09 : Mulai Bergerak, Katanya ...

1535 Kata
Di ruang makan sudah ada bunda, ayah, dan Raras. Radhi yang baru datang langsung menyapa mereka, dia lalu mengacak-acak rambut Raras sebelum menempati kursi di samping adiknya. Seperti biasa wajah Raras langsung cemberut, dia paling tidak suka kepalanya disentuh, tetapi Radhi selalu melakukan hal itu. “Mau nasi goreng atau roti panggang, Bang?” tanya Bunda. Beliau menunjuk kedua menu yang berada di tengah-tengah meja. “Atau mau buah aja?” “Roti, Bun. Makasih banyak.” “Sama-sama. Siniin piringnya.” Saat Radhi menyerahkan piring, tiba-tiba ayah bersuara, “Enak nggak Bang kalo makan disiapin kayak gini? Tinggal ditanya mau apa, beberapa saat kemudian langsung santap saja.” “Enaklah, Yah.” “Makanya cari pasangan. Umur udah cukup, finansial udah matang. Dilihat-lihat mentalnya juga udah siap. Jadi, tunggu apalagi?” “Tunggu calonnya ada dulu. Percuma semua serba siap kalo calonnya nggak ada. Syarat nikah ‘kan harus ada mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.” “Dicari, dong. Mana bisa datang sendiri. Tapi kalo dilihat-lihat Abang ini usahanya kurang. Ayah pernah kasih saran kamu buat kenalan sama anak rekan kerja malah ditolak. Bunda juga anak temen-temennya, jawabanmu nggak jauh beda. Maunya yang kayak apa sih, Bang? Sebagai orang tua Ayah jadi pusing, kamu ini terlalu pemilih.” “Bukannya terlalu pemilih, cuma belum ketemu yang cocok aja. Cari pasangan hidup itu bukan persoalan yang mudah, Yah,” ujar Radhi sambil menggigit roti, kemudian mengunyahnya perlahan. “Maunya Abang itu, ya ... yang Abang sukai dan yang menyukai Abang balik.” “Sederhananya itu Mbak Kia, eh Mbak Kia-nya sekarang nggak ada rasa ke Abang,” kata Raras menimpali. Sontak ayah kaget, kemudian menatap istri dan anak bungsunya bergantian. “Serius? Abang masih mau sama anaknya Om Danu?” “Duarius. Malahan ya Yah, Raras disogok pake saldo shopeepay—” Radhi buru-buru membungkam mulut adiknya agar tidak menyebarkan rahasia. Pasalnya setelah tersebar tidak hanya malu yang Radhi rasakan, tetapi harga dirinya pun ikut tergores. Radhi yang dikenal dengan citra baiknya ternyata menggunakan cara murahan untuk mencari tahu informasi sang mantan. Ayah Radhi pasti akan mengejek habis-habisan perbuatan putranya tersebut. “Nakia cantik, ramah, baik, siapa yang nggak suka? Terlepas dari status kami apa, Abang sama dia sekarang baik-baik aja. Urusan perasaan ya urus masing-masing. Abang nggak nunggu dia, tapi kalo jalannya nuntun balik ke dia, ya Abang bisa apa?” “Terus terang Bunda merasa kagum dan kasihan ke Abang. Sebaik-baiknya orang baru, ternyata orang lama tetap pemenangnya. Pokoknya Bunda nggak nuntut apa pun, kejar hal yang buat Abang bahagia. Bunda bantu doa dari belakang aja. Yang jadi takdirmu nggak akan melewatkanmu, selagi meraihnya dengan cara yang benar, maka lakukan saja, Nak.” Ayah menghela napas pelan. “Gimana ya, Bang? Ayah mau bantu, tapi sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan berakhir baik. Biarlah berjalan apa adanya itu jauh lebih baik. Kasus Ayah dan bundamu nggak bisa dijadikan patokan, kita berada di zaman yang berbeda. Segalanya nggak bisa dipukul sama rata.” Radhi tersenyum dan mengangguk. Dia senang tumbuh di tengah-tengah keluarga yang selalu mensupport-nya. Radhi harap baik sekarang maupun ke depannya nanti, semoga dia tidak akan pernah mengecewakan keluarganya. Semoga saja. “Nggak perlu, semua itu urusan Abang. Lagi pula Abang bukan anak kemarin sore. Kalian lupa? Abang ini pria dewasa, malu sama bakal jenggot kalo masih ngandelin orang tua.” Suasana mencair seketika. Raras saja sampai senyum-senyum sambil mengacungkan jempol ke arah abangnya. “Cowok bijak pasti bakal disukai cewek-cewek, tapi nggak tau ya apa ini berlaku juga buat Mbak Kia.” “Nggak perlu jadi bijak pun Abang udah banyak yang suka. Abangnya aja yang nggak mau buka hati ke mereka semua.” “Prettt!” “Mau buktinya, nggak?” tanya Radhi menaik turunkan alisnya. “Ogah! Abisin aja tuh rotinya, nanti telat lagi berangkat kerja. Kalo telat katanya jodohnya bakal dipatok ayam.” “Kalo dipatok ayam ya tinggal Abang goreng ayamnya, terus Abang makan.” Bunda tersenyum melihat kelakuan kakak-beradik itu. Mengalihkan pandangan ke samping, suaminya juga tak jauh berbeda. Dalam hati mereka, ternyata saat-saat seperti ini terjadi juga dalam hidup mereka. Menjadi pendengar saat anaknya berbicara soal percintaan, melihat mereka berdebat gara-gara hal yang sepele. Mengingat dulu, jangankan memiliki anak, tidur seranjang berdua pun haram bagi Bima dan Asha. Tuhan selalu punya cara untuk menyatukan hamba-hambanya. Lewat cerita tragis yang berakhir bahagia, atau pun lewat cerita bahagia yang berakhir lebih bahagia lagi. *** Nakia menguap lebar sambil berjalan menuju parkiran. Shift malamnya selesai, hari ini dia tidak mau ke mana-mana selain rebahan sepanjang hari di kamarnya. Harusnya tadi malam Nakia minta antar bapak saja, supaya paginya dijemput karena berbahaya menyetir dalam keadaan mengantuk. Namun, apalah daya. Mana kepikiran sampai sana. Dia berangkat kerja saja terdesak-desak, soalnya sempat ketiduran sampai pukul setengah sembilan. “Jangan dikucek matanya, nanti bisa iritasi.” Otomatis langkah Nakia terhenti, dia menurunkan tangan kemudian berkedip pelan untuk memperjelas penglihatan. “Dokter Zach,” gumamnya pelan, disertai senyuman. “Baru datang, ya?” “Iya. Ini buat kamu.” Satu cup kopi diserahkan pada Nakia, masih beruap tentunya. “Makasih banyak. Kok bisa beli dua? Sengaja atau ...?” “Sengaja, saya tahu kamu pasti ngantuk. Saya juga punya feeling kita akan bertemu di tempat parkir.” “Feeling Dokter Zach memang the best.” Nakia mengacungkan jari jempolnya. Interaksi mereka seperti biasa mengundang tatapan mata. Ada yang menatap sekilas, bahkan sampai menolehkan kepala karena saking penasarannya, ada pula yang memasang raut wajah mencibir karena merasa tidak suka. Nakia menyadari itu semua, tetapi alih-alih memikirkan, dia justru tidak peduli. Selagi dia tidak melakukan kesalahan, buat apa harus merasa tidak nyaman? Benar, kan? “Sudah sarapan, Nakia? Kalau belum, ayo sarapan bareng saya.” “Dok, maaf banget, saya udah tadi sama Wahyu.” “Oh, tidak apa-apa. Mungkin lain kali saja.” Zachary tersenyum mengerti, dia juga mengangguk sekali. “Baiklah, saya tidak mau menunda-nunda waktu kepulanganmu. Hati-hati menyetirnya, kalau dirasa tidak kuat menahan kantuk lebih baik pesan taksi online. Soal mobilmu, percayakan saja pada pihak keamanan rumah sakit.” “Aman. Ini udah melek poll berkat kopi dari Dokter Zach.” “Oh ya, saya mau koreksi satu hal. Panggil Zach saja kalau di luar jam kerja, itu lebih baik buat saya.” “Mmm, okay ... Zach.” Nakia sampai menggigit bibir bawah merasa gemas dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa hanya karena sepenggal nama, dia merasa seksi saat mengucapkannya? Ah, Nakia harap Zachary berpendapat yang sama dengannya. “Kalo gitu, saya pergi dulu. Selamat bekerja, Zach! Semangat!” “Ya, Nakia. Terima kasih. Semangat buat kamu juga.” Dari kejauhan, Radhi yang baru turun dari mobil langsung mendengkus dan membuang muka. Pemandangan pagi yang buruk, dia baru saja memantapkan tujuan untuk kembali mendekati Nakia, ternyata Zachary selalu curi start darinya. Sedekat apa sih hubungan mereka sekarang? Terus terang dadaa Radhi selalu sakit melihat kedekatan Nakia dengan banyak pria, dan lebih parah lagi saat dengan Zachary. Ibarat kata, pria itu kandidat terkuat jadi pesaing di antara kandidat-kandidat lainnya. Aduh! Mendadak dia tidak bisa berpikir gara-gara cemburu. Apa yang harus Radhi lakukan supaya tidak hanya Zachary saja yang bisa mengobrol lama dengan Nakia dan membuat perempuan itu berbinar-binar hanya karena pembicaraan sepele mereka? Saat alarm mobil Nakia berbunyi, Radhi langsung tersadar dan buru-buru menghampirinya. Minimal ada basa-basi menyapa ketimbang hanya melihat dari kejauhan saja. Harus ada niat dulu untuk memulai sebuah pergerakan. Ibaratkan langkah pertama dimulai dari hal yang kecil. “Ki, sebentar!” Nakia menoleh, dia yang awalnya kebingungan langsung tersenyum. “Abang? Baru datang, ya?” “Iya. Kau mau pulang?” Sesaat kemudian Radhi mengumpati dirinya di dalam hati. Basa-basinya ampas sekali. Sudah tahu Nakia mau pulang, pakai ditanya segala lagi. “Hm, mau pulang. Abang mau kerja, kan?” Nakia balas bertanya, tentunya dengan nada menggoda sekaligus bercanda. “Maaf. Aku sedikit kehilangan konsentrasi.” Kebiasaan Radhi saat grogi adalah menyugar rambut, dan kini dia sedang melakukannya. Sialan! Kenapa sih mendadak jadi orang bodoh?! Padahal Radhi selalu membanggakan kepercayaan dirinya yang berhasil memikat para wanita di luaran sana. Di depan Nakia dia jadi lembek, seperti pria bertulang lunak saja. “Udah sarapan, nggak? Atau Abang—” “Pagi, Dokter Radhi.” Ery tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka, dengan senyum berseri-serinya. “Mau ke dalam bareng?” “Oh, itu, Ry, aku masih ada—” “Kalo gitu saya permisi. Selamat kerja buat kalian berdua,” ucap Nakia dengan anggukan, kemudian memasuki mobilnya. Radhi terlambat mencegah, tangannya yang menggantung di udara kini turun dengan lunglai ke tempat asalnya. Bagaimana bisa mengungguli Zachary, sementara di saat seperti ini saja Radhi masih terbata-bata. Nakia oh Nakia, kenapa sulit sekali mengejarmu? Semakin Radhi mendekat, semakin Nakia tidak tergapai. Jiakkkhhh! Itu jeritan suara hati jomlo karatan, yang baru mencoba sekali tapi merasa tertolak duluan, dan mengeluh sebagai pelampiasan. Padahal usahanya masih belum seberapa, dan waktunya pun masih panjang. Radhi adalah definisi dari orang yang berkeinginan besar dengan usaha yang belum maksimal. “Dok, kenapa mukanya kecut gitu?” tanya Ery dengan kening berkerut. “Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong kau cantik sekali pagi ini.” Setelah kalimat itu keluar, Radhi langsung mengumpat lirih. Nah! Bagaimana bisa dengan Ery dia lancar menggombal, sementara dengan Nakia tadi dia tidak kepikiran? Si-a-lan memang! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN