Usai menutup panggilannya dengan Ian, Andra meninggalkan ruang kerjanya. Tubuhnya agak lelah, rasanya membersihkan diri di bawah kucuran air hangat akan sedikit merelaksasi. Andra menapaki anak tangga, naik ke lantai dua, dan tanpa mengetuk ia langsung saja membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk.
Diana yang tengah membongkar isi kopernya pun terpegun menatap sang suami. Ia menegakkan punggung, namun di luar kendali, handuk putih yang membungkus tubuh indahnya terlepas begitu saja.
Andra... terkesiap!
‘Oh God!’
Tak lain dengan Diana yang juga menganga. Beku.
Andra berdehem, walau pandangannya tak bisa berpaling dari tubuh elok sang istri. Diana yang sempat shock kembali tersadar, gegas memungut handuk dan melilitkan kembali di tubuhnya. Ia pun memalingkan tubuh dan wajahnya dari Andra. Malu.
“Kenapa buang muka, istriku?” tanya Andra, mendekat, berdiri tepat di samping Diana.
Diana tak menjawab, ia terus saja menutupi raut wajahnya yang menekuk-nekuk karena salah tingkah.
Andra malah tertawa pelan. Tawa yang membuat Diana otomatis menoleh menatapnya.
“Abang....”
“Kamu udah lihat walk in closet kita?” tanya Andra, masih sambil terkekeh.
Diana menggelengkan kepalanya.
“Di situ,” ujar Andra lagi, mendelik ke sebuah pintu dengan dua handle. “Kamu bisa taruh koper kamu di situ. Dan aku udah nyiapin baju buat kamu. Kamu tinggal pakai.”
Diana... lagi-lagi kelu.
“Mmm. Aku harus mandi dulu. Satu jam lagi pengacaraku datang, ada beberapa hal yang harus kita diskusikan dengan dia.”
Kali ini, Diana mengangguk.
“Mau mandi lagi? Sama aku?” goda Andra kemudian.
“Abang....”
Andra kembali tertawa melihat seulas merah yang hadir di kedua pipi istrinya. Ia hanya mengelus lembut kedua pipi Diana, sesaat saja, sebelum menjauh dan masuk ke kamar mandi.
***
Andra baru saja mengusaikan ritual mandinya. Ia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk berwarna abu-abu tua yang melilit di pinggang. Tak beda jauh dengan Diana tadi.
Namun, Diana hanya sesaat menatapnya sebelum memalingkan wajah. Ia masih bingung bagaimana harus bersikap.
“Santai saja, istriku. Bukannya suami istri memang begini?”
“Iya,” lirih Diana.
Andra masuk ke walk in closet, mengganti handuknya dengan sebuah T-shirt berwarna gradasi biru dan celana cargo pendek. Di saat yang sama, dering ponsel Diana berbunyi nyaring.
Andra pikir, Diana akan keluar kamar untuk mengangkat ponselnya. Nyatanya tidak. Bahkan panggilan itu tak ia jawab sama sekali. Setelah tiga babak dering yang tak diacuhkan, Andra mendekati Diana. Duduk tepat di samping sang istri.
“Angkat aja, istriku.”
Diana menggeleng.
“Matikan ponselmu kalau begitu.”
“Abang....”
“Dia ganggu malam pertama kita,” ujar Andra, memberikan kedipan.
“Abang ih!” kekeh Diana.
“Gitu dong. Masa dari tadi cemberut aja.”
“Maaf....”
“It’s ok. Hari ini memang aneh.”
Diana menatap Andra lekat.
“Tapi ini hari yang baik untukku,” lanjut Andra lagi.
“Karena apa?”
“Karena... I got you!”
Diana kembali tertawa. Cantik sekali.
“Abang ga lagi ngerayu aku kan?”
“Berhasilkah? Kan kamu yang bilang, aku mendapatkan kamu.”
Tawa Diana berhenti. Terpegun. Kemudian mengangguk dengan seulas senyum.
“Malam ini harusnya aku ketemu Agung di House of Nad’s,” lirih Diana kemudian.
“I see. VVIP?”
“VVIP?”
“Hmm. Di towernya.”
“Oh ngga, Bang. Di lantai dasar.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Wah, duit dia pasti sedikit.”
Diana tergelak. Geli.
“Abang ih.”
“Duit pas-pasan aja bertingkah ya?”
Diana menganggukkan kepalanya kembali.
“Dia menunggu kamu?” tanya Andra lagi.
“Sepertinya begitu.”
“Kamu mau ke sana?”
“Ngga, Abang. Aku ga mau diganggu. Aku mau menikmati weekend ini. Biar nanti di hari Senin aku baru muncul di hadapannya.”
“Hmm.”
Andra menepuk kedua pahanya, lalu berdiri.
“Aku lapar. Ayo kita makan?” ajak Andra seraya mengulurkan satu tangannya pada Diana. Sang istri tersenyum, lalu menyambut uluran tangan itu.
‘Akan sejauh apa pernikahan kita berjalan?’
***
Di tengah makan malam mereka, Bayu juga tiba di rumah mewah itu. Ia tak bisa diam di satu tempat, terkagum-kagum dengan kemewahan kediaman Andra.
“Bayu?”
“Hai, Di.”
“Lo?”
“Aku yang minta anak buahku jemput dia,” ujar Andra santai seraya menyodorkan piringnya, meminta Diana menyendokkan nasi lagi ke piringnya.
Diana mengerutkan kening, namun tangannya tetap patuh dengan permintaan Andra.
“Setelah dia membuat Agung panik, apa kamu pikir Agung dan Fandhi tidak akan mencarinya?”
“Oh.”
“Aku meminta orangku melacak IP asistenmu itu. Membawanya ke sini. Setidaknya ia bisa ikut bersantai di weekend ini.”
Bayu duduk di salah satu kursi, namun ia diam saja, tak berani menyentuh hidangan di hadapannya. Sampai akhirnya Seto ikut bergabung dan Andra menyuruhnya menikmati menu makan malam mereka bersama-sama.
Belum lama makan malam bersama mereka berakhir, sang pengacara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kelimanya kini berkumpul di ruang kerja Andra.
“Diana Maya,” ujar Diana memperkenalkan diri seraya menyambut uluran tangan pria asing itu. Ya, Diana tak pernah bersinggungan dengan hukum, jadi ia benar-benar tak mengenal siapa sosok pengacara yang konon juga sepupu sang suami.
“Brian Putra Dewantara. Panggil aja Bang Ian. Kalau Andra karena kelamaan di US pulang-pulang jadi songong, Masih bangus bapaknya ga dia panggil Noah tok!”
Diana hanya terkekeh menanggapi, bersamaan dengan Ian yang melepaskan genggaman tangan mereka.
“Jadi, ada apa gue dipanggil kemari?” tanya Ian kemudian.
Andra meletakkan dua buku nikah di atas meja, membuat Ian mengerutkan keningnya.
“Oh man! Are you kidding me?”
Andra menggeleng.
“Dan lo ga ngabarin keluarga lo?”
“Lo pikir gue mau nikah kilat begitu?”
“Terus?”
“Kakek ngasih ultimatum, gue harus nikah sebelum ulang tahun gue yang ke 30. Lo inget ga hari itu kapan?”
Ian menatap jam di pergelangan tangannya, “Wow! Besok!”
“Hmm.”
“Terus?”
“Kakek bilang kalau gue ga nikah, semua aset yang kakek punya bakal berakhir di Papa dan begitu Papa ga ada, wasiat Kakek adalah supaya semuanya dijual ke publik.”
“Cemen lo!” ledek Ian.
“Setan lo! Arabella besar di tangan gue! Lo pikir gue rela ngasih ini ke publik?” ketus Andra, emosi. Ian justru tergelak geli.
“Terus, siapa aja yang hadir di nikahan kalian?”
“Kami berempat, Papa, and of course Mama.”
“Kakek?”
“Video call doang. Ada tamu katanya, Pak Gubernur.”
“Oh. Terus, kapan mau go public?”
“Nah itu dia, Yan. Belum bisa sekarang ini.”
Ian mengatupkan bibir, lalu mengangguk. Tak bertanya lebih jauh. Otaknya cukup cerdas untuk menerka masalah yang terjadi.
“Okay. Just let me know kapan kalian mau go public.”
Diana tersenyum kaku.
“Lo udah nyimak kehebohan hari ini kan?” tanya Andra kemudian.
“Hmm. And?”
“Gue mau lo dampingi istri gue, in case pihak sana nyoba jatuhin dia.”
“Oke. Itu aja?”
“Iya, itu aja. Dan lo ngobrol deh sama istri gue dan asistennya. Gue rasa lo butuh beberapa detail untuk ngebela dia nanti.”
Ian mengangguk. Andra lalu mengalihkan pandangannya, memberi isyarat pada Seto. Seto melangkah keluar ruangan itu, namun tak lama ia kembali bersama seorang perempuan yang tak Diana kenali.
“Dia pengawal kamu, istriku.”
Diana salah tingkah, darahnya berdesir kencang setiap kali Andra menyebutnya dengan panggilan ‘istriku’.
“Abang, panggilnya Diana aja. Malu,” bisik Diana di telinga Andra.
Andra menggeleng. “Kamu istriku!” ujarnya santai yang membuat kelima orang lainnya di ruangan itu mengatupkan bibir menahan tawa.
“Namanya Febby. Dia yang bertanggung jawab menjaga kamu. Febby ga akan berpakaian begitu dalam tugasnya. Penampilannya sama dengan orang-orang di sekitar kamu. Menyamar,” lanjut Andra.
“Apa perlu sebegitunya, Bang?” lirih Diana.
“Perlu. Terutama jika kondisi sudah sekacau ini.”
“Kacau?”
“Dari tadi kamu ga intip sosial media kamu?”
Diana menggeleng. Ia memang berniat untuk tak melihat akun sosial medianya selepas Bayu mempublikasikan bukti-bukti kecurangan Agung.
“Kalau gitu jangan dibuka. Atau tutup saja sementara akunmu.”
***
Diana sudah terlelap di sofa saat Andra masuk ke kamar mereka. Tak tega melihat sang istri tidur seperti itu, Andra perlahan mengangkatnya, membawa Diana dalam gendongannya.
“Abang....”
“Maaf aku ganggu tidur kamu.”
Andra meletakkan Diana di atas ranjang, mengecup puncak kepala sang istri.
“Tidurlah di sini. Biar aku yang tidur di sofa.”
“Jangan.”
“Jangan apa?”
“Aku aja yang tidur di sofa. Ini kan kamar Abang.”
“Kamar kita, istriku.”
Wajah Diana kembali menghangat, memerah, membuat Andra terkekeh pelan.
“Apa kamu mau kita tidur seranjang?” tanya Andra.
Diana terpegun sejenak.
“Terserah Abang,” cicitnya kemudian.
“Aku bisa menunggu,” ujar Andra lagi.
“Menunggu?”
“Hmm.”
“Menunggu apa?”
“Menunggu kamu mencintaiku.”
“Apa Abang mencintaiku? Kita baru bertemu hari ini bukan?”
“Hmm. Yang pasti, kurasa... aku cukup mengenalmu.”
“Oh ya?”
“Kamu lupa kalau kamu pernah menjadi seorang top model?”
Diana kini tertawa renyah.
“Aku mau bersih-bersih dulu. Dan melihat respon kamu... aku berencana tidur di ranjang ini juga. Lagipula ranjangnya king size.”
Diana mengangguk. Bagimana mungkin ia menolak suaminya sendiri.
‘Yang akan terjadi, terjadilah.’
“Satu lagi, istriku... fyi, aku ga pernah tidur pakai baju.”
“Hah?”
“Pinggang ke atas aja. Don’t worry,” jelas Andra lagi sesaat sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.
Sungguh, Diana ingin sekali terlelap lebih dulu. Namun perkataan ‘tidak pakai baju’ tadi amat mengganggunya. Bisakah Andra sedikit saja berbaik hati malam ini?
Diana meremas-remas tepi selimut yang menutupinya, mencoba mengendalikan kegugupannya.
Andra akhirnya muncul kembali. Dan seperti yang ia katakan, tubuh bagian atasnya terpampang tanpa penghalang. Diana tak bisa memalingkan tatapannya, tubuh suaminya begitu bugar. Namun bukan itu yang amat sangat menarik perhatian Diana. Adalah sebuah tato di d**a kiri Andra.
Andra merebahkan diri, berbaring menghadap Diana namun tetap memberi jarak. Bagaimanapun, mereka bersama bukan karena menjalin kasih sebelumnya. Mereka adalah orang asing bagi satu sama lain.
Diana mengulurkan tangan, menyentuh lembut aksara cina yang terlukis di d**a sang suami.
“Fortunate,” gumam Andra.
“Hmm.”
“Kamu paham aksara Cina?”
“Ngga. Tapi aku juga punya.”
“Courage?”
“Iya. Abang tau dari mana?”
“Sudah aku bilang, aku cukup mengenalmu. Bahkan aku tau kamu menginginkan ‘fortunate’, namun kamu ragu apakah ‘fortunate’ akan bekerja tanpa ‘courage’?”
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Hmm, secara tidak sengaja mungkin pernah. Tapi aku tau kamu punya ‘courage’ itu bukan karena kita pernah bertemu atau berbagi saran tato mana yang bagus untuk kita sematkan.”
“Lalu?”
Andra tak menjawab. Ia turut mengulurkan tangannya, mengusap lembut pipi istrinya.
“Apa kamu baik-baik saja, istriku?”
Diana terpegun. Tatapan Andra begitu hangat. Ia sudah hidup selama 24 tahun. Dan baru kali ini ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja.
“Istriku,” lirih Andra. Ia mengusap lembut air mata yang menetes dari sudut mata Diana. Tak mungkin Diana tak apa-apa setelah rentetan kejadian memilukan yang ia hadapi.
‘Kamu bisa mengandalkanku, istriku.’
“Ngga, Bang,” tangis Diana. “Aku ga baik-baik aja.”
Andra mendengus pelan, pilu rasanya melihat Diana berurai air mata seperti itu. Ia pun mengusaikan jarak, menyambar bibir Diana, memberi kecupan hangat berkali-kali di tengah isak sang istri.
“Ada aku, istriku.... Ada aku.”