Kencan Di Mana Kita?

1110 Kata
Demi penguasa langit bumi, kenapa El memeluk erat cowok macho di hadapannya, tapi menolak ciuman cewek cantik tadi? Za merasa kepalanya berdenyut kencang. Mungkin bagi yang tidak tahu siapa El, berpelukan seperti itu adalah hal yang wajar. Namun, bagi Za itu horor. "El?" Panggilan Za membuat pelukan mereka terlepas. El tersenyum lebar. "Jo, kenalin ini Za, dia—" "Aku temannya El, Za" sela Za cepat. Wanita itu mengulurkan tangan. Dan lelaki bernama Jo itu menyambutnya. "Halo, Cantik. Aku Jo." El di sebelah Za melirik tangan mereka yang tertaut. Rasa tidak sukanya tiba-tiba hadir. "Ehem!" Dehaman dia membuat jabatan tangan Jo dan Za terlepas. "Aku pikir dia pacar kamu, El." Jo masih menatap kagum Za. "Dia memang pacarku, ada masalah?" Jo menaikkan kedua alisnya, "oh, ya? Tapi tadi Za bilang kalian—" "Za bercanda. Dia sedikit ngambek." Seandainya bisa, Za ingin berdecak saat itu juga. Za yakin, El pun sedang memamerkannya kepada lelaki flamboyan bernama Jo ini. Atau sebenarnya Jo itu mantan El, hingga El berusaha sedang membuat Jo panas? Za menggeleng. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. "Jadi, Nona. Apa benar kamu pacar Ellard?" tanya Jo melirik El yang tampak waswas, takut Za tidak mengiyakan. Za menghela napas, dan mengangguk pasrah. "Iya." "Wow, selamat kalau begitu, El." Jo tersenyum aneh. "Sorry, Jo. Kami masih ada urusan." El menarik lengan Za, dan segera beranjak. Meninggalkan Jo yang tampak menyeringai. "El, siapa Jo? Apa dia salah satu mantan pasangan gay-mu?" tanya Za begitu mereka sampai ke taman. Langkah El mendadak terhenti mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut Za. Sehingga Za yang berjalan di belakang menubruk punggungnya. "Astaga, El! Kalau mau berhenti itu bilang-bilang. Nggak sadar badan kamu segede bagong?" omel Za. El berbalik. "Kamu ngomong apa tadi?" "Aku cuma nanya, si Jo itu mantan kamu bukan?" El berdecak. "Sampai kapan sih kamu anggap aku itu gay?" Za mengerjap. "Memangnya ka-kamu udah sembuh?" El mengerang. "Aku lapar, ayo kita pergi makan." Dia melanjutkan langkah. "El, di dalam tadi banyak makanan enak, gratis juga. Kenapa kita nggak makan di sana aja, sih. Lumayan kan?" "Enggak, kita makan di luar saja." Tentu saja El tidak sudi berlama-lama di sana. Za mencebik mengikuti langkah lebar El menuju parkiran mobil. "Percuma dong aku dandan cantik gini. Kirain mau lama di pesta tadi," gerutu Za ketika sudah berada di dalam mobil. "Aku sebenarnya malas datang ke sana, Za. Kalau aku nggak ajak kamu pasti aku bakal ditahan lama di dalam. Dan itu males banget." El menarik sabuk pengaman dan memasangnya. "Kalau kamu malas, harusnya nggak perlu datang sekalian dong." "Seandainya bisa." El menyalakan mesin mobil, dan segera keluar dari halaman rumah Celia. Persetan dengan apa yang akan terjadi besok. Dia yakin, Celia akan lapor sama papanya, dan berita ini akan sampai dengan cepat kepada Tuan Besar Thomas. "Jadi, kita mau kencan di mana?" Za mencolek pinggang El seraya mengedipkan mata. El mengulum senyum. "Mata kamu kenapa? Kena sawan?" Za berdecak. Sepertinya El memang tidak terpengaruh dengan godaan wanita mana pun. Malah dibilang kena sawan. Dasar lelaki tak peka. Mobil El masuk ke halaman parkir sebuah restoran fine dining di kawasan Kuningan. Alis Za menyatu. Ini serius El membawanya ke sini. Sumpah demi apa pun, kalau pun Za sudah memiliki gaji yang lumayan besar dia tidak mau menghabiskan uangnya di restoran yang bikin kenyang enggak, tapi bikin kantong bolong iya. "El, serius kita makan di sini? Kalau kamu mengajakku makan nasi goreng di pinggir jalan pun, aku nggak masalah, suer deh." Melihat suasananya saja sudah bikin Za merinding. Ryan pernah mau mengajaknya makan malam romantis di tempat seperti ini, tapi Za tolak mentah-mentah. Za tahu bagaimana Ryan susah payah mengumpulkan uang. Pacarnya itu tidak kaya raya, tapi juga bukan dari keluarga yang sederhana. Menjadi orang mandiri yang sukses, perjuangan Ryan luar biasa. Dan itu tidak mudah. "Sekali-kali makan di tempat kayak gini nggak apa-apa kali, Za." El mematikan mesin mobil. "Ya, kenyang enggak, pulang-pulang kamu jatuh miskin." El tertawa. "Makan sesekali di tempat seperti ini nggak akan bikin kita miskin, Za. Kamu tadi nanya aku kita akan kencan di mana kan? Nah, ini tempatnya. Sangat cocok untuk berkencan. Yuk, turun." El membuka pintu mobil di sebelahnya. "Tapi, El, daripada duit kamu itu buat manjain lidah dan ngenyangin perut, mending duit itu kamu pin—" "Pinjamin buat beli motor? Perempuan nggak aman bawa motor. Besok aku pinjemin kamu mobil saja," potong El. "Aku nggak bisa menyetir." "Kalau gitu biar aku antar jemput kamu." "Itu merepotkan." El tertawa. Lagi-lagi Za mengingatkannya pada jaman putih abu-abu. Keras kepalanya masih sama. "Kita turun sekarang?" tanya El. Za menyempatkan diri melirik gedung restoran di hadapannya. Gedung itu berdiri dan diam, tapi bisa mengintimidasi. Za tidak terlalu suka menu Eropa yang dibuat chef-chef asing di sana. Selain harganya yang bisa mencekik leher, lidahnya juga kurang cocok. Dia pernah diajak Fay—sahabatnya—makan masakan Prancis, dan Za merasa lebih baik makan nasi Padang lauk tiga daripada menu dengan harga selangit, tapi porsi seuprit. Za perlu menghela napas panjang sebelum mengamini ajakan El. Tapi ya sudahlah, perutnya juga sudah kelaparan. Asal tagihannya tidak ditimpakan padanya, tidak apalah sekali-kali mencoba. Za melepas sabuk pengaman dan mereka turun. "Loh, El. Bukannya di restoran ini kita kudu reservasi dulu?" Za merasa ada alasan bagus agar El tak jadi membawanya masuk. "Kamu tenang aja. Aku udah reservasi kok?" "Apa?" Za tak percaya itu. "Kamu beneran nggak niat ajak aku ke pesta tadi, ya?" Pikiran Za tak salah kan? Mengajak makan malam dengan modus menemani ke acara pesta. El terkekeh. "Kan aku sudah bilang. Malas datang ke sana sebenarnya." Mereka berjalan beriringan memasuki restoran. Seorang pelayan menyambut, dan mengajak mereka menuju meja yang sudah El reservasi. Sebagai mahluk penghuni kota metropolitan Za bisa membawa sikap. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Za bisa berubah sangat sopan atau pun sebaliknya. Seperti malam ini, dia tampak elegan dan anggun. Meskipun jarang dan hampir tidak pernah makan di restoran fine dining, sikap Za tampak berkelas ketika seorang pelayan begitu terlihat resmi melayaninya. Za menyerahkan semua pilihan menu kepada El, dengan catatan dia tidak mau pesan wine sebagai menu pembuka. "El, kamu beneran nggak tertarik sama sekali ke Celia?" tanya Za begitu pelayan tadi undur diri. "Enggak." "Dia cantik banget loh, El. Kulitnya ya ampun, porselen aja kalah. Dan aku yakin nyamuk nggak mau nempel di sana karena takut kepleset." El memutar bola mata. "Jangan berlebihan. Aku sudah sering bertemu wanita seperti Celia. Tapi ya, biasa saja." Za semakin menatap ngeri sahabatnya, dan berpikir apa mungkin El itu sudah sulit diluruskan? _________________ Za masih kekeh ya anggap El itu gay. Nggak bisa disalahkan sih, El memang membuatnya tetap salah paham. Yuks jangan lupa ramaikan dan tap love ya. Gaes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN