07 : Jangan Iri, Jangan Iri ... Iri Dengki

2018 Kata
Pintu kamar diketuk dua kali, tidak lama kemudian Bunda muncul dari sana. “Abang, mau bawa bekel, nggak? Biar makan malamnya nggak perlu beli di luar.” “Bunda masak apa memangnya?” “Udang saus padang, capcay, ikan sama ayam, tahu sama tempe goreng, ada sayur asem juga.” “Ya udah boleh. Tahunya nggak usah, tapi tempenya dibanyakin.” “Nasinya gimana, Bang? Porsi kuli atau normal?” “Normal aja.” Selesai merapikan rambut, Radhi beranjak dari depan cermin menuju Bunda. Mengecup kedua pipi beliau sekilas sebagai ungkapan rasa terima kasih. “Selesai makan malam, Abang janji tempat bekelnya dicuci sampai bersih, plus nggak akan ketinggalan.” “Bener, ya? Awas kalo janjinya nggak ditepatin.” Radhi dibuat tertawa melihat Bunda menyipitkan mata sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya, berlagak seolah sedang mengancam anak kecil. Oh, dia lupa, sedewasa apa pun dia sekarang, Bunda tetap memperlakukan Radhi seperti anak-anak. Di mata beliau Radhi tidak ada bedanya dengan 26 tahun yang lalu, sekalipun faktanya fisik Radhi sudah melebihi ayahnya. “Ah, Bunda baru inget. Abang Minggu nanti free nggak?” “Free. Kenapa, Bun?” “Jadi, waktu arisan kemarin Bunda ada cerita soal kamu ke temen Bunda. Nah, kebetulan temen Bunda juga punya anak perempuan seusia Abang. Kalian ternyata punya satu kesamaan, yaitu sama-sama belum ada pasangan. Rencananya kami mau kenalin kalian berdua. Mau nggak ketemuan sama dia akhir pekan ini?” “Siapa teman Bunda selain Tante Aura sama Tante Azkia?” “Adalah, banyak. Gimana? Abang tertarik, nggak?” “Nanti Abang pikir-pikir dulu,” jawabnya, setelah itu mengambil ransel yang biasa Radhi bawa saat kerja, lalu menyampirkannya di pundak. Kurang lebih setengah jam lagi shift sorenya akan dimulai, makanya Radhi siap-siap sebelum berangkat. Namanya juga dokter, jam kerja mereka tidak sama seperti karyawan kantoran. Terkadang kalau ada keadaan mendesak, saat enak-enaknya tidur malam Radhi mendapat panggilan darurat yang mengharuskan detik itu juga dia pergi ke rumah sakit. Risiko pekerjaan, tetapi selama dia menikmatinya, maka tidak ada alasan untuk mengeluh apalagi sampai menyesali keputusannya karena sudah memilih profesi ini. “Jangan kelamaan mikirnya. Bunda nggak enak buat mereka nunggu. Anaknya cantik lho, Bang. Karyawan bank, kamu tau sendiri gimana rapi dan bersihnya orang sana. Bunda udah dikasih liat fotonya. Kamu mau liat juga, nggak? Ada di ponsel Bunda.” “Besok, deh. Sekarang bekel Abang dulu, nanti Abang telat.” Bunda langsung memberengut. “Ya udah. Yuk keluar bareng-bareng.” Radhi tersenyum geli dan mengangguk patuh. Keduanya berjalan bersisian keluar dari kamar, menuruni tangga menuju lantai satu. Ayah masih dalam perjalanan pulang, sekalian menjemput Raras di kampusnya. Jadi, setelah Radhi berangkat kerja nanti, yang tersisa di rumah hanya Bunda dan asisten rumah tangga. Asisten rumah tangga akan pulang setelah ayah Radhi datang. Beliau tidak tinggal di sini, karena rumah Bi Ratih tidak jauh dari komplek ini. Mungkin jarak tempuhnya kisaran sepuluh sampai lima belas menit saja. Bi Ratih adalah anak dari bibi terdahulu yang sudah meninggal. Keluarga Radhi sudah menganggap Mbok Latri—ibu Bi Ratih—seperti keluarga sendiri. Tidak hanya bekerja dengan keluarga Radhi, beliau dulunya ART di rumah almarhumah eyang, bahkan merawat ayahnya sedari kecil. Ketika mendengar kabar kematian beliau, ayah sampai meneteskan air mata. Momen itu nyaris tidak ada bedanya dengan saat kepergian eyang. Rasa sedihnya sama, karena sama-sama ditinggalkan oleh orang tercinta. Bunda dan ayah bahkan ikut saat mengantarkan jenazah Mbok Latri ke peristirahatan terakhir, dan selalu hadir dari tahlilan hari pertama sampai memperingati seratus harinya. Santunan berupa uang diberi dalam jumlah yang tidak main-main, karena jasa Mbok Latri begitu besar pada keluarga ini. Makanya saat Bi Ratih menawarkan diri sebagai pengganti Mbok Latri, tak berpikir dua kali bundanya langsung menerima. Kerjaan mereka sama-sama rapi, kepribadian Bi Ratih pun tidak jauh beda dari ibunya. Tak butuh adaptasi lama bunda langsung menyukainya. Bunda menyerahkan tas bekel kepada Radhi setelah memintanya menunggu di ruang tamu tidak lebih dari lima menit. “Diabisin ya, Bang. Kalo Benjamin ikut makan nggak akan cukup, soalnya itu porsi cuma buat satu orang.” “Dia nggak akan ke unit Abang. Udah Abang larang,” kata Radhi sambil memasang kaos kaki. “Kenapa? Kalian lagi tengkar, ya?” “Nggak. Memangnya kami pernah bertengkar? Hari ini tonjok-tonjokkan aja, besoknya langsung nongkrong dan ketawa bareng.” “Terus gara-gara ap—oh, Bunda tau! Dia mau ganjen sama Nakia, ya?” tebak Bunda bersemangat. Radhi memilih tidak menjawab. Setelah menerima tas bekel, dia menyalami Bunda, mengecup punggung dan telapak tangan beliau. “Abang berangkat dulu. Assalamualaikum.” “Eh, jawab dulu. Jangan bikin Bunda penasaran, dong.” Nyaris dia mendengkus, tetapi langsung mengurungkan niat setelah sadar sedang berhadapan dengan Bunda. Dia selalu menjaga sikap karena tidak mau membuat Bunda kecewa, apalagi sampai sakit hati gara-gara kelakuannya. Selama 31 tahun ini Radhi mempertahankan predikat anak baiknya. Ayah saja sampai heran, kok bisa ada anak laki-laki selurus dan se-tidak neko-neko ini? Pasalnya setiap mendengar keluhan Om Diaz, beliau selalu dibuat pusing oleh kelakuan Jeremy, Jonathan, dan Justin. Hanya James yang lebih kalem dari saudara-saudaranya. Maklum saja cuma dia yang menuruni sifat Tante Aura. “Bang?” “Apalagi memangnya kalau bukan soal perempuan? Si Ben ‘kan nggak ada bedanya dengan anjing yang ngeces pas dikasih tulang kalo liat yang cantik-cantik.” Bunda menipiskan bibir menahan senyum. “Ya kalo Nakia-nya nggak keberatan didekati Ben, harusnya nggak pa-pa, dong. Eh, dia ada pacarnya nggak, Bang?” “Nggak tau dan nggak boleh. Udah, Abang berangkat dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” sahut Bunda sambil menahan kekehan geli. Dasar anak bujang satu ini. Putus hubungannya sudah bertahun-tahun yang lalu, tetapi posesifnya masih sampai sekarang. *** Tepat pukul delapan shift Radhi sudah berakhir, sebelum pulang dia mampir di penjual pentol bakar yang berjualan tidak jauh dari akses keluar parkir area rumah sakit. Soal rasa jangan ditanya, kalau sampai Radhi membeli, apalagi sampai berkali-kali, itu tandanya enak. Bumbu kacang pas sesuai selera, pedas, manis, perpaduan yang sempurna ditambah ada sensasi-sensasi smoky-nya. “PaDok mau bungkus berapa tusuk?” tanya abang penjual pentol bakar. “Dua puluh, Bang. Bumbunya pisah, ya. Kayak biasa, pedas sama manis.” Sekalian Radhi membelikan Raras dan bundanya. Bunda paling mencicipi satu atau dua tusuk, sementara Raras paling suka jajanan seperti ini. Tak jarang malam-malam dia mengajak Radhi keluar hanya untuk membeli seblak, telur gulung, baso aci, dan semacamnya. “Siap, di tunggu, ya. Ini lagi bungkusin pesanan mas sama mbak yang duduk di motor sana. Mereka udah duluan soalnya.” “Santai aja, saya lagi nggak buru-buru, kok.” Radhi kemudian duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponsel. Tadinya dia mau log in game, tetapi saat muncul notif @__itsnakiaaa menambahkan cerita, Radhi buru-buru ke sana untuk jadi views pertama. Hebat tidak? Mereka satu grup chat, tetapi tidak saling menyimpan nomor. Baru-baru ini Radhi juga mengikuti Nakia di IG, karena penasaran dengan teman-teman cowok yang sebelumnya Raras maksud. Katanya spek Hero Fiennes-Tiffin, tetapi setelah dilihat ternyata masih gantengan Radhi. Memang mata Raras saja yang bermasalah. Nakia juga mau-maunya dekat dengan cowok seperti itu. Hidungnya terlalu mancung, rambutnya keriting, senyum lebarnya terlihat jelekk. Berbeda dengan Radhi yang perfect mau dilihat dari sudut mana pun. Jujur saja dia tidak terlalu suka sifat Nakia yang terlalu friendly. Disapa sedikit, langsung disapa balik. Diajak ngobrol, malah jadi pendengar yang baik. Diajak makan/minum berduaan pun tidak pernah menolak. Nakia tak tahu saja, mereka yang mendekatinya cuma modus belaka. Semua pria di sekitar Nakia itu berengsekk, kecuali Radhi tentunya. @__itsnakiaaa: makasih buat jajanannya ... Di sudut foto ada tag @azachary, yang tidak perlu Radhi cek dia sudah tahu siapa pemilik akun itu. Tadi sudah dia bilang, kan? Pria di sekitar Nakia itu berengsekk kecuali dirinya? Dan level tinggi paling berengseknya adalah si Zachary ini. Ah, Radhi ingin menebas leher Zachary. Samurai mana samurai?! “Bang, totalnya empat puluh ribu.” Radhi langsung mendongak. Dia nyaris menatap tajam penjual pentol bakar karena sudah mengganggu sesi mengumpati Zachary. Namun, menyadari itu tindakan yang bodohh, Radhi berbalik jadi mengumpati dirinya sendiri. Sialann memang! “Ini uangnya. Makasih banyak, Bang,” ucap Radhi setelah menyerahkan pecahan dua puluh ribu sebanyak dua lembar. Dia memasuki mobil yang parkirnya tidak jauh dari gerobak penjual pentol bakar. Setelah meletakkan ransel di jok samping dan plastik pentol bakar di dashboard, Radhi memasang seat belt baru kemudian menyalakan mesin mobil. Perlahan dia melaju membelah jalan raya. Malam Kamis seramai malam biasanya. Banyak pasangan yang jalan berdua, berkendara berpelukan erat, membuat yang jomlo jadi iri saja. Radhi melihatnya sambil mendengkus keras, otaknya malah membayangkan kalau salah satu di antara mereka itu adalah Nakia dan Zachary. Dia berencana menabrak mereka kalau sampai bayangan tersebut jadi nyata. Rela jadi kriminal demi mencegah mantan mau romantisan dengan gebetan barunya. Kembali ke topik kenapa Nakia dan Radhi tidak saling menyimpan nomor. Dulu Radhi pernah diblokir Nakia setelah mereka putus, lalu saat Radhi membeli nomor baru untuk menghubungi Nakia, ternyata perempuan itu sudah ganti nomor. Sampai sekarang Radhi gengsi mau chat duluan dan minta di save kontaknya, sementara Nakia belum ada alasan untuk menghubunginya. Tadinya dia sudah merasa cukup berteman di IG setelah di-follback Nakia, eh ternyata rasa cukup itu berubah jadi rasa iri gara-gara satu potong story. Sialan! Radhi mau juga disebut di dalam story! “Halo, Dek, Abang bisa minta tolong, nggak?” tanya Radhi sesaat setelah memutuskan menelepon Raras. “Minta tolong apa?” “Cari tau lewat Al atau El apa Mbak Nakia udah punya pacar atau belum.” “Hah? Buat apa memangnya.” “Buat kasih tau pacarnya kalo Mbak Kia dideketin banyak cowok di sini. Rata-rata cowoknya ada bibit-bibit pepakor (perebut pasangan orang).” “Ih, Abang kurang kerjaan!” “Spill keranjang s****e, nanti Abang check out-in semua buat kamu.” “Nggak boleeehhhhh, tapi ... serius, nih?” “Iya, seribu rius.” “Okidoki, nanti Raras kasih info setelah dapet balasan. Sayang Abang banyak-banyak!” Setelah Raras memberi kecupan singkat, panggilan pun berakhir. Sambil bersiul Radhi melempar ponselnya ke jok samping, barulah setelah itu dia merasa bisa fokus menyetir. *** Nakia baru memasuki ruang khusus perawat. Dia melepas jaket di depan loker, serta menaruh backpack-nya di dalam sana. Khamini dan Julia yang dari awal sudah ada, langsung menatap Nakia tidak suka. Keduanya lantas berbisik, yang mana bisikan tersebut tertangkap jelas oleh Nakia—mungkin memang sengaja membesarkan suara, “Semua cowok aja dia embat, terus tau banget lagi mana yang serbuk berlian dan mana yang serbuk tembaga.” “Princess ‘kan nggak mau salah pilih. Akrab sama yang lain boleh biar nggak kehilangan fans, tapi anak pemilik rumah sakit jangan sampai lepas karena itu tangkapan yang bagus.” Khamini tertawa mengejek. “Tadinya gue biasa aja, Jul. Lama-lama risih juga. Untung Dokter Radhi lempeng aja ke dia. Udah tau kali sifat aslinya, makanya nggak mempan sama pesona muka modal hasil permak duit orang tua.” Nakia menghela napas mendengarnya. Dia cinta damai dan enggan bermasalah di tempat kerja, maka dari itu setelah menutup loker, dia berbalik perlahan dan tersenyum pada mereka. “Muka kalian mau dipermak juga, nggak? Duit bapakku masih banyak lho, bisa tuh sekalian permak sama akhlaknya.” “Heh! Dasar perempuan gatal!” Nakia mengabaikannya. Dia berlalu begitu saja, sambil pura-pura menggaruk tangannya. “Memang gatal,” ujarnya. Ah, belum juga shift malamnya dimulai, Nakia sudah merasa tidak mood saja. Kenapa sih jadwalnya harus berbarengan dengan Khamini terus? Nakia awalnya masih ramah dengan perempuan itu, tetapi tidak lagi setelah dia mulai menyebarkan gosip. Ketambahan satu orang lagi si Julia. Kabarnya Julia pernah kencan dengan Dokter Benjamin, dan ada insiden setelah mereka putus. UGD sempat heboh karena Julia menangis-nangis tidak terima diputusi. Harusnya Julia malu setelah kejadian itu, tetapi ternyata dia orang yang tidak punya rasa malu. Sekarang malah menambah masalah dengan membenci Nakia. Ha, sungguh hal yang tidak berguna. Ini yang Nakia maksud soal sulit beradaptasi dengan orang-orangnya, karena mereka suka bergosip dan mencela sesuatu yang tidak mereka sukai. Terbiasa dengan rekan kerja yang terbuka dan blak-blakan di Aussie sana membuat Nakia tanpa sadar membandingkan mereka, lalu mengeluhkan betapa dia merindukan rekan kerjanya di rumah sakit terdahulu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN