulan kayak waktu di Singapura." ucap Aida terkekeh menatap Satria yang melangkah keluar sambil bersiul riang.
"Aku juga tidak paham sama maunya Satria, Ai. Efek samping operasi ginjalnya mungkin, otaknya jadi geser gitu." sahut Jonathan jengkel dengan kelakuan anaknya yang terkesan menarik ulur hubungannya dengan Rena.
Aida tertawa tergelak, tapi memang sikap Satria ke Rena selalu bikin gemas. Lagi mana mungkin Satria membiarkan Rena dimiliki orang lain, sedang dia saja sudah terlalu lengket dengan Naya yang terlanjur dianggapnya anak.
***
"Satria ada kan?" tanya Naresh yang datang bersama Ibra ke ruangan Satria.
"Ada di dalam," jawab Rena yang duduk di belakang mejanya.
Keduanya lalu masuk ke ruangan Satria setelah mengetuk pintu sebelumnya. Ipar sableng Ibra itu tampak sedang tekun menatap laptop di depannya, sesekali dia menunduk melihat berkas di tangannya seperti sedang mencocokkan sesuatu.
"Buatkan aku kopi, Sat!"
"Sialan! Kamu pikir aku pembantumu datang-datang minta dibuatkan kopi!"
Naresh tertawa terkekeh melihat Satria yang menggerutu kesal, tapi tetap beranjak ke sudut ruangannya menuang kopi permintaan Ibra. Dia kemudian menyusul duduk ke sofa dengan dua cangkir kopi yang diletakkan di atas meja.
"Xena bilang kalian sudah menangkap Budiman, terus rencana Bang Ibra apa?" tanya Satria.
"Mengorek mulutnya, lalu mengantarnya bertemu Riana." jawab Ibra.
"Kalau dia sudah tertangkap berarti Bang Aksa dan Sifa tidak perlu lagi khawatir akan jadi sasarannya," ucap Satria
"Logikanya memang begitu. Mereka tidak punya urusan dengan Agung Prayoga dan anaknya, jadi tidak mungkin jadi targetnya." sahut Naresh.
Satria melirik Ibra yang tengah meneguk kopinya. Wajahnya tampak jauh beda dengan beberapa hari lalu yang butek dan garang seperti singa lapar.
"Mereka pasti mengamuk villanya sudah kalian bakar," ucap Satria.
"Ibra bukan hanya membakar villanya, tapi juga menyuruhku membobol data perusahaannya. Sekarang mereka pasti sedang kalang kabut tidak karuan, karena beberapa data pentingnya sudah aku curi." timpal Naresh.
"Aku hanya membalas kiriman hadiah mereka. Arya Prayoga pasti tidak penasaran lagi seistimewa apa balasan hadiah dariku. Itu hanya peringatan supaya mereka tidak bermain-main denganku," ucap Ibra tampak puas.
Salah besar kalau mereka pikir bisa menggertaknya dengan meneror Seven dan hotelnya. Villa yang ludes Ibra bakar semalam mungkin tidak ada arti apa-apa bagi mereka, tapi data penting yang dibobol Naresh pasti membuat Agung Prayoga dan anaknya panik setengah mati. Itu lebih dari cukup membalas sikap pengecut mereka yang sengaja mendorong Budiman Anggoro maju membuat gaduh.
"Ren … Rena," seru Satria.
Rena muncul dari balik pintu dengan beberapa berkas di tangannya. Dia mendekat, mengulurkan berkas bawaannya ke Ibra.
"Ini hasil meeting tadi pagi," ucapnya.
Ibra mengangguk menerimanya, baru saja Rena mau beranjak pergi Satria sudah mulai rewel lagi.
"Aku mau kopi."
"Tidak usah Ren, tangannya tidak patah bisa ambil sendiri. Kamu pergi saja makan siang sana!" ucap Ibra ketus.
"Dia sekretarisku, kenapa kamu yang sewot!" balas Satria.
"Sekretaris bukan pembantu," sahut Ibra.
"Tidak apa-apa," sahut Rena melangkah menuang secangkir kopi lalu diletakkan di atas meja depan Satria.
"Kamu mau kemana?" tanya Satria saat melihat Rena hendak keluar.
"Pergi sebentar, Bang Rendra bilang mau ajak makan siang di cafe sebelah." jawab Rena seketika membuat Satria merengut tidak suka.
"Kalau kamu makan di luar terus aku makan apa?" protesnya.
Ibra mendengus, sedang Naresh tertawa cekikikan melihat kelakuan Satria. Rena masih berdiri di depan mereka, bingung apa sebenarnya mau bosnya itu.
"Rena punya waktu satu jam istirahat siang, kalau kamu lapar cari makan sendiri saja sana. Kenapa harus ribet mengganggu kencan orang?!" cibir Ibra, tapi iparnya itu malah makin menjadi.
"Berkas yang aku minta tadi pagi bukannya belum selesai? Kamu kerjakan sekarang, satu jam lagi sudah harus ada di mejaku!" perintahnya tidak mau dibantah.
"Tapi Bang Rendra sudah menunggu di bawah," ucap Rena memelas.
"Aku bilang kerjakan sekarang Ren!"
Rena terpaksa mengangguk. Dia semakin bingung saat Satria memberikan ponselnya.
"Pesankan aku makanan!" titah Satria.
"Kamu mau makan apa?" tanya Rena mengambilnya.
"Terserah kamu, sekalian pesan buat kamu."
"Ok," sahut Rena beranjak keluar.
Ibra mendecak keras, menatap sinis Satria yang tersenyum menang. Rena yang lemot mana mungkin tanggap dengan akal-akalan buaya burik satu itu.
"Bukan begitu caranya kalau kamu memang menginginkan Rena, Sat. Kamu sok-sokan jual mahal, tapi juga tidak membiarkan orang lain mendekatinya. Egois itu namanya, perasaan orang kenapa kamu gantung begitu?" ucap Ibra.
"Aku hanya ingin tahu apa dia benar-benar masih menginginkanku seperti dulu, setelah sekarang ada pria yang lebih baik dariku juga mengharapkannya." sahut Satria.
"Sabarnya Rena juga ada batasnya, jangan menyesal untuk kedua kalinya kalau dia benar-benar memilih berpaling." ujar Naresh menggeleng.