Sherly benar-benar merasa puas setelah membungkam mulut Amanda dan Danuarta. Mereka berdua tidak lagi bisa berkutik begitu melihat kartu identitas rumah sakit Medika yang dibawa oleh Seto.
Sherly pun dapat pergi dari pesta itu dengan wajah terdongak bangga karena tidak ada lagi yang membicarakannya.
Sebagian malah memuji Sherly karena bisa move-on dan memberi selamat untuk hubungan barunya.
"Ini!" Sherly mengeluarkan uang tunai dari tasnya begitu sampai di lobby hotel.
"..." Seto menatap segepok uang di tangannya, kemudian menatap Sherly.
"Kurang?" Sherly berkacak pinggang. "Aku sengaja mengambil separuhnya karena kamu berani menciumku. Aku sudah lebih berperikemanusiaan karena tidak mengambil semuanya. Seharusnya kamu harus profesional saat kamu dibayar."
Sherly mengangkat tasnya berniat pergi. Tetapi setelah mengayunkan kakinya dia kembali berbalik. "Oh Ya, satu lagi."
"Lain kali jika kamu berbohong tentang pekerjaan jangan menyebut nama tempatnya secara spesifik. Itu akan memudahkan orang lain untuk mengetahui kebohonganmu." Sherly melirik kartu Identitas yang ada di tangan kiri Seto dan tertawa. "Kamu mendapatkan kartu itu dari tamu? Sebagai hotelier kamu seharusnya tidak menggunakan barang milik tamu."
Setelah mengatakan hal itu Sherly pergi meninggalkan Seto yang mematung di tempat. Rahangnya mengeras sampai terdengar suara gemertak gigi. Tangannya yang memegang uang juga menegang hingga uang lima juta itu menjadi kusut.
"Berbohong? Hotelier?" Seto tak percaya identitasnya sebagai kepala departemen bedah diragukan.
Padahal Seto sudah bersedia menolongnya untuk berpura-pura menjadi pasangannya dalam pesta. Namun, si wanita pencuri koper itu malah menganggapnya berbohong dan masih memberinya uang lima juta sebagai bayaran.
"Dasar wanita stress! Anggap saja aku sedang sial karena bertemu dengan kamu!" Seto melepaskan genggaman tangannya membuang uang lima juta itu ke lantai. Dia keluar dari hotel, temannya yang bernama Beny ternyata sudah menunggu dengan mobilnya di depan pintu keluar.
"Seto Raharja, aku tidak tahu ternyata kamu sudah memiliki kekasih." Begitu Seto masuk ke dalam mobil Beny berbicara sok formal dengan wajah yang antusias. "Bagaimana-bagaimana? Ceritakan padaku siapa gadis itu dan kapan kalian mulai menjadi pasangan?"
"Kami bukan pasangan."
"Hah?" Beny tampak tak percaya dengan jawaban Seto. Namun, melihat wajah Seto yang tetap bergeming membuat Beny tidak bisa untuk tidak mempercayainya.
"Jadi bukan pasangan? Tapi kenapa kalian ...." Dalam waktu singkat senyum di wajah Beny mengembang. Dia seperti menemukan sesuatu yang menarik.
"Ayo, jangan buat aku penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah gadis itu sedang mengejarmu?" Karena memiliki wajah yang tampan dan juga berasal dari keluarga terpandang membuatnya digilai oleh wanita-wanita di sekitarnya. Hal seperti itu sedikitnya sudah lumayan biasa jika berhubungan dengan Seto.
"Berhenti bicara. Aku malas membahasnya." Raut wajah Seto menjadi semakin suram ketika mengingat kembali apa yang terjadi.
Tentu saja Beny tidak berani bicara lagi. Dia mengedikkan bahu, tetapi sesaat kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. "Lihat ini, sepertinya milik gadis itu."
Seto bersikap sok tidak peduli. Tetapi secara diam-diam melirik dengan ekor matanya. "Apa itu?"
"Kartu tanda pengenal Koas, rumah sakit Medika. Sherly, mahasiswa kedokteran universitas Kota B." Beny membaca beberapa informasi dalam kartu tanda pengenal itu. Dia menatap Seto saat tahu itu adalah rumah sakit yang sama di mana Seto bekerja.
Seto langsung menyambar karyu tanda pengenal itu. Foto yang ada di sana benar-benar wanita si pencuri koper.
Dia mahasiswa kedokteran semester akhir? Akan koas di rumah sakit Medika?
"Sepertinya kalian benar-benar berjodoh. Lusa kalian pasti akan bertemu lagi," ucap Beny.
"Ya." Entah kenapa Seto senang mengetahui hal tersebut. "Entah bagaimana reaksinya saat melihatku bekerja di sana."
___
Di sisi lain.
Sherly yang sudah sampai di apartemennya langsung berganti pakaian dengan yang lebih santai. Kaos oblong berwarna putih, kemudian merebahkan diri, tengkurap di atas kasurnya yang lembut.
"Anak ini masih berani bertanya bagaimana situasinya?" Sherly membuang ponselnya ke samping tanpa menghiraukan pesan dari Hanna.
Namun baru beberapa saat, Hanna berganti menelpon.
"Halo!" jawab Sherly dengan malas.
Terdengar suara tawa tidak enak dari seberang sana. Hanna berusaha meminta maaf karena tidak memberitahu Sherly lebih awal jika dirinya tidak akan datang.
Mau tidak mau Sherly pun harus melupakan masalah ini. "Baik-baik. Aku akan memaafkan kamu. Tapi kamu harus memberitahuku lebih awal jika ada kejadian seperti ini."
"Omong-omong, bagaimana keadaan paman?" tanya Sherly.
"Sejak telpon terakhir sebenarnya sudah baik. Tapi tetap aku tidak bisa meninggalkannya sendiri," jelas Hanna.
Mereka beralih ke panggilan video. Sherly menaruh ponselnya di papan kepala tempat tidur, lalu mengambil segelas air dingin dari lemari es yang tak begitu jauh dari sana.
Hanna yang sedari tadi menunggu jawaban atas pertanyaannya semakin dibuat penasaran karena Sherly sengaja melama-lamakan saat menjawab.
"Bagaimana pesta tadi? Kamu tidak pulang kan sebelum pesta berakhir?" tanya Hanna.
Sherly tersenyum sambil menggoyangkan gelas berisi air di tangannya. "Coba tebak."
"Cih! Tidak asyik sekali. Tinggal jawab aja susah," keluh Hanna.
Sherly tertawa. "Salah sendiri tidak datang. Andai kamu datang tadi saat pesta, pasti sangat puas melihat wajah mereka berdua."
"Wait! Wait! Ada apa ini? Ceritakan ceritakan." Mata Hanna berubah berbinar. Dia menegakkan posisi duduknya, bersiap menyimak cerita Sherly.
Namun tiba-tiba Sherly menghela nafas sambil menggelengkan kepala. "Lupakan. Jika dipikir-pikir ternyata tidak begitu menarik."
"Sherly Sander!" teriak Hanna yang mulai kesal.
Sherly sangat puas melihat ekspresi sahabatnya dan tertawa sambil menjulurkan lidahnya. "Baik-baik akan aku ceritakan."
Setelah mengambil posisi duduk di tepi tempat tidur Sherly menceritakan semua yang terjadi saat pesta. Dimulai saat Sherly pertama kali masuk, sikap Amanda yang menjengkelkan, hinaan Danuarta hingga wajah kesal pasangan tidak tahu malu itu saat Sherly berhasil menunjukkan pasangan pria di depan semua tamu.
Sama seperti Sherly, Hanna juga sangat bahagia mendengar cerita itu. Dia mulai menyesal karena tidak bisa datang dan menyaksikan secara langsung pertunjukan tersebut.
"Sherly, bukankah kamu harus berterima kasih padaku? Jika aku tidak meminta kamu datang, apakah kamu masih memiliki kesempatan untuk membalas perbuatan mereka?" Hanna mulai menyombongkan diri. Dia kembali berkata, "Ini juga alasan kenapa aku tidak memberitahu kamu lebih awal saat tidak bisa datang."
Ck!
Sherly berdecak.
"Omong-omong, bagaimana kamu bisa mendapatkan pasangan untuk datang ke pesta?" tanya Hanna.
Seketika itu juga Sherly mengingat tentang Seto. "Kamu ingat dengan pria yang aku ceritakan waktu itu?"
"Yang mana?" Hanna mencoba berpikir.
"Yang di bandara."
"Oh! Yang menuduh kamu pencuri koper?" Hanna langsung mengingatnya saat Sherly menyebut bandara. Dia tertawa terpingkal pingkal saat Sherly mengangguk membenarkan jawabannya.
"Berhenti tertawa. Ini tidak lucu sama sekali."
Namun sulit bagi Hanna untuk tenang setelah memikirkan hal itu. Sherly Sander, keturunan keluarga Sander yang merupakan keluarga terkaya di Kota B tetapi dituduh sebagai pencuri koper oleh seorang pria yang baru pertama kali ditemuinya. Itu sungguh langka dan menggelitik hatinya.
"Tapi Sherly, tidakkah kamu berpikir sangat berjodoh dengan pria itu? Terbukti dalam satu minggu kalian bertemu dua kali dan selalu terlibat insiden."
"Omong kosong!" Sherly langsung membantahnya. "Amit-amit! Jangan sampai pasanganku nanti adalah dia."