Ada sebuah kolam renang kecil yang berbatasan langsung dengan kamar utama kediaman Andra. Tepat di samping sisi panjang kolam terdapat sebuah lounge yang begitu nyaman. Andra biasa menghabiskan waktu di sana untuk membaca buku-buku favoritnya. Dan kini, Diana yang tengah bersantai di ruangan itu.
“Istriku?” panggil Andra yang baru saja masuk ke kamar mereka.
“Abang ih, panggil Diana aja. Lihat nih, bulu kuduk Diana meremang terus tiap Abang manggil gitu. Geli tauk!” ujar Diana seraya membenarkan posisi duduknya di sebuah single bean bag.
Andra tergelak renyah. Ia duduk di atas lantai, menyandarkan kepalanya di pangkuan Diana.
“Ga banyak kan suami yang manggil istrinya begitu?”
“Ya makanya, yang umum-umum aja.”
Jemari Diana menyisip di helaian surai sang suami, membelai lembut.
“Masalahnya, kamu menikah dengan cowok yang ga umum, istriku.”
Kini giliran Diana yang terkekeh.
“Diana ga nyangka lho sikap abang akan begini.”
“Begini gimana?”
“Sweet? Supel? Mengingat kita ga saling mengenal sebelumnya, pasti pernikahan kita ga mudah untuk Abang kan?”
“Apa mudah untuk kamu?”
Diana tersenyum, lalu menggeleng.
“Jujurnya istriku,” gumam Andra.
Diana kembali tergelak.
“Tapi karena sikap Abang seperti ini, Diana juga ga merasa berat jalanin pernikahan kita. Kalaupun ada faktor yang bikin ga mudah, itu bukan Abang.”
“Apa itu pujian buat aku?”
“Iya.”
“Terima kasih, istriku.”
“Abang ih! Bisa banget sih. Pengalaman banget ya?”
“Pengalaman apa?”
“Gombalin cewek.”
“Mmm... coba tanya Seto.”
“Soal?”
“Aku suka gombalin cewek atau ngga.”
“Kenapa harus nanya Seto?”
“Because he is my person. He knows me very well.”
“Oh ya?”
“Iya. Kami sahabatan dari SMP.”
“Lho, Seto itu sahabat Abang?”
“Iya. Kenapa?”
“Diana pikir sebatas Bos dan Asisten aja.”
“Ngga. Seto udah kerja sama Papa sejak dia lulus kuliah. Tapi tugas utamanya menjembatani aku dan Papa, Kakek, bahkan perusahaan.”
“Kenapa harus dijembatani?”
“Aku tipe yang suka malas ngomong panjang lebar. Kadang kalau ngomong sama Papa jatuhnya malah salah paham.”
“Malas? Bukan ga bisa?”
“Iya, malas.”
“Jadi, Seto yang jelasin maksudnya Abang?”
“Iya.”
“Seto ga pernah salah nangkap maksud Abang gitu?”
“Ngga.”
“Ih keren banget. Bayu aja masih sering salah paham sama Diana.”
Keduanya sama-sama terdiam, menikmati suara gemericik air yang mengalir di taman dinding kecil yang mengitari sisi panjang lainnya dari kolam renang. Andra bahkan menutup kedua matanya, terbuai dengan sentuhan lembut sang istri di kepalanya.
“Kenapa Abang iyain permintaan Diana?” tanya Diana kemudian.
“Permintaan yang mana?”
“Menikah.”
“Mmm... karena memang aku harus menikah hari itu atau nantinya aku ga bisa memiliki hasil kerja kerasku sendiri.”
“Cuma itu?”
“Itu alasan kecilnya.”
“Alasan besarnya?”
“Karena Seto ga mencegah aku menjawab iya.”
“Hah?”
“Itu artinya ga ada yang keberatan dengan pernikahan kita, istriku.”
“Maksud Abang?”
“Saat kamu mendekati aku, dan mengajak aku menikah, Seto pasti sudah mencari latar belakangmu, juga mengabarkannya ke Kakek, Papa, dan Mama. Kalau satu saja dari mereka mengatakan tidak, Seto pasti akan bilang. Tapi sampai kita duduk di depan penghulu, Seto diam aja kan?”
Diana terpegun.
“Ditambah lagi Papa dan Mama datang. Itu artinya, mereka memberi restunya.”
“Tapi Kakek ga datang,” lirih Diana.
“Pak Gubernur lagi datang ke kantor Kakek. Makanya beliau ga bisa datang.”
“I see.”
“Selevel Papa dan Kakek udah ga bisa seenaknya ninggalin meeting, istriku.”
“Iya, Abang.”
“Malam ini kita makan malam sama mereka. Kamu ga keberatan kan?”
Diana tersenyum, lalu menggeleng.
“Apa ada hal lain yang bikin kamu penasaran lagi?” tanya Andra.
“Mmm... tentang sejarah percintaan Abang?”
“Well....” Andra bergumam, ragu. “I had a lot of ex.”
Diana tertawa renyah. “Sudah kuduga.”
“Tapi bukan berarti aku playboy. I’m not like that.”
“Terus kayak gimana dong?”
“Mmm... kalau cocok jalanin, begitu udah ga nyaman tinggal ngomong baik-baik and then let her go.”
“Dan selalu berhasil?”
“Hmm. Karena kan aku ga ngambil apa-apa. I just gave them, but never took anything from them.”
“Exclude s*x?”
“Apa di jidat aku ada tulisan ‘I had a lot of s*x before’?”
Diana kembali tergelak.
“Nggalah, Abang,” kekehnya.
“Aku belum pernah melakukannya,” gumam Andra seraya menatap Diana, lekat.
Entah mengapa, degup jantung Diana meningkat seketika. Mimpikah ia? Pria semapan dan sebebas Andra belum pernah bergelut dengan wanita manapun?
“Aku ga minta kamu percaya. Tapi apapun yang terjadi dengan percintaanku dulu, sebanyak apapun perempuan yang pernah berkencan denganku, I’m done with that.”
Jeda. Andra menarik napasnya dalam, mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh dan perutnya yang terasa ngilu.
“Because of you!”
***
“Apa ini, Nak?” tanya Naura, Ibu Andra. Pasangan pengantin baru itu baru saja tiba di kediaman utama Bhadrika.
“Semalam pas Abang masih meeting sama Seto dan Ian, Diana bosan, Ma. Lihat di dapur ada fillet salmon. Diana marinasi untuk bikin honey garlic salmon. Tadi siang dipanggang, kata Abang enak banget. Jadi bawa ke sini juga biar Mama bisa cicip.”
“Alhamdulillah. Makasih ya, Nak. Tadi Meta juga bawa rosemary chicken. Kita lihat siapa pemenangnya!” canda Naura.
Tak banyak yang hadir malam itu. Hanya kakak dan adik dari Naura beserta keluarganya. Dan selama makan malam, Diana nyaris tak bersuara. Terlalu sungkan pada Chairi dan Noah.
“Sepi ya, Cu?” tanya Chairi pada Diana.
“Oh, enggak Kek. Rame kok.”
“Apa yang rame? Om dan Tantenya Andra itu hanya dari Mamanya. Dari Papanya ga ada. Kakek saja ga punya saudara. Kami ini anak tunggal.”
Diana mengangguk.
“Saya harap kamu ga bermimpi terlalu tinggi untuk punya anak banyak.”
Diana tersenyum, lalu mengangguk lagi. Setelahnya, Chairi berhenti bicara pada Diana, kembali fokus pada hidangan di piringnya hingga tandas.
“Di?” tegur Meta, istri Ian saat mendapati Diana yang berdiri di balkon seorang diri. Para pria tengah berkumpul di ruang tamu, entah apa yang mereka bahas. Sementara barisan Ibu menikmati secangkir teh bersama seraya berbagi cerita.
“Hey, Kak.”
“Kenapa nyendiri?”
“Ngga kok, Kak. Tadi dari toilet dan lihat balkon ini. Cantik.”
“I see. By the way, gimana?”
“Gimana apa Kak?”
“Kamu, kamu baik-baik aja?”
Entah mengapa, setiap kali mendengar seseorang menanyakan keadaannya, Diana pasti merasa haru.
Meta mengikis jarak, memeluk Diana begitu saja.
“I’ve been there before,” lirihnya.
“Maksud Kak Meta?”
“Aku pernah menjadi yatim piatu.”
Diana terpegun. Meta mengurai rengkuhannya.
“Pernah?”
“Hmm. Aku baru bertemu lagi dengan Ayahku setelah menikah dengan Ian. Itupun sebentar, seolah Tuhan memberi waktu untuk Ayahku agar tau kalau aku ada di dunia. Juga untuk aku bisa merasakan kasih sayangnya walau hanya sebentar.”
“Memangnya beliau kenapa Kak?”
“Sakit. Sudah ga ada.”
“Maaf, Kak. Diana ikut berduka cita.”
“Hmm. Sudah lama kok kejadiannya. Waktu itu kami masih di London. Baru menikah. Aku dan Ian baru 18 tahunan menikah.”
Diana spontan tertawa.
“Baru ya Kak?”
“Hmm.”
“Hebat ih.”
“Kamu dan Andra juga pasti bisa begitu.”
“Apa iya Kak?”
“Kenapa? Kok kamu ga yakin?”
“He just to perfect.”
“Apanya? Karirnya? Materi yang dia punya?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Sikapnya, Kak.”
“Oh ya?”
“Iya. Aku jadi ngerasa apa iya aku pantas untuk dia. Memanfaatkan dia.”
Meta menghempaskan napasnya, lalu terkekeh.
“Kamu mau tau tentang Andra?” tanya Meta kemudian.
“Apa Kak?”
Meta menatap lekat Diana sebelum memulai narasi panjangnya.
“Andra itu ga pernah nembak cewek. Cewek yang nembak dia. Dan dia tuh kayak manusia random, terima aja, jalanin, nanti kalau ga cocok ya putus. Sesimple itu wataknya.
“Andra itu ga pernah gandeng ceweknya. Yang ada dia jalan di depan, ceweknya di belakang. Kalau ditanya pasti dia bilang ga nyaman, ‘emangnya gue truk harus gandengan?’ Dan perlu kamu ingat, selalu ada Seto dimanapun Andra berada, termasuk saat kencan.
“Andra itu lebih banyak ngomong sama stafnya daripada sama ceweknya. Pendiamnya luar biasa. Sama aku aja sering aku ledekin dan dia cuma nyengir abis itu mukanya flat lagi. Ga ada ekspresifnya sama sekali.
“Andra ga pernah nyodorin piring ke ceweknya untuk diambilin nasi. Dia tipe yang cuek, ga ada manja-manjanya.
“Dan Andra ga pernah manggil ceweknya dengan panggilan sayang. Ga ada yang, babe, boo, honey, sweetheart, amore, ataupun yang lainnya.
“Tapi, dengan bangganya dia ngasih tau kami; I married to Diana Maya. Dan menjelaskan kalau pernikahan ini masih bersifat rahasia untuk enam bulan ke depan.
“Dan malam ini, dia datang ke sini dengan membawa semua perintilan di satu tangan, sementara satu tangan lagi ngegandeng kamu. Tanpa Seto!
“Dia juga banyak cerita ke kamu. Plus, nanggapin semua ucapan kamu.
“Dia minta kamu ngambilin dia nasi plus lauk pauk.
“And he called you; istriku.
“Ya ampun, Diana.... What have you done to our taciturn boy?”
Diana membelalak. Kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga.
“Serius, Kak?”