Persetan dengan kebohongan Ryan. Za menyibukkan diri dengan seabreg pekerjaan. Keluar masuk ke line produksi dan beberapa departemen. Menyusun laporan dan t***k bengek lain. Hari ini dia tidak mau mengingat Ryan sama sekali. Tidak sudi jika air matanya jatuh berderai karena pengkhianatan lelaki itu.
Ponselnya sengaja dia taruh di dalam tas. Karena Za tahu persis, Ryan akan terus berusaha menghubunginya jika dia merasa punya salah sama Za.
"Za, makan siang. Jangan kerja terus." Rangga menatap horor Za yang masih terus menekuri layar komputer. Padahal jam makan siang udah lewat beberapa menit lalu.
"Iya, nanti."
"Pak Ellard nggak nyamperin ke sini. Tumben." Mata Rangga celingukan.
"Mungkin lagi sibuk, Pak," jawab Za tanpa lepas dari layar komputer.
Rangga menatap heran Za. Wanita itu hari ini sibuk banget. Mondar-mandir dari tadi tidak ada lelahnya. Ya, Rangga tahu kerjaan di divisi ini lumayan banyak. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, Za kelihatan lebih sibuk. Dia juga lebih irit bicara. Rangga menduga ada yang tidak beres Dengan rekannya itu.
"Mau ikut saya makan di kantin?" tanya Rangga menawari.
"Nggak perlu, Pak. Saya sudah nitip sama OB Bentar lagi dia juga datang." Za menjawab dengan senyum singkat lantas dia serius lagi menghadap komputer.
"O-oh, oke deh. Saya makan siang dulu kalau gitu." Dengan kepala penuh tanya, Rangga mundur dari Za. Dan tanpa sengaja tepat di pintu masuk kantor, langkahnya malah menabrak seseorang. Gimana tidak? Rangga berjalan mundur seraya terus melototin Za yang masih tampak sibuk.
"Rangga, kalau jalan yang bener?!" tegur Pak Kusno, orang yang Rangga tabrak.
"Maaf, Pak nggak sengaja. Saya tadi lagi liatin Za."
Alis Pak Kusno menukik. "Ngapain kamu liatin pacar Pak Ellard? Kamu mau kena colok? Jangan bilang kamu naksir Zanna." Pak Kusno memelankan nada suaranya.
"Astaga, ya enggaklah, Pak. Zanna itu lagi mode aneh, Pak. Dia dari pagi datang kerja terus tanpa istirahat. Ada saja yang dia kerjakan,"terang Rangga ikut memelankan nada suaranya.
"Ya bagus dong. Daripada kamu malas-malasan. Zanna aja yang baru rajin begitu."
Hampir saja Rangga memutar bola mata. "Ya nggak gitu juga kali, Pak. Ini itu aneh. Saya menduga dia ada masalah pribadi. Masalah sama Pak El mungkin. Sekarang aja dia makan siangnya nitip OB."
Pak Kusno jadi ikut berpikir mendengar ucapan Rangga. Dia lantas melihat Za yang masih tampak mengetik sesuatu.
"Sudahlah. Biarkan saja. Itu bukan urusan kita." Pak Kusno mengibaskan tangan. "Kamu mau ke mana sekarang?"
"Mau ke kantin."
"Kita sama-sama saja."
"Jangan, Pak! Nanti kita kena gosip."
"Gundulmu kuwi gosip!"
Rangga menahan tawa. "Canda, Pak. Mari, Pak. Tapi saya ditraktir, ya, Pak."
"Jangan cari kesempatan, Rangga."
"Ahelah, Pak. Jarang-jarang ini."
Pak Kusno menggeleng dengan tingkah bawahannya yang satu ini. "Ya, sudah. Cepat. Saya sudah lapar ini."
Sementara Za di meja kerjanya sedang berusaha mengenyahkan bayangan Ryan yang selalu mengganggu di tengah kesibukannya. Ini menyebalkan. Dia menyerah saat ruangan kantornya sepi. Menumpukkan kedua siku ke atas meja dia memijat kepalanya sendiri.
"Kamu ngapain sih, Za. Yang sudah-sudah juga gampang kok kamu lupain. Kamu nggak akan mati kalau ditinggal laki-laki satu kali lagi," gumamnya lantas menyandarkan punggung ke kursinya.
OB beberapa menit lalu sudah mengantar makanan pesanannya, tapi Za sama sekali belum menyentuhnya. Padahal tadi pagi dia juga belum sarapan. Hanya kafein yang masuk ke perutnya pukul sepuluh tadi.
Za meraih tas, dan merogoh isinya. Tepat saat dia mengaduk isi tasnya, ponsel yang sengaja dia tinggal di tas itu bunyi. Za membiarkan saja saat tahu panggilan itu dari Ryan.
Setelah ponsel itu berhenti berdering dia mengeceknya. Za mendapatkan lumayan banyak panggilan tak terjawab. Khususnya dari Ryan. Ada juga dari El. Ryan juga mengiriminya pesan w******p bertubi-tubi. Za tertawa miris.
"Harus ketahuan selingkuh dulu, baru dia menghubungiku. Dasar laki-laki sialan."
Kebaikan Ryan selama ini raib seketika. Za tidak terima saja. Lelaki itu bahkan masih meminta Za untuk menikah dengannya. Tapi bisa-bisanya dia jalan dengan perempuan lain? Alasannya juga tidak serta merta Za terima begitu saja. Ryan tidak bisa bilang mereka baru kenal beberapa hari. Baru kenal tidak mungkin makan malam di restoran mahal sambil berpegangan tangan.
Za melempar ponselnya kembali ke dalam tas. Mengingat Ryan di restoran semalam membuat dirinya kesal. Za memutuskan membuka makan siangnya. Dia tak mau sakit gara-gara Ryan. Bisa besar kepala lelaki itu.
Meskipun nggak ingin, dia terus menjejalkan makanan ke mulutnya. Mengunyah dengan cepat.
***
El mendongak saat pintu lift tampak terbuka. Rombongan para karyawan perusahaannya termasuk Za keluar dari pintu besi itu.
Dia tersenyum lebar, dan hendak menghampiri Za ketika orang lain lebih dulu menghampiri wanita itu. El urung melangkah dan lebih memerhatikan lelaki yang kini berhadapan dengan Za. Siapa lelaki itu? Apa dia pacar Za? Za tidak pernah cerita kalau di sudah punya pacar.
Tapi ... Kelihatannya Za terlibat perdebatan kecil dengan lelaki itu. Bahkan sekarang El melihat Za menyentak tangan lelaki itu.
Sebenarnya ini bukan urusannya. Namun melihat Za sepertinya tidak nyaman dengan perbuatan lelaki itu, El merasa perlu menolongnya. Dia kemudian beranjak dengan langkah lebar.
"Ada apa ini?"
Keduanya kontan menoleh saat El tiba-tiba bertanya.
"Za, apa dia mengganggumu?" tanya El lagi.
"Saya tidak mengganggunya. Anda siapa? Lebih baik tidak usah ikut campur," jawab lelaki itu.
"Saya? Saya, saya pemilik perusahaan ini. Dan Za adalah karyawan saya. Jadi, saya berhak ikut campur jika ada yang mengganggu karyawan saya. Apalagi itu terjadi di gedung kantor saya."
Jawaban El bikin Za melongo. Bagaimana bisa El menjawab seperti itu? Harusnya lelaki itu tak perlu sampai harus berbohong.
"Oh, jadi karena Anda bos di sini, Anda merasa punya hak ikut campur masalah pribadi bawahan Anda? Anda mungkin atasan Za, tapi Za itu pacar saya. Untuk hal ini, Anda tidak punya kapasitas mencampuri urusan kami," terang Ryan. Ya, lelaki itu adalah Ryan.
Sebenarnya Za sudah bisa menduga kalau Ryan pasti akan menjemputnya ke kantor. Tapi buat apa? Kemarin-kemarin ke mana saat Za butuh jemputan itu?
El menelan ludah mendengar penuturan Ryan. Jadi, lelaki itu benar-benar pacar Za. Sesuai dengan dugaannya. El pikir Za masih sendiri.
"Ayo, Za. Kita pulang," ajak Ryan menarik tangan Za. Namun, wanita itu menyentaknya.
"Aku nggak mau pulang sama kamu. Aku pulang sama El." Za beringsut memegang lengan El. "Dia temanku. Ayo, El."
Meskipun bingung, El menurut saja saat Za menariknya keluar lobi.
"Za, kamu nggak bisa gini, dong." Ryan mengejar langkah mereka dan berusaha mencekal lengan Za yang hampir mencapai pintu keluar. Sekarang ini posisi mereka menjadi pusat perhatian orang-orang lalu lalang.
Za menggeram. Ryan benar-benar menyebalkan.
__________
Drama dikit nggak pape ya Gaes. Wkwk