Menu fine dining yang tidak buruk. Za berhasil menghabiskan setiap menu yang disajikan. Semoga dia tidak sakit perut setelah menyantap makanan mahal ini.
"Apa kamu sering mengajak pasanganmu ke sini?" tanya Za. Pasangan gay kan kehidupannya sama seperti pasangan normal, bahkan malah lebih romantis.
"Enggak pernah," jawab El singkat tanpa menoleh pada Za. Dia lebih baik menikmati dessert daripada menjawab pertanyaan Za.
"Masa, sih? Biasanya seorang gay itu akan—"
El mengembuskan napas kasar. Saking kasarnya Za sampai berhenti mengoceh.
"Za, apa kamu percaya kalau aku bilang : aku bukan seorang gay?" tanya El menatap Za.
"Aku akan percaya kalau kamu lebih memilih menerima ciuman Celia daripada menerima pelukan pria bernama Jo tadi."
Rasanya El ingin menjedotkan kepala ke atas meja sekarang juga.
Za terkekeh. "Baiklah, aku nggak akan membahasnya. Kamu pasti nggak enak kalau aku terus-menerus membahas orientasi seks kamu." Dia mengibaskan tangan seraya tertawa.
Bahu El melorot. Seandainya wanita itu tahu, kalau dulu itu dia terpaksa berbohong menutupi perasaan merah jambunya demi terus dekat dengan Za, apa kira-kira yang akan Za lakukan padanya sekarang?
Za baru saja memasukan suapan terakhir dessert-nya ketika matanya menangkap sesuatu yang sulit dia percaya. Dia sampai harus mengucek mata melihat itu, bahkan sendoknya masih nyangkut di dalam mulut. Namun, tak lama benda perak itu meluncur jatuh ke bawah meja.
Sepasang pria dan wanita yang tengah duduk saling berpegangan tangan di sudut lain penyebabnya. Za tidak mengenal wanita cantik bergaun hitam itu. Namun, Za sangat kenal dan paham lelaki yang bersama wanita itu. Dia Ryan, pacarnya yang sedang ngambek karena proposal pernikahan yang lelaki itu ajukan selalu Za tolak.
"Ada apa, Za?" tanya El melihat tiba-tiba Za mematung sementara sebuah sendok meluncur dari mulutnya.
Za langsung tersentak. Dia hendak mengambil sendok itu. Namun, segera El cegah.
"Biarkan saja," ucap El seraya melirik arah pandang Za tadi.
Tidak ada pemandangan aneh. Hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati makan malam, sama seperti dirinya dan Za.
"Kamu mengenal mereka?" tanya El. Mendadak raut muka Za tampak pias.
"El, apa kita bisa pulang sekarang?" Bukannya menjawab pertanyaan El, Za malah meminta pulang.
"Tapi makanan kamu belum habis, Za."
Serta merta Za melirik piringnya. El benar, sayang kalau dessert mahal ini tidak dihabiskan. Mungkin saja El menguras tabungannya demi makan malam di sini. Akan sangat tidak menghargai kalau Za tidak menghabiskan sisa makanannya.
Za meraih sendok baru, dan mulai memakan dengan cepat. Dessert dengan porsi seuprit habis dalam sekejap. "Aku udah selesai, El. Apa kita bisa pulang sekarang?"
"Oke." El juga meletakkan sendok. Mengelap mulut dengan tisu, dia melirik lagi ke arah orang yang bikin muka Za berubah masam. El juga sempat melihat diam-diam Za mengambil gambar mereka. Meskipun bingung, El mencoba mengabaikan.
Setelah urusan t***k bengek bill selesai, mereka keluar dari restoran. El masih bingung dengan perubahan sikap Za. Di mobil pun wanita itu jadi pendiam. Ada yang tidak beres. Sebenarnya siapa mereka yang bikin Za jadi seperti ini?
"Za, kamu kenapa? Kamu mendadak diam. Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya El membuka percakapan.
Ya, Za tahu. El pasti kebingungan dengan sikapnya. Tapi dia lagi tak ingin membahas ini. Mungkin nanti kalau perasaannya sudah sedikit membaik. Jadi, selama perjalanan menuju kosan, Za tetap memilih bungkam. Dia hanya mengucapkan terima kasih saat hendak turun dari mobil.
"Za, kamu boleh cerita apa pun padaku seperti dulu. Aku nggak berubah. Aku masih sama dengan El yang dulu. Jadi, kamu nggak perlu sungkan," ucap El sebelum Za benar-benar keluar dari mobilnya.
Za memaksa tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, El. Kamu memang teman yang baik. Aku masuk dulu."
El membiarkan Za turun dari mobil. Dia baru mulai pergi dari sana saat Za hilang dari pandangan matanya.
***
Tidak ada air mata meskipun Za kecewa. Sebelum Za menanyakan yang dilihat tadi di restoran, dia tidak mau berkesimpulan. Mungkin saja wanita itu adiknya Ryan. Bisa jadi kan? Ya, meskipun Ryan tak pernah bercerita kalau dia punya adik. Namun, pikiran lain menyangkal. Seorang kakak tidak mungkin membawa adik perempuannya makan malam di tempat romantis seperti itu sambil berpegangan tangan. Kemungkinan itu memang ada, tapi Za tidak pernah dengar.
Dia mengirim gambar yang tadi sempat diambilnya kepada Ryan. Gambar kebersamaan Ryan dengan perempuan itu. Ingin tahu reaksinya. Beberapa detik kemudian balasan itu muncul. Balasan pertama lelaki itu sejak beberapa hari lalu mengabaikan Za yang mencoba membangun komunikasi.
'aku akan datang'
Hanya itu saja isinya. Za menghela napas, lalu melempar ponsel ke atas ranjang tidur. Dia lantas beranjak menuju kamar mandi mengganti gaunnya dengan baju tidur. Membersihkan sisa-sisa make up yang menempel di wajahnya, Za melirik ponselnya yang berbunyi. Dia mengabaikan panggilan telepon itu dan memilih melanjutkan membersihkan wajah. Za tidak mau mendengar penjelasan Ryan lewat telepon. Dia ingin mendengar langsung dari mulut lelaki itu.
Za baru saja menarik selimut ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Matanya spontas melirik jam dinding yang berada tepat di atas nakas. Hampir pukul sebelas malam. Ada perasaan nyeri hinggap membayangkan kenyataan Ryan di sana tengah menemani wanita itu, baru kemudian datang ke sini.
Za menghela napas sebelum turun dari ranjang. Dengan malas dia menyeret kaki menuju pintu. Yang datang beneran Ryan. Masih mengenakan outfit sama seperti yang Za lihat di restoran beberapa jam lalu. Za melebarkan jarak memberi Ryan akses masuk. Za akui pengendalian diri lelaki itu lumayan bagus. Wajahnya masih tampak tenang padahal dia memiliki kesalahan yang harus dijelaskan pada Za.
Ryan duduk tanpa Za persilakan. Seperti biasanya, lelaki itu akan menganggap kosan Za ini seperti tempatnya sendiri.
"Kamu sudah tidur tadi?" tanya Ryan.
"Hampir." Sumpah melihat wajahnya ingin rasanya Za menumpahkan segala kekesalan yang menyumpal di kepala.
"Duduk dulu, Za," ucap Ryan menepuk tempat di sebelahnya yang masih kosong.
Apa dia mengira Za akan tetap bersikap manis setelah tahu apa yang lelaki itu lakukan di belakang Za?
Za memang beranjak duduk, tapi agak jauh dari posisi Ryan.
"Za, kamu dapat foto itu dari mana?" tanya Ryan hati-hati. Lelaki itu tahu benar Za sekarang sedang marah padanya.
"Nggak dari mana-mana aku yang memfotonya sendiri."
Alis Ryan tertaut. "Jadi, kamu ada di sana juga? Sama siapa?"
Apa?
"Bukannya aku yang harusnya nanya kamu di sana sama siapa?" Za menaikkan alisnya. Dia tidak akan membiarkan Ryan menyerang balik.
"Dia—"
"Jangan bilang itu teman, karena nggak akan ada teman yang bermesraan di candle light dinner."
"Itu bukan candle light dinner, Za. Itu cuma makan malam biasa." Pembelaan diri dimulai.
Za mengangkat bahu. "Entahlah yang jelas aku lihat kalian tampak mesra. Aku jadi tahu alasan beberapa hari ini kamu nyuekin aku."
__________________
Jangan lupa ramaikan dan tap love ya Gaes.