6. Bertemu Lagi

805 Kata
Sherly sampai di rumah sakit Medika jam tujuh lebih sepuluh menit. Tidak lupa dia membayar uang taksinya sebelum masuk ke dalam. Saat itu cukup banyak orang yang memperhatikannya karena penampilannya terbilang acak-acakan. Namun Sherly tidak mau membawa repot hal itu. Tujuannya adalah bergabung dengan mahasiswa koas lainnya yang kebetulan mereka berada di sekitar UGD. "Kamu Sherly, ya?" tanya gadis yang juga merupakan mahasiswa koas. "Benar." Sherly mengangguk. Matanya celingukan seperti mencari sesuatu. "Di mana konsulen kita? Belum datang?" Mata gadis itu menyipit saat mendengar pertanyaan Sherly. "Belum datang apanya. Kamu yang datang terlambat. Professor meminta kamu datang ke ruangannya." "Apa ... Aku?" Sherly menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja. Siapa lagi? Kamu harus cepat ke sana, professor terlihat sangat marah saat meninggalkan ruangan. Mungkin kamu akan mendapatkan hukuman." Tubuh Sherly sedikit bergetar saat mendengar kata hukuman. "Aku hanya terlambat sepuluh menit. Apa professor benar-benar akan menghukum ku?" Tidak ada yang tahu sampai Sherly benar-benar datang memenuhi panggilannya. Namun, saat sudah di depan ruangan kepala departemen bedah Sherly benar-benar gugup saat akan mengetuk pintu ruangan tersebut. Apakah benar-benar akan dihukum? Sherly menarik nafas cukup panjang sebelum memberanikan diri mengetuk pintu ruangan. "Professor, saya Sherly, datang untuk menghadap." Lima detik Sherly menunggu respon dari dalam ruangan. Tak lama terdengar suara berat seorang pria yang memintanya masuk. Langkah demi langkah Sherly semakin dekat dengan meja kepala departemen bedah yang menjadi konsulennya. Saat ini konsulennya itu duduk membelakangi, hanya terlihat bagian kepala belakang dan model rambutnya. "Entah kenapa aku merasa konsulenku ini mirip dengan pria aneh itu." Sherly membatin. Namun pikiran itu tak bertahan lama karena sedetik kemudian Sherly langsung menghempas pikiran tersebut. "Tidak mungkin! Dia seorang hotelier." Sherly manggut-manggut saat mengingat Seto bekerja di hotel. "Jam berapa ini, kamu baru datang?" "A-apa ... Jam tujuh lebih tiga belas menit, Prof." Sherly menggigit bibirnya, menatap konsulennya yang bahkan masih tak membalikkan kursi ke arahnya. "Kamu tidak perlu memberitahu saya juga berapa sekarang. Yang saya maksud, kenapa kamu baru datang?" Seto menekan suaranya menjadi lebih dingin dan rendah. Itu membuat Sherly gugup dan perlahan menundukkan kepala. "Maaf Prof. Itu karena pipa air di apartemen saya tiba-tiba bocor." "Hng! Saya sudah menduga kamu akan menyiapkan alasan. Bukan hanya menjadi pencuri, kamu juga suka berbohong." Mendengar kalimat ini sontak mata Serra berkedut. Bertahap ia menatap konsulennya yang masih membelakanginya, keningnya semakin mengerut. "Ka-kamu ...." "Apa?" Seto menaikkan alisnya setelah memutar kursinya menghadap Sherly. "Mau menyangkal tidak suka berbohong?" Sherly terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat. "Ba-bagaimana mungkin?! Dia sungguh kepala departemen bedah rumah sakit Medika?" batin Sherly. Sulit rasanya mempercayai hal ini meski beberapa saat yang lalu sempat terbesit dalam kepalanya jika konsulennya ini memang mirip dengan Seto. Sherly berpikir kartu identitas itu milik tamu hotel yang kebetulan berada di tangan Seto sebagai hotelier. Siapa sangka, kartu identitas itu benar-benar miliknya? Gluk! Sherly menelan ludahnya dengan susah payah. "Pria a- ... Maksud saya, Profesor." Hampir saja mulutnya itu menyebut Seto sebagai "pria aneh". Sherly segera menarik ucapannya sebelum itu benar-benar keluar. "Profesor, saya tidak berbohong. Pipa air di apartemen saya benar-benar bocor." "Benarkah?" Seto bangkit dari kursinya mengambil sebuah berkas. Itu adalah daftar informasi keenam mahasiswa koas yang berada di bawah tanggung jawabnya. "Kamu ingin saya percaya dengan alasan tidak masuk akal itu?" "Saya mengaku salah karena sudah terlambat. Tetapi saya tidak beralasan. Pipa air di apartemen saya benar-benar bocor." Seto tersenyum sinis. Dia memberi nilai C pada keterangan disiplin dalam penilaiannya. Sherly ingin marah saat melihat apa yang dilakukan Seto. Tetapi pada situasi ini posisinya sangat tidak memungkinkan untuk membantahnya. Sherly tahu Seto tidak akan pernah percaya dengan penjelasannya. Sherly hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang bangun kesiangan hingga harus terlambat dan berhadapan dengan pria menjengkelkan ini. "Maaf, Professor, saya sudah boleh pergi?" tanya Sherly sambil menunjukkan senyumnya yang terpaksa. "Siapa bilang sudah boleh pergi?" Seto berdiri setelah menutup berkas di tangannya. "Hal pertama yang harus dimiliki seorang dokter adalah sikap menghargai waktu. Kamu datang terlambat di hari pertama koas, tentu saja harus mendapatkan hukuman." "Bersihkan toilet." "Apa?" Wajah Sherly membeku saat mendengar hukuman apa yang harus dilakukannya. "Pria a- ... Professor, tidak bisakah hukumannya diganti yang lain?" Sherly berusaha menunjukkan senyum teramahnya. Tetapi Seto malah mengalihkan pandangannya ke samping, mengambil hasil rontgen dan menyibukkan dirinya. "Dasar pria aneh! Gila! Aku bukan lagi anak SMP atau SMA yang ketika salah dihukum membersihkan toilet." Sherly mendumal kesal. Dia berpikir mengatakan itu sangat pelan, tapi siapa sangka Seto memiliki pendengar yang cukup tajam. "Malah karena kamu sudah bukan anak SMP atau SMA seharusnya sudah bisa mengatur waktu sendiri. Bukannya malam pergi ke pesta dan bangun terlambat pagi harinya." Seto menambahkan, "Jika ada penilaian dokter terburuk, orang seperti kamu juga bahkan tidak akan lolos verifikasi." Sherly tak lagi menghiraukan Seto dan pergi dari ruangannya. Pria itu jelas menaruh dendam kepadanya. Alasan apapun tidak akan berguna karena tujuannya memang untuk membuat Sherly menerima hukuman. "Dasar Professor Sinting!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN