Bab.12 Peringatan Terakhir

1719 Kata
Aura kemarahan Arya Prayoga tampak kental ketika masuk ke ruang VIP dimana mereka sudah menunggu. Bukan hanya karena Ibra yang sudah memaksanya datang dengan ancaman, tapi menginjakkan kaki di Mirror adalah hal yang seumur hidup paling tidak ingin dia lakukan. Tempat dimana nyawa tunangannya telah terenggut secara mengenaskan dan sekarang pria kurang ajar itu seperti sengaja mengulik kembali lukanya. ''Merusak suasana saja! Datang ke tempat bersenang-senang, tapi pasang muka butek seperti mau menagih hutang." dengus Satria kesal begitu Arya Prayoga duduk di sofa seberang mereka. "Tidak usah banyak mulut, cepat katakan apa mau kalian sebenarnya?!" ucap pria itu ketus dengan tatapan nanarnya ke Ibra. "Apakah tempat ini mengingatkanmu pada seseorang? Aku sama sekali tidak keberatan mengantarmu ke toilet dimana tunanganmu mati overdosis," pancing Ibra. Wajah Arya Prayoga seketika kaku. Giginya bergemeletuk mati-matian menahan emosinya yang terlanjur tersulut oleh ucapan biadab musuhnya itu. "Berani mengungkit itu lagi aku robek mulutmu!" ancamnya, tapi Ibra justru tertawa terkekeh. "Aku bukan banci pengecut yang suka lempar batu, lalu bersembunyi di belakang ketiak orang lain sepertimu. Sejak awal sudah berulang kali aku jelaskan ke Andra kalau kematian Helena sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami, tapi dia tidak pernah mau dengar. Ternyata kamu pun sama saja gobloknya, otak kalian pindah ke dengkul atau gimana?" ledek Ibra pedas. "Bukan pengecut, tapi mengelak dari kesalahan yang sudah jelas di depan mata. Kami tidak sebodoh itu sialan!" umpatnya keras. Mereka berempat menatap jengah tamu tidak sopannya itu. Arya Prayoga masih tidak sadar kalau ketololannya ngotot membalas dendam atas kesalahan yang tidak Ibra lakukan itu, bisa saja mengantarnya berangkat ke akhirat seperti Andra. "Anggap saja aku masih berbaik hati mengingatkanmu sebelum terlanjur tersesat lebih jauh lagi, jadi buka telingamu lebar-lebar! Aku tidak pernah bersentuhan dengan bisnis barang haram itu, bahkan tempat ini melarang keras siapapun membawanya masuk kesini. Kematian tunanganmu sama sekali bukan urusanku, paham?!" tegas Ibra. Kaki Arya Prayoga yang sengaja menendang meja di depan mereka seakan menjadi tanggapan atas penekanan ucapan Ibra barusan. "b******k sialan!" Naresh buru-buru mencekal lengan Reza yang mengumpat marah dan beranjak berdiri hendak menghajar pria itu. Botol minuman di atas meja tampak tumbang, bau alkohol semakin menyengat karena minuman di gelas mereka tumpah belepotan. "Apa menurutmu aku seidiot itu hingga percaya bualanmu?! Dimanapun tempatnya yang namanya nightclub pasti satu paket dengan minuman, obat dan lendir. Kamu buka tempat maksiat, tapi sok suci bilang tidak menjual barang haram. Munafik!" cibirnya sinis. "Kalau tahu klub malam adalah tempat maksiat sarang pengguna dan penjual barang laknatt itu, lalu kenapa kamu biarkan tunanganmu datang ke tempat seperti ini? Tidak ada wanita baik-baik yang keluyuran tengah malam dan biasa nongkrong di nightclub, apalagi sampai kecanduan obat. Atau jangan-jangan dia juga menjadi salah satu penjaja lendir," ucap Ibra ketus. "Tutup mulutmu!" teriak Arya dengan mata melotot marah menuding ke Ibra. "Kenapa harus marah? Kamu sendiri yang sudah mendeskripsikan nightclub seperti apa. Sekarang aku semakin yakin kalau selama ini kamu memang tidak tahu kelakuan liar calon istrimu di luar, iya kan?" "Aku bilang diam! Berhenti mencela Helena, sialan!" teriaknya semakin emosi. Ibra tertawa puas melihat lawannya yang sudah meledak-ledak digulung amarah. Dia meraih botol minuman, lalu menuang penuh satu gelas kosong di sana. Tadinya mereka pikir Ibra akan menyuguhkan ke tamunya, tapi siapa sangka kemudian gelas itu melayang cepat dan menghantam tepat di kepala Arya Prayoga. "Keparattt!" teriak pria itu dengan kening berdarah dan pakaian terguyur minuman. Melihat lawan mulai berani main tangan, anak buah Arya Prayoga merangsek maju hendak membalas. Sayang, langkah mereka sontak terhenti saat melihat Naresh mengacungkan senjata dan mengedikkan dagu memerintah mereka untuk mundur. Tak hanya itu, Leon yang sedari tadi berdiri mengawasi juga membuka pintu dan membawa beberapa anak buahnya masuk. Suasana semakin memanas, mereka tersenyum menggeleng melihat Arya Prayoga dan anak buahnya yang diam tidak berani berkutik. Ibra meneguk habis sisa minum di gelasnya, lalu kembali menatap pria itu dengan wajah bengisnya. "Jauhkan tangan kotormu dari anak istriku! Kelakuan pengecutmu sudah kelewat batas, bahkan bayi umur satu tahun pun juga kamu incar! Ini peringatan terakhir untukmu. Lain kali aku pasti akan membuatmu merasakan berendam di kopi mendidih, camkan itu!" "Tuduhan ngawurmu benar-benar lucu! Siapa juga yang sudah menyentuh anak istrimu?" elaknya. "Seret dia kesini!" perintah Satria keras. Erwin kemudian masuk dengan menggelandang pria yang siang tadi membuat ulah di kafe Lala, hingga nyaris membuat Freya tersiram kopi panas. Arya Prayoga tersenyum remeh, sama sekali tidak berniat melirik sedikitpun ke pria itu. "Dia sudah mengaku, jadi percuma kamu mengelak." ucap Ibra. "Hanya karena dia mengaku orang suruhanku, lalu memaksa aku mengaku?! Tidakkah itu menggelikan? Sama seperti Helena yang mati di tempatmu dan kamu ngotot cuci tangan, lalu apa bedanya sekarang?" sahut Arya Prayoga enteng. Ibra menyeringai, pada akhirnya pria bodoh itu tetap memilih kukuh tidak mau mendengar penjelasannya dan meneruskan perseteruan mereka yang salah kaprah. "Tunanganmu sudah mati, aku tidak mungkin membuatnya buka mulut untuk membuatmu mendengar sendiri pengakuannya dari mana dia mendapatkan barang terkutuk itu. Tapi ingat! Sekali lagi kamu berani coba-coba mengusik anak istriku, aku akan membuatmu menangis darah!" Tidak, Arya Prayoga sama sekali tidak terlihat menggubris peringatan dari Ibra. Dia justru tertawa terkekeh dengan tatapan menantangnya. "Aku bukan Andra yang bisa dengan mudah kamu binasakan. Nyawa dibayar nyawa, aku pastikan kamu akan merasakan sakit yang sama kehilangan orang yang paling berharga di hidupmu!" Habis sudah kesabaran Ibra, tiba-tiba dia beranjak berdiri dan melompati meja menerjang ke arah Arya Prayoga. Reza tersenyum meraih gelas minumannya yang tinggal separuh, lalu meneguknya penuh nikmat sembari menonton pria itu jadi bulan-bulanan Ibra. Bodoh, dia salah telah membangunkan singa tidur. Baru saja diperingatkan, tapi malah berani terang-terangan mengancam. Apapun mungkin masih bisa Ibra tolerir, tapi tidak jika sudah berani mengusik keluarga dan orang-orang terdekatnya. Tidak ada yang berani melerai, Ibra yang kalap seperti orang kesetanan. Arya Prayoga seperti samsak jadi sasaran kebrutalan Ibra tanpa punya kesempatan melawan. "Mampus!" Seru Satria begitu Ibra menarik kerah kemeja pria itu, lalu membanting tubuhnya menghantam meja di hadapan mereka. Suara kaca pecah terdengar keras, masih dengan nafas terengah dan wajah merah padam Ibra menatap nanar Arya Prayoga yang terkapar babak belur di lantai. "Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah membuat istriku nyaris tersiram kopi panas. Lain kali akan aku potong tanganmu kalau sampai berani mengusik mereka lagi!" tegasnya. "Kami tidak tahu-menahu soal kematian Helena. Berengsek! Tunanganmu itu benar-benar pembawa sial, hanya gara-gara kebetulan dia mati di sini aku jadi kena getahnya!" umpat Ibra. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Ibra kemudian melangkah pergi dari ruang VIP di sana. Naresh menyimpan senjatanya, lalu menyusul keluar diikuti Satria dan Reza yang bersiul senang. "Dasar tidak berguna!" Arya Prayoga berteriak marah dan menendang anak buahnya yang datang membantunya untuk bangun hingga sampai terjungkal. Tunangannya mati, sekian lama dia bertahan dalam sakitnya kehilangan. Mana mungkin semudah itu percaya pembelaan Ibra yang sudah pasti mengelak dari tanggung jawab. "Sialan!" umpatnya keras. *** Waktu sudah lewat tengah malam saat Ibra dan Satria sampai di rumah. Begitu membuka pintu mereka sudah disambut suara tangisan Langit. Dengan langkah lebar Ibra bergegas menuju ke ruang tengah yang tampak benderang. Jas dan tas kerjanya dia lempar asal ke sofa, lalu menghampiri Freya yang mondar mandir menggendong anaknya. "Langit kenapa? Sakit?" tanyanya khawatir. "Masuk angin, perutnya kembung dan badannya panas." jawab Jonathan yang juga terjaga dari tidurnya. "Sudah dikasih obat turun panas?" tanya Ibra lagi sambil meraba dahi anaknya. "Sudah, perut dan punggungnya juga sudah diolesi minyak telon. Mama lagi bikin teh jahe," ucap Freya tak kalah cemas. ''Biar aku yang gendong!" Ibra mengambil Langit dari gendongan istrinya. Tidak tega melihat anaknya yang terus menangis meronta. "Papa …" gumam bocah itu saat melihat siapa yang memeluknya. "Iya, mana yang sakit Nak?" tanya Ibra mengusap wajah anaknya yang basah oleh air mata dan tampak memerah. Bocah itu tidak menjawab, masih sesenggukan sambil memeluk erat leher papanya. Tangisnya mulai mereda begitu Ibra menepuk-nepuk lembut punggungnya. "Sudah dari tadi rewelnya?" tanya Ibra. "Hampir satu jam," jawab Freya sambil menyampirkan selimut kecil ke tubuh anaknya. "Kenapa tidak bilang?" sahut Ibra. "Kalau tidak sibuk Abang pasti juga sudah pulang dari tadi kan? Cuma masuk angin, mungkin karena tadi sore terlalu lama bermain air di rumah Sasha." "Lain kali kalau sudah sore jangan dikasih main air," ucapnya. Freya mengangguk, Aida tampak datang dari arah dapur dengan secangkir teh jahe hangat untuk cucunya. "Kasih minum ini dulu!" Ibra duduk memangku anaknya, pelan-pelan Freya mulai menyuapkan teh jahe buatan mamanya dengan menggunakan sendok. Jonathan dan Aida menatap cucunya khawatir, begitu juga Satria yang juga tidak langsung naik ke kamarnya. Kadang kalau dua-duanya sakit, orang satu rumah bisa tidak bisa tidur. "Jingga mana?" tanya Ibra. "Tidur sama mbaknya di kamar sebelah. Aku pisah karena Langit nangis terus," jelas Freya. Ibra mengusap-usap lembut perut anaknya, sesekali dia mencium pucuk kepalanya. Belum sampai setengah cangkir bocah itu sudah menggeleng. "Nanti lagi saja Yang," ucapnya. "Itu nanti semalaman mau digendong begitu? Aleman, kalau sakit maunya digendong terus!" cibir Satria setelah melihat keponakannya yang mulai terkantuk-kantuk di pangkuan papanya. "Anak kecil wajar, kamu saja kalau sakit juga tidak malu merengek ke papa!" balas Freya ketus. "Heran Frey! Kenapa seharian kamu sewot terus?" sahut Satria kesal. "Bagaimana aku tidak sewot lihat kelakuanmu yang semena-mena ke Rena?! Dia sekretaris, bukan budakmu." Ibra mendecak keras melihat istri dan iparnya mulai bertengkar lagi. Masih belum puas juga mereka tadi ribut di kantor dan di kafe Lala. "Kamu bikin ulah apalagi Sat? Kalau kamu galak dan masih sesuka hati begitu nanti Rena resign karena tidak betah." tegur Jonathan berusaha menengahi. "Nggak bakalan," sahut Satria yakin. "Tanya ke anak kesayangan Papa itu, dia paksa Rena bikin perjanjian apa sampai tidak bisa mengundurkan diri tanpa persetujuan Satria sendiri?" ucap Freya dengan wajah jengkelnya. "Ayo ke kamar! Aku mau mandi dulu, Yang." ajak Ibra berdiri menggendong anaknya yang sudah tertidur masuk ke kamar mereka. Freya tersenyum puas melihat Satria yang mendelik kesal, karena masih harus disidang papanya. Dia menyambar jas dan tas kerja suaminya, lalu melenggang menyusul masuk ke kamar. "Papa sebenarnya tidak mau ikut campur urusan kalian, tapi jangan mentang-mentang dia penurut lalu kamu jadi seenaknya begitu. Sabarnya Rena juga ada batasnya, Satria." ucap Jonathan menghela nafas panjang menatap anaknya yang diam merengut. "Jangan dengarkan Freya, Pa! Hubungan kami di kantor baik-baik saja kok," elaknya. "Perjanjian apa maksudnya tadi?" giliran Aida bertanya. Satria hanya meringis, Jonathan yang sudah tidak sabaran kemudian menggandeng istrinya bangun. "Besok pagi sebelum berangkat ke kantor ajak Rena kesini, Papa ingin bicara dengan kalian berdua!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN