"Aku begitu karena kamu, Za. Kamu yang bikin angan-angan dan harapanku soal pernikahan kosong." Ryan masih saja berkilah.
"Terus karena itu kamu selingkuh dengan perempuan lain?"
"Aku nggak selingkuh."
"Oh, jadi kamu mau bilang aku ini buta?!" Za mulai naik pitam.
"Bukan begitu, Za. Nggak semua yang kamu lihat seperti yang kamu pikirkan?"
"Terus aku harus berpikir apa saat melihat pacarku sendiri sedang berpegangan tangan dengan wanita lain?"
"Za, dia itu wanita yang ibuku kenalkan. Aku pergi dengannya hanya untuk menyenangkan hati ibu."
Za hampir memutar bola mata mendengar penjelasan Ryan. Apa lelaki itu pikir dia masih kecil sehingga gampang dibodohi? Astaga, apa menyenangkan hati ibunya harus banget berpegangan tangan seperti itu?
"Aku terpaksa melakukannya, Za."
"Aku nggak lihat kamu merasa terpaksa. Wajahmu begitu menikmati saat mengelus tangan perempuan itu. Jangan bilang kamu sedang menghayati akting kamu. Ayolah, kenapa nggak sekalian saja kamu daftar jadi artis?"
Ryan mengusap wajah. Percuma saja dia menjelaskan, Za dalam keadaan emosi. Penjelasan macam apa pun tidak akan wanita itu terima.
"Za, itu nggak seperti yang kamu pikir." Ryan menekan sekali lagi kata-katanya.
"Kamu tahu kan? Aku akan memaafkan kesalahan apa pun selain selingkuh?"
Ryan terperangah mendengar pertanyaan Za. Jangan bilang wanita itu mau memutuskannya. Seberat apa pun masalah mereka, Ryan tidak pernah sekali pun mengucap kata putus.
"Za, kamu hanya lagi emosi. Please, jangan memutuskan sesuatu saat emosi kamu lagi nggak stabil. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin." Ryan mencoba mendekati Za. "Please, Za. Jangan gegabah. Kita sudah bersama selama dua tahun."
Mata Za terpejam. Kenapa dia tak ingat itu saat sedang bersama dengan wanita itu? Apa gunanya mengingat kebersamaan selama dua tahun itu sekarang? Dikhianati itu sakit. Za udah sering mengalaminya. Haruskah ini terulang lagi?
"Kamu mending pulang deh, Yan." Za beranjak mendekati tempat tidurnya, mengambil dompet dari dalam laci, dan mengeluarkan salah satu isi dompet itu. Dia lantas kembali berjalan mendekati Ryan. Meraih tangan laki-laki itu, Za mengembalikan kartu debit yang sempat lelaki itu pinjamkan.
"Bawa ini, isinya masih utuh. Nggak aku gunakan satu peser pun."
Ryan makin gusar di tempatnya. "Za, kamu nggak perlu sampai kayak gini," ucapnya dengan tatapan memelas. "Aku beneran nggak ada hubungan spesial dengan wanita itu."
Za menutup telinganya. Tidak mau mendengar penjelasan apa pun untuk saat ini.
Menghela napas panjang, akhirnya Ryan mengalah. Sebelum Za mengucapkan kata yang akan menghancurkan hubungannya, lebih baik dia menyingkir.
"Aku nanti ke sini lagi," ucapnya. Dia hendak memeluk, tapi Za segera mungkin menghindar. Ryan mengembuskan napas. "Baiklah, Za. Aku pulang sekarang." Ryan melangkah keluar dari kosan Za.
Memastikan Ryan sudah tidak ada, Za segera mengunci pintunya. Matanya sejak tadi sudah terasa panas. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan kedua mata, seolah dengan itu bisa mencegah air mata itu agar tidak tumpah. Namun, ketika dia duduk di tepi ranjang, dia tidak bisa menahan ledakan di dadanya. Astaga, rasanya sesak sekali, dan Za tidak sanggup lagi. Dia segera membenamkan diri di atas bantal dan menangis sejadinya.
"Ryan, berengsek!" teriaknya. "Kenapa kamu harus lakukan ini padaku juga?! Berengsek!" Dia menjerit sejadinya seraya terus menangis di atas bantal. Ini cara ampuh agar jerit pilunya tidak terdengar oleh siapa pun.
Ke mana perginya dua tahun yang dia banggakan sekarang, kalau pada akhirnya Ryan sama saja seperti lelaki yang dulu-dulu pernah dipacarinya? Setelah bosan, lelaki akan mudah mencari pengganti. Ini sulit dipercaya, tapi Za melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ini menyebalkan! Ryan berengsek!
***
El memutar bola mata karena lagi-lagi Thomas memanggilnya. Sudah dapat ditebak, ini pasti masih ada hubungannya dengan kedatangannya di pesta Celia malam tadi. Mengembuskan napas, dia beranjak dari tempat duduknya.
Desi tersenyum ketiak El melewati meja kerjanya. "Semangat, ya, Pak." Wanita itu mengepalkan tangan kanannya ke atas. Namun, El hanya menggeleng dan cepat berlalu.
Seperti biasa Milea menyambut kedatangannya penuh antusias. El bukannya tidak tahu kalau sekretaris ayahnya itu selalu bersikap genit padanya. Diam-diam wanita yang memiliki bulu mata lentik itu sering memberinya kode. Bahkan Milea pernah menyelipkan kertas yang berisi angka kombinasi pintu apartemennya pada El. Wanita itu sama sekali tidak merasa takut El akan melaporkan tindakannya pada dewan direksi.
"Pak El, sudah ditunggu Pak Thomas. Mari saya antar." Wanita itu sudah berdiri jauh sebelum El sampai di hadapannya.
"Tidak perlu, Milea. Saya tahu jalan ke ruangan ayah saya."
Milea menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Iya, Pak. Oh iya, Pak El mau minum apa? Biar saya buatkan."
"Tidak perlu, saya cuma sebentar." El lanjut melangkah menuju pintu ruangan Thomas. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
"Sampai kapan kamu jadi anak kurang ajar? Untuk apa pintu itu ditutup kalau masuk saja asal nyelonong?" omel Thomas melihat El yang masuk tanpa sopan.
"Sori, Pa. Aku lagi nggak mau berbasa-basi. Papa ada apa memanggilku?" El menengok pergelangan tangannya. "Sebentar lagi aku ada meeting dengan customer."
"Jangan sok sibuk."
"Aku memang beneran sibuk, Pa." Memangnya dirinya? Yang kerjaannya cuma duduk ongkang-ongkang kaki?
"Papa dengar kamu datang cuma sebentar ke acara ulang tahun Celia." Thomas mulai membicarakan tujuannya memanggil El. Sungguh, El tidak tahu apa yang membuat papanya itu getol menyuruhnya dekat dengan Celia. Kenapa tidak dengan wanita lain saja? Celia, astaga. Wanita itu berubah menyebalkan ketika hormon di tubuhnya mulai banyak berproduksi.
"Iya, Pa."
"Dan papa dengar kamu datang bersama seorang wanita. Siapa dia El?" tanya Thomas memajukan badannya.
"Aku rasa Papa tahu juga siapa wanita itu, nggak cukup sampai di situ saja 'kan Celia lapor ke Papa?"
Bunyi gebrakan meja sama sekali tidak membuat El takut. Thomas sering melakukan hal itu kalau sedang jengkel, bahkan saat rapat direksi sekali pun. Perangai yang sangat buruk. Untung saja, El hanya mewarisi ketampanannya.
"Sudah Papa bilang jangan kecewakan Celia. Kamu sudah melepas Luna, jangan sampai Celia juga lepas," ucap Thomas geram.
"Aku tidak pernah meninggalkan Luna. Dia yang pergi dariku."
"Itu karena kesalahan kamu yang tidak bisa menjaganya."
El menarik napas panjang. Selalu saja dirinya salah. Entah kapan benarnya.
"Putuskan wanita itu dan minta maaf sama Celia," pungkas Thomas otoriter.
El membenarkan jasnya. "Sori, kali ini aku nggak menuruti permintaan Papa."
"Kamu—"
"Karena waktu meeting udah hampir tiba, aku pamit," potong El seraya menengok kembali pergelangan tangannya. Dia lantas berbalik melangkah.
"El, jangan coba-coba membantah Papa. Kamu pikir karena siapa kamu bisa seperti ini?"
Lahkah El sontak terhenti. Dia menghela napas. Papanya tidak pernah menghargai usahanya di perusahaan ini. Manusia itu selalu menganggap perusahaan maju karena dirinya. Delapan tahun El ikut terjun ke perusahaan ini sama sekali tidak ayahnya itu pandang. Dia selalu menuruti kemauan Thomas. Cita-cita menjadi seorang pilot harus dia kubur dalam-dalam demi memenuhi ambisi sang papa. Tapi, papanya selalu saja tidak pernah menghargai usaha kerasnya. Kalau kali ini dia membantah, itu artinya kesabarannya sudah di ambang batas. Namun, mana Thomas mengerti?
_________________
Yuks ramaikan, jangan lupa tap love ya Gaes. See you