"Jangan terlalu yakin. Aku beritahu ya, tidak ada yang tahu bagaimana kalian berdua akan berakhir nantinya. Siapa tahu memang jodoh. Jadi jangan terlalu membencinya." Hanna cekikikan setelah mengatakan itu.
"Mustahil!" bantah Sherly cemberut. "Bahkan jika di dunia ini hanya tersisa satu orang pria, aku juga tidak akan mau bersamanya."
"Yakin?" goda Hanna.
"Ah malas! Kenapa malah membicarakan pria aneh itu. Lebih baik aku tidur, dah!"
"Ya ya ya! Tidur sana. Siapa tahu mungkin akan bertemu dalam mimpi." Hanna kembali tertawa. Sedangkan Sherly langsung mematikan panggilan video itu.
"Benar-benar berisik." Sherly meletakkan ponselnya di atas nakas lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Dia berharap dapat tidur sesegera mungkin karena harus bangun pagi untuk hari pertamanya koas.
Namun, bayangan pria itu tiba-tiba muncul dalam kepalanya. Momen di mana pria itu tiba-tiba menciumnya, merebut ciuman pertama yang bahkan selalu dijaga nya saat berpacaran dengan Danuarta selama dua tahun.
"Aa!" Sherly berteriak karena matanya menjadi semakin sulit terpejam. Dia melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan angka setengah sebelas malam. Waktu benar-benar semakin sedikit untuk dirinya beristirahat.
Segala upaya dilakukan Sherly untuk mengusir bayangan pria aneh itu dari kepalanya. Dia mencoba untuk tidur bahkan dengan membekap seluruh tubuhnya menggunakan tiga lapis selimut.
Sherly berpikir dengan begitu dirinya akan merasa hangat dan tak lagi mengingat momen ciuman saat pesta. Sayangnya, ketika pikiran sudah kosong dan berhasil tidur untuk beberapa saat, bayangan Seto kembali muncul dalam mimpinya.
Sontak Sherly kembali terduduk dengan mata yang terlihat lelah. "Dasar Hanna bermulut busuk. Sekarang, pria itu benar-benar muncul dalam mimpiku. Aku tidak bisa tidur!"
Setidaknya Sherly terus terjaga sampai jam dua belas malam. Sherly akhirnya bisa tidur setelah menghabiskan dua gelas s**u hangat dan juga diiringi lagu pengantar tidur.
___
Keesokan paginya.
Sherly terbangun dari tidurnya saat sinar matahari menembus gorden apartemennya. Perlahan dia duduk, melihat jam sekilas kemudian bangun menuju kamar mandi.
"Eh, tadi jam berapa?" Sherly mendadak berhenti saat tidak begitu yakin dengan apa yang dilihatnya. Dia mengangkat wajahnya kembali untuk menatap ke arah jam dinding untuk memastikannya. Seketika pada saat itu matanya yang masih tersisa sedikit rasa kantuk langsung terbuka sempurna.
"Apa?! Sudah setengah tujuh lewat?!" Sherly panik melempar handuk yang dibawanya. Pandangan Sherly tertuju pada jam alarm di sebelah ponselnya. Entah kenapa jam alarm itu tidak berbunyi padahal Sherly cukup yakin sudah mengaturnya jam enam.
"Celaka! Aku akan terlambat."
Tidak ada waktu untuk mandi. Sherly hanya mencuci muka, gosok gigi lalu memakai jas koasnya. Sarapan juga tidak ada waktu, Sherly memasukkan satu bungkus roti ke dalam tasnya.
Dalam waktu kurang dari lima belas menit Sherly sudah selesai dengan semua persiapannya. Ini rekor tercepat yang pernah dilakukan Sherly. Namun, saat akan berangkat dan membuka pintu, Sherly mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi.
Terpaksa Sherly mengeceknya. Alangkah terkejutnya saat menemukan pipa air di dalam kamar mandi bocor. Air terus keluar cukup deras, debit air yang terus bertambah bahkan mulai tumpah ke luar.
"..." Sherly tercengang sampai mulutnya hampir terbuka. Rasanya Sherly ingin mengumpat pada saat ini juga. Seolah hal siap ini sengaja datang kepadanya untuk mengacaukan hari pertamanya koas.
Sherly segera menghubungi pihak maintenance apartemen. Dia menekan nomor telepon yang sempat diberikan mamanya sebelum naik ke pesawat.
"Halo!" Terdengar suara wanita paruh baya dari ujung telepon. Sherly terlebih dahulu memperkenalkan dirinya sebagai penghuni apartemen nomor 69 sebelum mengatakan masalahnya.
Wanita paruh baya di ujung telepon merespon dengan cepat. Dia akan segera menghubungi timnya, sebelum datang ke apartemen. Namun dia meminta agar Sherly tetap di apartemen, setidaknya sampai mereka datang.
"Apa?" Sherly terkejut saat mendengarnya. "Tidak bisakah mereka melakukan pekerjaan jika aku pergi?"
"Jika kamu pergi, bagaimana tim kami bisa masuk? Itu menyalahi kode etik."
Sherly menggigit ujung lidahnya kemudian melirik ke arah jam dinding. "Aku bisa menunggu, tapi berapa lama mereka akan sampai?"
"Paling lama sepuluh menit. Sekarang mereka sudah dalam perjalanan."
Sherly tidak punya pilihan lain kecuali menunggu orang-orang yang dikirim pihak maintenance. Tak jarang matanya melirik ke arah jam dinding untuk melihat berapa waktu yang tersisa.
Sepuluh menit kemudian sudah jam tujuh kurang empat menit. Sherly menggigit jari dengan panik, menunggu di depan pintu apartemen orang-orang yang dikirim oleh pihak maintenance.
"Di mana mereka, katanya sepuluh menit sidah sampai." Tepat saat Sherly menutup bibirnya, pintu lift yang ada di ujung lorong terbuka memperlihatkan beberapa orang mengenakan rompi berwarna kuning.
"Apartemen 69?" Satu dari mereka menghampiri Sherly dan memastikan jika Sherly adalah penghuni apartemen nomor 69.
"Benar. Bisakah aku pergi sekarang, aku sudah sangat terlambat."
"Silakan." Begitu mendengar kata ini Sherly langsung pergi sambil menyampirkan jas putihnya yang sempat dilepasnya.
Beruntung Sherly sudah memesan taksi beberapa menit lalu sehingga taksi sudah ada di depan gedung ketika Sherly sampai.
"Pak, ngebut ya, ke rumah sakit Medika."
"Baik,"
___
Di rumah sakit Medika.
Jam tujuh tepat semua mahasiswa koas berkumpul untuk menghadap konsulen mereka. Satu persatu di absen, tetapi ketika satu nama dipanggil, ruangan itu menjadi hening karena tidak ada yang tahu keberadaan satu orang tersebut.
"Sherly!" Seto mengangkat wajahnya menatap satu persatu mahasiswa koas yang berada dalam tanggung jawabnya. "Apa tidak ada yang melihatnya?"
Lima mahasiswa koas itu diam.
Bagaimana ingin berbicara jika mereka saja tidak mengenal siapa itu Sherly. Bahkan di antara mereka tidak ada yang saling mengenal karena berasal dari universitas kedokteran yang berbeda.
Cih!
Seto berdecak. "Hari pertama sudah terlambat. Wanita ini benar-benar bermasalah!" batinnya. "Kalian berlima, nanti jika dia sudah datang, bilang padanya untuk pergi ke ruangan saya."
Seto tidak menunggu jawaban dari lima mahasiswa koas itu dan pergi dari ruangan tersebut. Tangannya menarik sebuah kartu tanda pengenal yang ada di sakunya, lalu kembali berdecak. "Habis kamu denganku!"