Bab.13 Sidang Satria

1972 Kata
Sama sekali bukan sifat Freya suka ikut campur urusan orang lain, apalagi sampai mengadu ke papanya. Hanya saja kelakuan semena-mena Satria ke Rena benar-benar sudah membuatnya habis kesabaran. Sebagai seorang teman, Freya tidak tega sifat sabar juga penurut sahabatnya itu dimanfaatkan oleh Satria untuk menarik ulur perasaannya. Dia sangat tahu bagaimana terlukanya Rena saat perpisahan mereka dulu, tapi sampai sekarang tetap rela menunggu Satria menoleh lagi padanya. Namun, justru ketidakpastian dan balasan menyakitkan yang diterimanya. Apapun alasannya, Freya tidak bisa tinggal diam lagi membiarkan Rena terus terjebak dalam hubungan yang mengambang tanpa kejelasan. Seperti permintaan Jonathan semalam, pagi itu sebelum berangkat ke kantor Satria mengajak Rena datang di rumah. Wajah gantengnya tampak tidak senang, apalagi Ibra dan Freya yang ikut duduk di sana sejak tadi tidak berhenti tersenyum mengejeknya. "Berangkat kerja sana! Kenapa masih disini?" ucapnya ketus. "Aku bosnya, kenapa jadi kamu yang sok mengatur?!" balas Ibra. "Tidak usah ikut menguping, ini bukan urusan kalian!" sahutnya kesal. ''Jadi tersangka nggak usah baper! Sidangnya kan terbuka untuk umum, iya kan Yang?" Freya mengangguk, sedang Rena yang tidak tahu apa-apa masih duduk terdiam di samping Satria. Jonathan dan Aida hanya menggeleng menatap anaknya yang masih saja bikin ribut. "Rena …" "Iya Om." Rena yang dipanggil oleh Jonathan, tapi Satria yang gelagapan. Ibra dan Freya mengulum senyum melihat muka Satria yang seketika berubah tegang. Sangat jauh beda ketika pria tengil itu dengan seenaknya membentak Rena. "Freya sudah bilang ke Om soal kejadian kemarin di kantor. Sekarang Om ingin mendengar sendiri dari kamu, sebenarnya apa yang membuatmu tidak betah bekerja di LinZone? Apa karena kelakuan Satria?" "Pa …" "Diam kamu, Sat! Papa sedang bicara dengan Rena!" bentak Jonathan sontak membuat Satria kicep. "Nggak kok Om, bukan karena Satria." jawab Rena lirih. Dia hanya malu dan merasa tidak enak hati, karena lagi-lagi masalahnya dengan Satria membuat keluarga Lin gaduh. "Lalu kenapa kamu tiba-tiba mau keluar?" tanya Jonathan lagi. "Ngomong saja Ren, tidak usah takut! Ada papa di sini, Satria tidak akan berani seenaknya main bentak." sahut Freya yang membuat Satria melotot. "Kalau memang benar selama bekerja Satria sudah berlaku kasar, di sini Om minta maaf." ucap Jonathan. "Bukan salah Om, kenapa harus minta maaf." sahut Rena menggeleng begitu mendengar permintaan maaf Jonathan. "Jadi memang benar kan kalau itu yang membuat kamu tidak ingin lagi bekerja di perusahaan kami?" cecar Jonathan. Rena tidak langsung menjawab, dia justru tampak menunduk bingung harus memberi penjelasan apa lagi ke Jonathan. Kalau dia berkata jujur sudah pasti Satria akan kena amuk lagi seperti dulu saat skandalnya dengan Kiran terbongkar. "Saya hanya merasa kurang cocok bekerja sebagai sekretaris wakil direktur perusahaan sebesar LinZone, Om. Kemampuan saya belum sebanding dengan sekretaris Satria yang sebelumnya, jadi wajar kalau dia kadang marah karena saya tidak becus bekerja." Jawaban Rena seakan menampar telak Satria. Dia menoleh menatap Rena yang tersenyum kecut dengan sorot mata bersalahnya. Padahal bukan itu sebab dia sering marah ke mantannya itu, tapi setiap kali mendengar Rena berbincang akrab dengan Rendra di telepon atau melihat keduanya keluar bersama selalu saja Satria tidak bisa mengendalikan emosinya. "Kamu terlalu merendah. Mana mungkin kamu tidak mampu, sedang sebelumnya kamu sudah terlatih bekerja di kantor kakakmu? Sifa bahkan memuji kerjamu selama menjadi sekretarisnya di Medical Centre," ucap Jonathan. "Tentu saja beda Om, LinZone jauh lebih besar dari perusahan Kak Aksa dan Medical Centre." sahut Rena. "Jadi karena itu kamu ingin resign?" Ibra dan Freya mendengus melihat Rena yang kukuh mengangguk. Mereka melirik sinis Satria yang masih dengan wajah keruhnya tampak bungkam. Entah apa yang membuatnya tidak senang, sedang Rena sudah berbaik hati menutupi kesalahannya di depan papa mereka. Jonathan menghela nafas panjang. Dia tidak bodoh untuk percaya begitu saja pada Rena yang jelas-jelas masih membela Satria. "Bagaimana kalau kamu tetap bekerja di LinZone, tapi pindah ke bagian lain? Nanti Ibra yang akan mengaturnya. Kamu mau kan?" tawarnya. "Tidak boleh! Rena akan tetap jadi sekretarisku," protes Satria keras. "Rena sendiri yang akan menentukan dimana dia akan bekerja. Kalaupun dia tetap memilih resign, kamu sama sekali tidak berhak menolak. Paham?!" tegas Jonathan. "Kamu tetap ngotot mau keluar, Ren?" tanya Satria menoleh. Kemarahannya semakin tersulut melihat Rena yang hanya menunduk, diamnya sudah cukup menjawab pertanyaannya. "Kalau sejak awal niatmu hanya setengah-setengah, mending tidak usah datang lagi. Jangan serakah sini mau, sana juga mau!" sindirnya. "Jangan keterlaluan kamu, Sat!" teriak Jonathan keras dengan wajah memerah dan melotot marah mendengar mulut tajam anak laki-lakinya itu. Aida, Ibra dan Freya hanya menggeleng melihat kelakuan Satria yang bikin orang meradang itu. Air mata Rena merembes keluar, bukan hanya karena sakit hati dengan ucapan Satria, tapi juga tidak ingin keributan ini semakin menjadi. "Itu perjanjian yang kamu tanda tangani! Mulai sekarang kamu bebas, terserah mau tetap bekerja denganku, pindah bagian atau keluar sekalipun. Aku tidak peduli lagi," ucapnya ketus sambil melempar kertas yang sudah kucel dia remas-remas ke atas meja. "Kami tidak habis pikir sebenarnya apa maumu, Satria?! Apa masih belum cukup kamu bikin Papa malu di depan Aksa dan Sifa? Masih beruntung mereka mau melupakan kekurangajaranmu dulu, sekarang kamu malah mulai bikin ulah lagi membuat Rena sakit hati." ujar Jonathan mati-matian menahan amarahnya. Dia benar-benar tidak tega melihat Rena yang berlinangan air mata di hadapannya. "Sudah Om, ini memang bukan sepenuhnya salah Satria. Saya yang tidak berpikir matang lebih dulu sebelum memutuskan menerima pekerjaan ini." sahut Rena dengan suara paraunya. Satria tersenyum getir. Salah kalau mereka pikir hanya Rena yang sakit hati, karena dia pun sama sakitnya. Sayangnya tidak ada berusaha mengerti perasaannya. Mereka lebih suka menghakimi dan menempatkan dia sebagai pihak yang selalu disalahkan. ''Iya, semua salahku. Jadi kita sudahi saja membahas masalah ini lagi. Terserah apa mau Rena, kalau memang mau resign silahkan! Aku bisa minta Vivian atau siapapun untuk menggantikan tugasnya. Percuma memaksanya bertahan, kalau hatinya memang sudah tidak berada di sana." "Bukan seperti itu Sat," sela Rena menoleh membalas tatapan nanar Satria dengan mata basahnya.. "Lalu seperti apa? Bukankah kamu sendiri yang ingin pergi?" tanya Satria. "Bukan begitu caranya kalau kamu ingin menyelesaikan masalah, Sat. Beri kesempatan Rena bicara. Selama ini kamu selalu memaksanya mendengar semua kemauanmu,'' ucap Ibra yang sejak tadi hanya diam menyimak. Satria menghempaskan punggungnya kasar, helaan nafasnya terdengar keras. Wajahnya tak lagi masam, tapi berubah mendung. "Kalian tidak pernah tahu rasanya jadi aku yang selalu merasa minder karena berasal dari anak jalanan. Sialnya setelah bertemu keluargaku justru semakin membuatku sakit hati dan tidak berharga. Iya, darah memang tidak bisa dibohongi. Jadi wajar kalau kalian selalu marah dan malu dengan kelakuanku yang sebajingan ayah kandungku." "Bukan itu maksud Papa, Satria." sahut Jonathan dengan suara bergetar menahan dadanya yang sesak mendengar ucapan Satria. "Kami hanya ingin kamu tegas memberi kejelasan hubunganmu dengan Rena, bukan malah menarik ulur perasaannya dan membuatnya semakin sakit hati. Hanya itu!" jelas Jonathan dengan mata memerah. Jantungnya seperti diremas melihat sakit di wajah anak kesayangannya. Selama ini dia tidak pernah peduli darah siapa yang mengalir di tubuh Satria. Baginya sejak membawanya pulang hingga hingga detik ini, Satria adalah anaknya. Jonathan juga tidak pernah membedakan perlakuannya, meski kemudian dia menemukan anak kandungnya sendiri. "Bagaimana aku harus tegas Pa, sedang Rena sendiri juga goyah dengan pilihannya. Sejak aku belum berangkat ke Singapura dia sudah dekat dengan pria lain, bahkan sampai sekarang. Aku hanya mencoba tahu diri memberinya kesempatan untuk menimbang baik-baik sebelum memilih. Jangan seenaknya datang lagi padaku, tapi juga sengaja tertawa dan wira wiri dengan pria lain di depan mataku. Aku juga punya hati dan harga diri," ungkap Satria. "Sudah berapa kali aku bilang kalau hubunganku dengan Bang Rendra tidak seperti yang kamu bayangkan, Sat." jelas Rena hampir putus asa. "Berarti juga tidak apa-apa kan kalau aku sengaja melakukan hal yang sama bersama wanita lain di depanmu?" tandas Satria yang sontak membuat Rena terdiam tidak bisa menjawab. Tidak, mana mungkin dia terima kalau Satria juga dekat dengan wanita lain meski status hubungan mereka sekarang sudah putus. Jangankan wanita lain, melihat keakrabannya dengan Vivian yang katanya hanya dianggap adik saja dia sudah cemburu. "Ck, begini ini yang namanya mantan tapi baper! Mau balikan malu, giliran dipepet orang cemburu. Yang satu gengsian, satunya lagi lemot. Soal yang seharusnya sepele malah bikin puyeng orang sekampung. Kalian tinggal balikan saja apa susahnya? Jangan lebay seperti anak ingusan yang patah hati!" dengus Ibra yang mulai jengah dengan keduanya. Satria menatap sinis iparnya yang sok ceramah panjang lebar. Tahu apa Ibra tentang rasanya patah hati, sedang percintaannya dengan Freya tidak pernah tersandung sakit hati. "Papa menganggap kalian berdua sudah dewasa, apalagi setelah melewati kesakitan yang dulu itu. Nyatanya tidak, kalian masih sama-sama mengedepankan ego. Kenapa tidak saling mengalah dan mencoba memulai dari awal lagi demi Naya? Dia yang akan paling tersakiti kalau kalian terus-terusan tidak akur begini," ucap Jonathan menasehati keduanya. "Maaf Om …'' gumam Rena lirih hampir tak terdengar. Satria menghela nafas panjang, wajahnya terlihat benar-benar galau saat menatap Rena yang menunduk dengan air mata yang menetes. "Sekarang terserah kamu Ren, toh sepertinya kamu juga sudah menentukan pilihanmu. Maaf kalau selama ini kesannya aku seperti menarik ulur perasaanmu. Aku hanya tidak ingin setelah mengajakmu kembali, ternyata nantinya kamu menyesal di tengah jalan karena merasa sudah melepas pria yang jauh lebih baik dariku." "Satria …" "Aku ini kotor, semua orang juga sudah tahu itu. Dilihat dari manapun, dia jauh lebih pantas menjadi pendampingmu juga papa bagi Naya. Jadi sudahlah, kita anggap semua selesai sampai disini. Kalau kamu tetap ingin resign, mulai hari ini tidak usah datang lagi ke kantor." ucap Satria sebelum kemudian beranjak pergi dari sana. "Sat, tunggu dulu Satria!" panggil Rena yang juga dengan buru-buru berlari mengejar keluar. "Bego!" dengus Ibra. Bukan hanya dia yang menggeleng pasrah melihat kelakuan Satria dan Rena yang sama saja tidak dewasanya, Jonathan, Aida dan Freya pun sama kesalnya. Bahkan setelah didudukkan dan ditengahi untuk mencari penyelesaian masalahnya, keduanya tetap saja seperti itu. "Sudah, biarkan saja! Percuma kita ikut pusing. Lihat mereka yang dipisah tidak mau, disuruh balikan juga ragu, malah bikin Mama tambah jengkel. Sukanya ribut terus kayak remaja labil," gerutu Aida. Jonathan tertawa kecut melihat Satria naik ke mobilnya dengan Rena yang menyusul masuk ke bangku sampingnya. Ditabok sayang, dibiarkan kelakuan anaknya itu kadang keranjingan. Freya mengambil gumpalan kertas perjanjian Rena dan Satria di atas meja, lalu membaca isinya bersama ibra. Jonathan dan Aida hanya menatap bingung melihat keduanya yang tertawa terbahak-bahak. "Kenapa? Apanya yang lucu sampai kalian tertawa seperti itu?" tanya Aida penasaran. "Bagaimana tidak tertawa Ma, mereka benar-benar seperti bocah. Dengar ya! Rena tidak boleh resign tanpa persetujuan Satria, tidak boleh sembarangan mengobrol saat mendampingi Satria keluar, tidak boleh keluar kantor tanpa seizin Satria, harus menurut dan tidak boleh membantah. Tidak boleh pulang kerja mendahului Satria dan yang paling konyol lagi, Rena tidak boleh pacaran apalagi menikah selama masih menjadi sekretaris Satria." Freya masih saja cekikikan meski sudah berkali-kali mengulang membaca isinya. Baru kali ini dia nemu wanita sebodoh Rena yang dengan sadar dan suka rela mau menandatangani perjanjian seperti ini. Itu sama halnya Rena sendiri yang masuk ke penjara Satria dan membiarkan dirinya terkekang di dalamnya. "Benar-benar minta digeplak kepalanya Satria. Bisa-bisanya dia bilang memberi kesempatan Rena memilih, tapi orangnya dikurung dengan aturan yang tidak masuk akal begitu!" ucap Jonathan. "Setelah ini kita biarkan saja kalau mereka berantem lagi. Kita yang lihat masih jengkel, tapi mereka sudah baikan dan lengket lagi. Sudah bosan aku mengurus mereka!" sungut Aida yang lanjut menggerutu sambil beranjak ke dapur. "Tumben anak-anak belum bangun Yang?" tanya Ibra. "Kalau hujan dan dingin begini biasanya mereka betah tidurnya," jawab Freya. "Nanti coba kamu lihat ke ruangannya Satria, Ib! Tanya Rena mau tetap bekerja sama Satria atau pindah ke bagian lain." ucap Jonathan. "Iya Pa, nanti setelah dari kantor Johan saya mampir ke ruangan Satria." sahut Ibra. "Tumben Abang ke kantornya Bang Jo?" tanya Freya. "Sudah ada janji ketemu Om Herman sama Om Bimo di sana, sekalian jenguk Jo yang katanya agak meriang." jawab Ibra mengulum senyum gelinya. "Bang Jo sakit?" "Sakit ingatan," sahut Ibra enteng yang dibalas cubitan gemas Freya di hidungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN