Bab.10 Sewot

1839 Kata
"Freya?!" Freya hanya tersenyum menghampiri Rena yang tampak terheran-heran melihat kedatangannya di sana. Wajar saja, jangankan ke ruang kerja Satria, ke tempat suaminya pun dia jarang. "Tumben? Cari Satria?" tanya Rena, tapi Freya menggeleng. "Nggak, cuma iseng ke sini. Tadi anak-anak ribut ikut papanya ke kantor. Kamu sibuk? Aku tidak mengganggu kamu kerja kan?" ucap Freya. "Nggak kok, Langit mana?" sahut Rena menoel pipi tembem Jingga. "Sama papanya, kalau Langit kan anteng jadi biar seharian di sana juga tidak masalah. Yang ini nemplok terus, gimana Bang Ibra mau kerja." ucap Freya mengusap gemas kepala Jingga yang tampak celingukan mencari omnya. "Mama …" "Ya …" "Om Sat mana?" tanyanya. Freya kemudian menuntun anaknya mencari Satria. Setelah mengetuk pintu dia membiarkan Jingga masuk, sedang dia sendiri kembali ke meja Rena. "Kalau ketemu berantem terus, giliran tidak ada dicari-cari. Lihat saja, sebentar lagi pasti nangis!" ucap Freya menggeleng. "Kelakuan Satria memang seperti itu, kayak anak kecil." sahut Rena tersenyum kecut. Freya yang duduk di depan meja kerja Rena menatapnya iba. Mereka semua tahu Rena mau menerima tawaran bekerja di sini karena ingin meluluhkan lagi hati Satria, tapi adiknya yang kurang ajar itu sampai sekarang masih saja keras kepala dan sok jual mahal. "Kamu kenapa masih kukuh mengharapkan Satria, Ren?" "Karena dia tulus menyayangi Naya seperti anaknya sendiri. Begitu juga Naya yang tidak bisa tanpa Satria. Selama ditinggal di Singapura, aku pikir anakku perlahan akan terbiasa dengan ketidak beradaannya, tapi nyatanya tidak. Naya sudah terlanjur menganggap Satria sebagai papanya," ucap Rena. "Hanya karena Naya? Bagaimana dengan kamu sendiri?" tanya Freya ingin tahu. "Kalau aku sudah tidak cinta lagi, buat apa aku di sini Frey? Meski kadang rasanya ingin menyerah saja kalau sikap dingin dan galaknya lagi kumat." ungkap Rena. Freya menghela nafas panjang, tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Satria. Dulu saat hubungannya dengan Rena kandas dia terlihat benar-benar terpuruk. Sekarang ketika jalan terbuka lebar untuk mereka bisa bersama lagi, Satria seakan justru berpaling. "Kami semua berharap kalian bisa bersama lagi, tapi kalau Satria memang tidak menganggapmu ada lebih baik lupakan saja. Kamu berhak bahagia Ren, sebagai laki-laki tidak seharusnya Satria membiarkanmu berjuang sendirian." Rena terdiam, senyum di bibirnya terlihat kaku. Hati Freya terasa tersentil mendapati mata Rena yang berkaca-kaca. Setiap hari mereka berdua bersama dan berdekatan, tapi perlakuan Satria justru membuat Rena semakin tersakiti. "Dia sedang kerja, kenapa malah kamu ajak ngobrol?!" Freya menoleh, sedang Rena sontak membuang muka menyembunyikan air matanya yang malah jatuh meleleh mendengar nada ketus ucapan Satria. "Aku bos di sini, Rena aku juga yang menggaji. Kenapa dia tidak boleh menemani aku ngobrol?!" balas Freya tak kalah sengit menatap Satria yang berdiri di pintu sambil menggendong Jingga. "Rena sekretarisku!" "Terus kenapa kalau dia sekretarismu?! Jangan karena Rena selalu diam dan menurut, kamu jadi seenaknya main bentak! Kalau mau dia bisa kembali bekerja di Medical Centre, kantor Bang Aksa atau bekerja di tempat lain. Norak kamu!" sahut Freya kesal, apalagi melihat Rena yang sampai menangis. "Terserah, kalau dia memang mau pergi ya sudah pergi saja sana!" seru Satria dengan muka galaknya. "Sialan!" Rena gelagapan saat Freya yang marah beranjak dari duduk dan menarik tangannya. Tanpa berpikir panjang dia menyambar tasnya dan mengikuti langkah Freya yang dengan wajah keruh mengambil Jingga dari gendongan Satria. "Cari sekretaris lain yang bisa kamu bentak! Rena di sini mau kerja, bukan untuk kamu buat makin sakit hati." ucap Freya sebelum berlalu pergi bersama Rena dan Jingga. Satria berdiri tertegun, tangannya terkepal kuat menatap punggung Rena yang semakin menjauh. Jantungnya seperti diremas mendapati mata memerah basah wanita itu. Dia tahu kali ini kata-katanya memang sudah kelewatan. Amarahnya tersulut begitu saja saat tanpa sengaja mendengar obrolan mereka. Seperti dugaannya, perasaan Rena sudah tidak lagi sama. Lagi pula wanita bodoh mana yang tidak akan goyah dihadapkan pada pria sebaik Rendra. Terlalu naif dan menggelikan kalau dia berpikir Rena akan tetap memilihnya, jadi biar saja kalau semua memang harus berakhir seperti ini. Helaan nafas Satria terdengar keras begitu pandangannya terlempar ke meja kerja Rena yang sudah kosong ditinggal pemiliknya. Hanya dua bulan dan Rena sudah ingin menyerah, jadi Satria juga tidak punya alasan lagi menahannya di sana. *** "Sudah marahnya Yang, lagi kenapa jadi kamu dan Satria yang ribut?" ucap Ibra. "Gimana nggak ribut kalau kelakuan Satria sudah keterlaluan begitu, Bang!" dengusnya. Tadi di kantor Ibra sempat bingung melihat istrinya dengan wajah merengut tiba-tiba kembali ke ruangannya bersama Rena. Tidak hanya itu, Freya juga langsung mengajak Kris dan Rita pulang. Sadar ada yang tidak beres, Ibra pun memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan membawa anak istrinya ke kafe Lala. "Maaf ya Frey, gara-gara aku jadi membuat kalian bertengkar." ucap Rena. "Bukan salahmu, Satria memang keterlaluan kok. Galaknya ngalah-ngalahin wanita yang lagi PMS,'' gerutu Freya membuat Ibra terkekeh. "Tapi tidak perlu sampai kalian bertengkar begini Frey, nanti justru aku yang tidak enak hati ke Om Nathan dan Tante Aida." kata Rena. Wajar saja kalau dia terus kepikiran, karena Freya adalah tipe orang pendiam yang tidak suka keributan. Meski kadang suka eyel-eyelan dengan Satria, tapi mereka tidak pernah sampai benar-benar bertengkar begini. "Kamu jadi orang terlalu manut Ren, makanya dia jadi ngelunjak! Kalau Satria bertingkah seenaknya dan suka main bentak di kantor seharusnya kamu lawan, jangan malah diam saja." ucap Freya. "Di kantor dia tetap bosku, Frey. Aku tidak mau dibilang tidak profesional kalau melibatkan perasaan saat kerja." jelas Rena. "Dia sendiri juga tidak profesional kok, diammu justru membuatnya semakin keterusan menindasmu. Aku tidak akan membela Satria hanya karena dia adikku. Jangan sia-siakan waktumu untuk orang yang salah. Seharusnya dia bersyukur melihatmu gigih memperjuangkan harapan untuk kalian bisa bersama lagi, bukannya malah sengaja semakin menyakiti hatimu begini." ucap Freya. Ibra hanya menyimak obrolan istrinya dengan Rena sambil menyuapi makan kedua anaknya. Kris dan Rita yang duduk di meja samping mereka tampak tetap awas mengamati keadaan di sana, apa lagi waktunya makan siang pengunjung makin ramai. "Jadi beneran kamu mau resign. Ren?" tanya Ibra sengaja mengeraskan suaranya saat melihat ada yang datang menyusul mereka. ''Iya, aku tidak mau keberadaanku di sana justru membuat Satria merasa tidak nyaman. Paling tidak aku sudah berusaha mencoba, mungkin sekarang dia baru sadar wanita sepertiku memang tidak pantas bersamanya. Satria punya segalanya, wajar kalau dia menginginkan wanita sempurna untuk jadi pendampingnya." Ibra dan Rena melirik sinis Satria yang tampak tertohok mendengar apa yang baru saja Rena ucapkan. Dia sempat berdiri terpaku sebelum kemudian menarik kursi kosong di samping mantannya itu, lalu duduk di sana. Rena menoleh, kaget bukan main mendapati Satria yang tiba-tiba saja muncul seperti setan. "Mau apa kamu menyusul kesini?!" ucap Freya ketus, rupanya dia masih kesal dengan kelakuan adik angkatnya itu. "Ini kafe, kesini ya jelas mau makan." sahutnya. Bukan hanya mulutnya yang menyebalkan, tapi kelakuan Satria juga. Rena hanya melongo saat pria itu tanpa permisi mengambil piring makanannya begitu saja dan langsung menyantap sisa spagetinya. Ibra dan Freya menggeleng, kelakuan Satria benar-benar seperti anak kecil, diajak tidak mau ditinggal pun enggan. "Kenapa tidak pesan sendiri? Rena juga belum kenyang, Sat!" tegur Freya. "Tidak apa-apa Frey, nanti aku pesan lagi sekalian buat Bang Rendra dan Mbak Sifa." sahut Rena. Ibta melotot kesal melihat kedua anaknya terjengkit kaget oleh suara garpu yang Satria letakkan kasar dengan setengah dibanting. Beda lagi dengan Freya yang justru tersenyum puas melihat adiknya senewen. "Kenapa tidak kerja saja jadi asistennya wakil direktur Medical Centre Ren? Dokter Rendra ganteng, baik dan sabar, siapapun pasti betah kerja sama dia. Tidak sulit buat kamu mencari pekerjaan di luar sana. Cari bos yang bisa menghargai pegawainya, bukan yang arogan dan galaknya seperti buaya lapar." sindir Freya. "Siapa bilang dia boleh cari pekerjaan lain? Rena masih sekretarisku, aku belum menyetujui pengunduran dirinya." sahut Satria. "Kalau aku mengizinkan dia resign memangnya kamu bisa apa?" tantang Freya yang mulai jengah. "Rena punya perjanjian tersendiri denganku, jadi tidak bisa seenaknya pergi. Iya kan Ren?" ucap Satria menyeringai puas melihat Rena yang tampak kaget. Sepertinya mama Naya itu juga baru mengingat sesuatu. "Perjanjian apa Ren? Bilang saja tidak apa-apa, nanti pulang biar aku laporkan ke papa!" ujar Freya, tapi Rena malah meringis. Ibra menggeleng, menatap muka Rena yang langsung keruh. Sial sekali nasibnya sudah jatuh ke perangkap Satria. Ponsel Rena berdering pelan, senyum tersungging di bibirnya saat melihat siapa yang menghubunginya. "Mau kemana kamu?" tanya Satria mencekal tangan Rena yang hendak berdiri. "Angkat telpon sebentar," jawab Rena. "Angkat disini saja, lagi pula tidak akan ada yang tertarik mencuri dengar pembicaraan kalian yang unfaedah itu!" ucap Satria ketus. "Jangan keterlaluan kamu, Sat!" tegur Freya, tapi bodohnya Rena benar-benar menurut. "Bang Rendra sudah selesai operasinya? Aku belikan spageti ya, sekalian buat Mbak Sifa?" Freya dan Ibra mengulum senyum melihat Satria mendengus kesal. Kalau begitu itu bukan cemburu, lalu apa namanya? Tadi lantang mempersilahkan Rena pergi, tapi dia sendiri juga yang datang mencarinya lagi. "Ok, aku pesankan dulu. Satu jam lagi aku sampai." Rena menyimpan kembali ponselnya, tapi baru saja dia beranjak berdiri tiba-tiba Satria menyambar tangannya. "Ikut aku!" ucapnya marah. Ibra menggeleng saat istrinya hendak menyusul mereka keluar. Percuma mereka berusaha menengahi, masalah ini hanya Satria dan Rena yang bisa menyelesaikan. "Biar saja mereka menyelesaikan sendiri masalahnya, Yang satu lemot, satunya lagi arogan. Mau kita kesal sampai tensi naik juga percuma," ucap Ibra. "Heran, bisa-bisanya Rena sesabar itu menghadapi kelakuan Satria." dengus Freya yang masih menatap Satria menarik Rena ke mobilnya. "Karena cinta, sama seperti Satria yang rela malu menyusul kita kesini." sahut Ibra. "Tapi kok Satria bisa tahu kita sedang makan siang disini?" gumam Freya. "Tadi Satria telpon tanya ke aku," ucap Ibra. "Abang kenapa bilang, aturan biarkan saja dia kelabakan mencari Rena." Ibra tersenyum menatap gemas istrinya yang cemberut. Kalau orang sesabar Freya saja bisa sekesal ini berarti Satria memang sudah keterlaluan. "Katanya jenuh di rumah terus, giliran diajak keluar kamu malah uring-uringan." ujar Ibra menyuapkan sepotong daging ayam ke mulut istrinya. "Papa!" Ibra tergelak melihat anak perempuannya sewot melihatnya menyuapi makan Freya, tapi istrinya itu malah sengaja menggoda. "Papa kan lebih sayang Mama daripada Jingga. Iya kan Pa?" Tawa Ibra semakin lebar saat Freya mencium pipinya di depan Jingga. Mata anak perempuan mereka itu tampak basah menatap mamanya kesal. "Papa punya Jingga, Ma." protesnya lucu. "Nggak, papa punyanya Abang Langit dan Mama juga." sahut Freya. "Awas!" seru Rita. Suasana hangat mereka sontak berubah tegang, ketika tiba-tiba kedua pengawal Freya beranjak cepat menghadang seorang pria yang entah sengaja atau tidak tersandung kaki meja. Kris menarik pria itu menjauh, sedang Rita meringis saat kopi panas mengguyur punggungnya. Sedikit saja telat pasti Freya yang jadi korbannya. "Sialan!" umpat Ibra segera menggendong kedua anaknya. "Ya ampun, Rita!" Freya terbelalak kaget, tapi Rita justru tersenyum menggeleng. "Kalian ke mobil dulu, Yang!" ucap Ibra. Freya mengikuti langkah suaminya yang keluar dengan menggendong kedua anak mereka. Mata Rita tetap awas saat mengantar mereka kembali ke mobil. "Biar aku sendiri yang antar Nyonya pulang, kamu sama Kris urus pria itu. Aku sudah menghubungi Leon, sebentar lagi dia ke sini. Apapun caranya, buat dia buka mulut!" ucap Ibra sambil mengulurkan kunci mobilnya ke Rita. "Baik Pak," jawab Rita bergegas pergi. Ibra mendengus marah, matanya menatap istrinya yang tampak masih pucat. Rupanya Arya Prayoga benar-benar ingin menantangnya. Nanti saat waktunya tiba, dia pasti akan membuat pria itu menyesali kebodohannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN