Jakarta, tiga tahun sebelumnya.
“Kemana kita, Bos?” tanya Seto seraya mengenakan aviator sunglasses bertangkai gold miliknya.
“Mana?”
“Apaan?”
“Tato lo!”
“Oh.”
Seto menyingsingkan lengan kemejanya, menunjukkan sebuah tato di lengan bawah bagian dalam tangan sebelah kiri.
“Wow! Sitanggang!”
Seto tertawa renyah.
“Ayolah!” pinta Andra kemudian.
“Balik?”
“Langsung dong, bikin tato dulu.”
“Lo mau bikin tato?”
“Yoi!”
“Sakit, man!”
“Ah, lo aja bikin masa gue ga bikin!”
Seto tergelak lagi seraya melajukan The Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam yang ia kendarai meninggalkan area bandara.
“Gimana kabar lo, Ndra?”
“Hmm, ya kayak yang lo liat. Sehat.”
“Pikiran lo sehat juga?”
“Lumayan. Yang jelas waktu bermain-main habis sudah.”
Seto tertawa kembali. “Kayak sempet main aja lo di US.”
“Lo sendiri gimana?”
“Sehat, bro. Thanks for asking.”
“Istri lo?”
“Fine also. Nyokap gue nyuruh kami ikut bayi tabung.”
“Oh ya? Bukan gara-gara lo main sama gue kan?”
“Apaan sih lo, Ndra? Kagak ngaruh! Belum tentu juga lo irit benih. Itu kan cuma praduga Kakek dan Papa aja. Dalam kasus gue, ya emang belum dikasih. Lagian gue nikah baru dua tahun. Nyokap gue aja yang ga sabaran.”
Andra menganggukkan kepalanya.
“Jadi, gimana kondisi Arabella?” tanya Andra lagi.
“Ya seperti yang lo tau, nilai saham mulai bergerak turun.”
“Si Sigit pindah kemana?”
“Selekta.”
“Wow!”
“Hmm.”
“Emang dia orangnya si Fandhi?”
“Dugaan gue sih gitu.”
“Iya sih, mana mau dia turun kasta kalau bukan karena dia orangnya Fandhi,” ujar Andra. “Berarti Arabella harus gue rombak habis dong? Data-data semua jajaran management udah lo kirim ke email gue?”
“Udah dong Bos.”
“Okay! Nanti gue cek! Sekarang gue mau bersenang-senang dulu! Bikin tato, abis itu makan sate kambing!”
“Siap!”
Andra kemudian memejamkan mata. Ia tertidur begitu saja dengan lelapnya.
Sudah sejak di bangku SMA putra tunggal Bhadrika itu melanjutkan pendidikannya di Boston, Amerika Serikat. Ia adalah seorang lulusan Harvard Business School, sekolah bisnis terbaik di dunia yang menjadi incaran para calon CEO. Tak ada yang meragukan otak encernya. Sosoknya yang dikenal cerdas, karismatik, tenang dan selalu bekerja cepat membuat nama seorang Andra begitu cepat dikenal para praktisi bisnis.
Namun seperti yang Andra bilang tadi, waktunya untuk bermain-main habis sudah. Setelah beberapa tahun malang melintang menjajal posisi CEO bayaran diperusahaan-perusahaan start up, ia pun harus segera kembali ke tanah airnya. Adalah Arabella Entertainment, salah satu anak perusahaan Bhadrika Internasional, yang mendapati seorang petingginya melakukan penggelapan dana. Bahkan sejak perusahaan itu dipimpin seorang Sigit Wongso, Arabella bukannya semakin berkembang, justru perlahan merugi. Noah tak ingin terlambat menyelamatkan perusahaan itu. Ia segera memanggil Andra untuk menangani kekacauan yang ditinggalkan oleh Sigit.
Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat jam sibuk saat para b***k korporat meninggalkan kantor mereka. Lalu lintas padat merayap seperti biasa. Namun bukannya kesal, Seto justru menikmati. Memberi waktu pada Andra, sahabatnya sejak di bangku SMP, untuk beristirahat. Perjalanan panjang Boston – Jakarta yang memakan waktu sehari penuh pasti membuat Andra kelelahan.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya sedan mewah yang Seto kendarai terparkir cantik di depan sebuah café. Di lantai dua café itu, seorang seniman tato yang Seto kenal membuka prakteknya.
“Ndra! Bangun lo.”
Andra mengerjap, membuka mata, lalu melakukan sedikit gerakan untuk melenturkan tubuh.
“Dimana nih?” tanyanya.
“Ga jadi mau bikin tato?”
“Oh, jadi dong.”
“Ayo. Gue udah booking artist-nya.”
Seto mematikan mesin mobil. Namun, suara Andra menyapa kembali.
“To, cewek itu.”
Seto menoleh, mengikuti arah pandang Andra.
“Tau aja lo yang bening. Udah ada yang punya.”
“Bukan soal bening. Itu Diana Maya bukan?”
“Lo tau?”
“Tahun lalu kan dia salah satu model di NYFW.”
“Hmm.”
“Gue datang pas dia tampil.”
“I see. Tapi gue dengar-dengar dia bakalan mundur dari dunia model, Ndra.”
“Karena?” tanya Andra, cukup terkesiap.
“Baru gosip sih. Entah apakah benar atau ngga. Alasannya diminta tunangannya.”
“What?”
“Lo tau ga kalau dia udah tunangan?”
“Gue sempat dengar sih. But... is he insane? He has such a great fiancé and instead of supporting her, he tells her to stop her career?”
“Ya, ga semua cowok kayak lo. Yang nganggap cewek berkarir itu seksi.”
“No! Gue ga pernah bilang gitu. Gue suka cewek yang bisa menempatkan diri. Kapan dia harus bermanja sama pasangannya, dan kapan dia harus independent. And to be honest, I thought she’s one of them.”
“Lo tau dia yatim piatu?”
“Serius, To?”
“Hmm. Kalau ternyata benar, dia mundur dan itu karena Agung, dugaan gue sih karena secara psikologis dia merasa Agung adalah tempat dia bersandar sekarang. Mungkin dia udah terlalu lama being an independent woman, dan nemuin seseorang yang bisa dia andalkan tuh berharga banget.”
“Udah kayak psikolog aja lo ngomong,” canda Andra.
Seto hanya terkekeh. Keduanya pun keluar dari kendaraan mereka dan melangkah masuk ke dalam café.
“Andra,” ujarnya seraya menyambut uluran tangan sang seniman tato.
“Vino. Kehormatan banget nih gue didatengin bosnya Arabella.”
“Santai aja, bro. Di sini lo bosnya!”
Vino tertawa renyah, lalu mengangguk.
“Lo pilih aja dulu mau desain yang mana,” ujar Vino lagi. Ia menyodorkan sebuah map berisi katalog model-model tato. Dari yang berukuran kecil, hingga yang ukurannya bisa menutupi punggung.
“Gue pengen aksara Cina. Ada?”
“Wah, samaan sama Diana.”
“Diana?”
“Oh, tadi ada cewek bikin tato. Belum lama pergi sih. Diana Maya. Tau ga lo?”
“Tau.”
Seto tak lagi mengikuti alur pembicaraan itu. Ia beringsut, merebahkan diri di sebuah sofa.
“Dia bikin apa?” tanya Andra lagi pada Vino.
“Awalnya dia ragu antara fortune atau courage. So, gue bilang keduanya aja. Tapi dia juga naksir tato bulan, cadas banget emang ditemplokin di pundah belakangnya. Sexy.”
“Dan akhirnya dia milih?”
“Courage, karena dia takut fortune ga bekerja tanpa courage. Tapi kalau lo punya courage, fortune pasti datang.”
“She said that?”
“Yep! With a doubt.”
“Well... harusnya dia milih fortune. Tapi karena dia milih courage, berarti fortune-nya buat gue.”
“So, fortune?”
“Yes, please.”
***
Masa kini.
Diana baru saja terbangun. Ia menyapukan pandangan ke sekitar. Yang pertama ia cari adalah sang suami. Dan Andra tak ada di sana.
Ingatannya menembus waktu, kelebat kejadian semalam membuat wajahnya memanas. Mereka belum melakukannya. Namun ciuman Andra yang begitu intens selama Diana menumpahkan tangis, sungguh begitu menenangkan.
“Ya ampun, what should I do? Sampai detik ini sedikitpun gue ga bisa menyesali pernikahan ini. He’s too perfect!” gumam Diana pada dirinya sendiri.
Ia menepuk-nepuk wajahnya, bangun dari posisi berbaringnya, duduk bersila. Selama beberapa menit Diana meregangkan tubuh seraya mengatur napas. Begitu tubuhnya terasa cukup segar, ia meneguk segelas air putih di atas nakas. Ada secarik kertas dengan goresan tulisan tangan dari Andra.
‘Drink this before you leave the room. Good morning, istriku.’
Wajah Diana kembali menghangat.
‘Ya Tuhan....’
Ia menolehkan tatapannya ke jam dinding di sisi kanan, waktu masih menunjukkan pukul 06:30 wib. Apa Andra terbiasa bangun pagi? Dan bagimana bisa Diana bangun sesiang itu? Biasanya ia adalah manusia pagi yang sudah terbangun sebelum matahari terbit.
Diana melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Rumah itu terasa sepi. Hanya ada dua orang maid yang tengah membersihkan ruang tengah di lantai dasar. Mereka menganggukkan kepala pada Nyonya sang majikan.
Sepasang kaki nan jenjang itupun lanjut melangkah. Diana menyusuri selasar kecil yang berbatasan dengan kamar ia dan Andra. Selasar itu membawanya ke beberapa ruangan. Ada ruang kerja Andra, dan sebuah ruangan yang Diana belum tau apa fungsinya. Ia melongok, hendak melihat isi ruangan yang pintu kacanya tengah terbuka itu.
Dan pemandangan di depannya, membuat jantungnya berdetak menggila.
Andra tengah melakukan pull up. Suami baru Diana itu hanya mengenakan celana panjang training, tanpa atasan. Semua otot-ototnya bertonjolan. Ditambah kucuran keringat yang justru membuat Andra terlihat seksi.
‘Ya ampun, Di... beda banget sama Agung. Agung mah buncit, ini mah atlit.’
Tak ingin mengganggu Andra, Diana berbalik, kembali menuju ke kamarnya. Ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dulu, mungkin ia bisa memasakkan Andra sarapan setelahnya.
“Wah,” gumam Diana, takjub. Pukul tujuh pagi, dan meja makan di rumah itu sudah penuh dengan menu sarapan lengkap. Tak ada bedanya dengan bermalam di hotel bintang lima.
“Selamat pagi, Nyonya,” sapa seorang maid seraya menundukkan kepalanya. Mungkin usianya sekitar 40 tahun.
“Diana saja.”
Perempuan itu hanya tersenyum.
“Nama Bibik siapa?”
“Saya Minah. Apa Nyonya mau sarapan sekarang?”
“Oh ngga, Bik. Memangnya Bang Andra biasa sarapan jam segini?”
“Biasanya lebih pagi, Nyah. Ini karena weekend, Tuan biasa agak siang baru makan.”
“Agak siangnya jam berapa?”
“Sekitar setengah delapan.”
“Dan sarapannya selalu sebanyak ini?”
Minah terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya.
“Hanya memilih satu menu, Nyah.”
“Ngerjain Bik Minah dong berarti!”
“Hah? Ngga, Nyah. Sama sekali ngga.”
“Saya sarapan bareng Bang Andra aja. Abang masih di gym sepertinya.”
“Baik, Nyah.”
Diana meninggalkan ruang makan, ternyata semua orang di rumah ini sudah memiliki perannya masing-masing. Lantas ia harus berperan seperti apa?
Setelah mengambil laptopnya, Diana kembali turun ke lantai dasar, duduk di ruang santai dan berhadapan dengan smart tv 80 inch. Diana tak menyalakan layar besar itu, melainkan menyibukkan diri dengan menggambar di layar laptopnya. Seperti biasa, begitu stylusnya bergerak, Diana akan tenggelam dalam imajinasinya.
“Selamat pagi, istriku,” sapa Andra dari balik punggung Diana. Meletakkan dagunya di bahu kanan sang istri.
“Udah wangi.”
“Hmm. Kenapa tadi ga gabung olah raga sama aku?”
“Abang lihat Diana?”
Andra terdiam sejenak. Ia menyukai cara bicara Diana.
“Hmm. Aku suka.”
“Suka?”
“Maksud aku, aku lihat,” jelas Andra.
“Abang lapar?”
“Gambar kamu bagus.”
“Masa?”
“Iya, bagus. Hobi?”
“Iya. Tapi yang ini commission work.”
“Untuk?”
“Cover novel.”
“I see. That’s really awesome.”
“Abang muji aku?”
“Berhasilkah?”
Diana tertawa renyah. Suara tawa yang begitu indah di pendengaran Andra.
“Sudah lama bikin ilustrasi begini?”
“Iya. Sekitar lima tahun. Tapi baru tiga tahun terakhir secara digital. Diana gambar kalau ada yang pesan, atau Diana taruh di beberapa web. Hasilnya lumayan buat jajan.”
“I love it!”
“Makasih.”
“Ayo kita sarapan,” ajak Andra kemudian.
“Hmm.”
“Istriku?”
“Ya?”
“I want my morning kiss. May I?”
Diana terdiam. Ia tak mampu menjawab. Namun tak juga mampu menjauhkan wajahnya dari wajah Andra yang kian mendekat.
‘Oh God, he’s really a great kisser!’
Rasanya tak mungkin menolak ciuman semanis itu. Bahkan saat Andra menyapukan indera perasanya di dalam mulut Diana, Diana justru membalasnya.
“Should we continue in our room?” desah Andra di bibir sang istri.
“Abang....”
“Apa aku boleh menambahkan penawaran?” tanya Andra kemudian. Ia menyapu bibir Diana dengan Ibu jarinya, lalu mengecap ibu jari itu dengan bibirnya.
‘He’s damn sexy!’
“Istriku?”
“Ya?”
“Apa aku boleh menambahkan penawaran?” ulang Andra lagi.
“Apa?”
“Kamu... boleh jatuh cinta padaku... anytime!”
***
Beberapa waktu sebelumnya.
“Gimana perkembangan situasi dan kondisi?” tanya Andra.
“Lama-lama gue berasa ngomong sama kandidat R1,” gumam Ian. Seto yang menjadi orang ketiga dalam panggilan group itu hanya terkekeh.
“Artikel model pengganti masih naik terus. Dan sekarang ada beberapa artikel lain juga komentar yang unjuk suara kalau mereka memang pernah melihat Diana gantiin Astrid,” jelas Seto. “Wartawan ngumpul di flatnya Diana. Nunggu Diana keluar untuk ngasih klarifikasi.”
“Hape Diana gue tahan. Wise ga sih?”
“Kalau gue jadi lo, gue juga pasti melakukan hal yang sama, Ndra. Emang rencananya Diana apa?” tanya Ian.
“Dia mau datang ke Selekta hari Senin.”
“Untuk?”
“Ga tau gue, Yan.”
“Dia ga jelasin ke lo?”
“Ngga.”
“Yang gue dengar mereka lagi nyiapin pers conference. Kalau Diana ke sana hari Senin, bukannya ga mungkin mereka akan maksa Diana untuk nerima kesalahan,” ujar Ian lagi.
“Lo dampingin dia kalau gitu.”
“Oke. Siap, Ndra.”
“Siapin orang untuk jaga Diana, To.”
“Siap, Bos!”
“Biar gimanapun dia istri gue. Walau dia ga minta, gue tetap harus ngelindungin dia.”