Bab 10

2608 Kata
BAB 10 Happy Reading *** Kenny tidak tahu jenis hubungan apa ia dan Eros. Ia sudah tidur dengan pria itu sudah dua kali. Ia sebenarnya sulit memahami dirinya sendiri, apa yang ia inginkan terhadap Eros. Memahami diri sendiri itu lebih sulit dari dari pada memahami orang lain. Ia bahkan sulit sekali menebak apa yang ia inginkan. Kini mobil Eros berhenti di parkiran Loewy. Loewy ini adalah salah satu bistro retro klasik bergaya Paris dan New York, dengan sajian menu Eropa kontemporer. Kenny melepas sabuk pengaman begitu juga dengan Eros. Mereka melangkah menuju pintu lobby yang dijaga oleh staff berkemeja hitam. Mereka di sambut hangat oleh staff, dan mempersilahhkannya duduk di table kosong di dekat dinding kaca. Staff menyerahkan table menu berbahan kulit itu kepada Eros dan Kenny, mereka memesan lasagna, steak and frites, crunchy chocolate cake with ice cream dan dua air mineral dingin. Setelah mencatat pesanannya, staff meninggalkan table mereka. Kenny melihat beberapa pengunjung masuk dari arah pintu, restoran ini seperti biasa selalu ramai dan dipenuhi oleh pengunjung. Eros melirik Kenny, “Kemarin kamu nggak ke mana-mana?” Tanya Eros penasaran, ia hanya tidak suka Kenny berkeliaran dengan pria lain seperti dirinya, karena rasa cemburunya begitu kuat. Jika hanya bekerja dan beristrahat ia memakluminya. “Enggak, kemarin aku hanya kerja. Terus pulang, seperti biasa.” “Good. Bagaimana kerjaan kamu?” Tanya Eros menatap wajah cantik itu, ia memperhatikan gestur tubuh Kenny yang terlihat natural. “Baik aja sih kerjaan aku, lancar, nggak ada masalah,” ucap Eros. “Kamu bisa cuti nggak?” Kenny lalu memandang Eros, “Kenapa?” Tanya Kenny penasaran. “Aku ingin ngajak kamu ke London?” Ia tidak menyangka bahwa Eros akan mengajakanya liburan ke Eropa, “Ngapain ke London?” Tanya Kenny. “Jalan-jalan aja, have fun, berdua, maunya ngajak kamu. Kamu pernah keluar negri nggak?” Kenny tertawa, “Aku paling jauh itu ke Jakarta. Enggak pernah ke mana-mana.” “Ada passport? Visa?” Tanya Eros. Kenny menggelengkan kepalanya, “Enggak ada dua-duanya, aku juga nggak pernah kepikiran sih mau ke luar negri. Syukur-syukur bisa healing ke mall mawah di Jakarta, makan di restoran enak, kalau ke luar negri, nggak ada kepikiran sih,” Memang seperti itulah kenyataanya, tidak pernah terlintas dipikirannya untuk pergi keluar negri. Ia ke Jakarta hanya fokus kerja mencari uang. “Mau nggak, kalau aku ajak ke sana?” Tanya Eros. “Di sana ada apa?” “Banyak. Aku pernah beberapa kali ke sana, ada kerjaan juga, meeting dengan klien. Kalau random biasa ke sana.” “Gabut kamu mahal.” Eros tertawa, “Ya, mau gimana ya, sukanya seperti itu sejak lama.” “Pasti udah banyak banget negara yang kamu kunjungi.” “Iya, benar banget, hampir semua kota-kota besar d Eropa udah aku kunjungi, kalau lagi free ya. Soalnya aku gila kerja sih. Ada kesempatan libur pinginnya yang jauh dan sulit di jangkau.” “Yang paling berkesan negara mana?” Tanya Kenny. Eros dan Kenny memandang staff menyajikan hidangannya. Semua makanan sudah tersaji di meja, tidak lupa Eros dan Kenny mengucapkan terima kasih. Kenny menatap lasagna, ukurannya tidak terlalu besar, ia pernah memakan lasagna di sini, rasanya sangat enak. Steak and frites isinya tenderloin, ada telur, potato hash, grilled tomato dan salad. Sedangkan crunchy chocolate cake with ice cream, seperti bolu chocolate mousse. Kenny meraih air mineral dinginnya dan ia sesap, untuk menghilang dahaga, ia memperhatikan table di sebelahnya, yang tadinya kosong kini sudah terisi. “Terus?” Tanya Ocha memandang Eros, karena percakapan tad terpotong oleh staff yang datang membawa pesanan mereka. “Kamu tau nggak?” “Apa?” “Menurut aku semuanya berkesan. Tapi London itu kota yang menyenangkan.” “Owh ya, apa yang membuat kamu menyenangkan,” Tanya Kenny memakan lasagnanya. Eros meraih gelas berisi air mineral dingin, lalu meneguknya, “Yang menyenangkan itu, karena di sana sangat berwarna, dan memang diisi orang-orang seluruh dunia. Jadi banyak banget makanan dari seluruh dunia yang bisa di coba di London. Bahkan makanan yang bukan dari khas Inggris jauh lebih terkenal dibanding khas Inggris. Seperti di Chinatown yang terkenal malah bebek bakarnya, duck confit di Frenchie, maupun makanan India di restoran dishoom. Selain itu di sana juga banyak museum geratis, berbeda dengan negara Eropa lainnya yang bayar.” “Aku denger biaya hidup di London mahal banget ya,” ucap Kenny, ia memasukan makannya ke dalam mulutnya. Ia baru sadar bahwa pria seperti Eros, tidak mengenal kata mahal, karena dia punya segalanya. “Enggak juga sih, tergantung,” ucap Eros memasukan dagingnya ke mulut. “Mau nggak ke London?” Kenny mencoba berpikir, “Nanti aku pikirkan kan.” “Oiya, sidang kamu kapan?” Tanya Kenny penasaran, tiba-tiba ia teringat tentang sidang perceraian Eros, ia ingin tahu perkembangannya seperti apa. “Mungkin Minggu depan.” “Istri kamu datang nggak?” “Aku harap sih nggak datang, biar cepet kelar sih.” “Emang, udah siap jadi duda?” Eros lalu tertawa, ia melirik Kenny, “Siap lah. Kenapa?” “Tanya aja,” Kenny berikan senyum terbaiknya, ia menyelipkan rambut panjangnya ke telinga. “Mau jadi pacar duda, nggak?” Tanya Eros, ia memakan makanannya dengan tenang. “Males sih sebenernya, takutnya nanti dibanding-bandingin sama mantan istri. Kalau konsepnya cinta, yah, mau nggak mau terima dong ya, walau statusnya duda,” Kenny terkekeh, ia melirik Eros, kalau duda nya seperti Eros bisa dipertimbangkan, asal jangan banyak ana aja. Eros lalu tertawa, “Kamu tenang aja, aku dudanya, duda keren kok.” “Uh, PD banget,” dengus Kenny, ia memakan lasagnanya lagi sambil menahan tawa. “Ya harus PD dong. Kan emang keren.” “Iya deh.” Eros mendengar itu tertawa, “Enggak mau banget, ngakuin kalau aku keren.” Kenny mendengar itu ikut tertawa. Kenny lalu menatap Eros, “Kenapa milih cerai, bertahan kan bisa. Istri kamu juga, kalau kamu bujuk pelan-pelan ke psikiater mungkin bisa sembuh dari sifat toxic nya.” “Apa aku nggak boleh cerai, kalau hubungan aku nggak bisa dipertahankan lagi.” “Terserah kamu lagi sih. Tapi kan agama kita melarang cerai, nggak takut dosa emangnya kamu?” Eros mengangguk paham, “Aku tahu kok, proses cerai agama kita itu nggak ada. Tapi setelah melewati dua sidang gereja, dan akhirnya disetuji. Well selesai.” “Kamu ikut sidang juga di gereja?” Eros mengangguk, “Iya.” “Sayang nggak sama mantan istri?” “Kalau aku sayang, ngapain milih cerai Kenny. Lagian aku juga belum punya anak kan.” Kenny tersenyum, “Iya, bener juga sih.” “Apa nggak nyesel bercerai?” Tanya Kenny lagi, ia mengambil gelasnya dan ia meneguk air mineral itu. Eros memakan daging steaknya, “Keputusan yang aku ambil sudah matang dan nggak akan melahirkan penyesalan, tapi kelegaan karena mampu mengambil keputusan yang sulit.” “Kenapa nggak rujuk aja, masih ada waktu kan untuk kembali lagi.” “Buat apa rujuk, Ken, yang menjalani kehidupan rumah tangga itu aku, aku yang mengalami pahit getirnya kehidupan. Kamu mau bertanggung jawab kalau mental dan fisik aku rusak.” “Kok aku yang disuruh tanggung jawab.” “Kamu loh, ya, yang nyuruh rujuk lagi.” “Ya, siapa tau, kamu berubah pikiran.” Eros menarik nafas, memandang Kenny intens, “Aku udah cukup matang Kenny, untuk menentukan pilihan hidup aku.” Kenny bisa menerima semua jawaban Eros, dan jawabannya sangat realistis tanpa dibuat-buat, “Kamu malu nggak gagal dalam rumah tangga?” Tany Kenny lagi. “Rumah tangga itu salah satu sisi kehidupan. Bagaimana dengan pernikahan yang kelihatan harmonis, selalu bergandengan tangan, terlihat bahagia, namun mereka nyatanya memiliki selingkuhan bertahun-tahun lamanya. Bertahan hanya karena anak. Kita nggak perna tahu kan kebahagiaan orang seperti apa.” “Iya bener.” Kenny melirik Eros lagi, “Kalau udah cerai gini, kamu mau cepet-cepet punya pengganti?” “Iya lah, ngapan nungguin lama-lama.” “Kalau udah ada yang cocok, satu frekuensi dan feelinya dapat. Buat apa kan nunggu lama-lama. Banyak kok, yang nikah dan kehidupannya bahagia. Apesnya aku karena salah pilih pasangan aja, jadinya gagal.” “Enak mana, duda atau bujangan?” Eros seketika tertawa, “Aku di sini duda tanpa anak, Ken. Rasanya sama aja seperti bujangan. Cuma bedanya aku pernah nikah dan bujangan nggak.” Kenny mengangguk paham, ia sudah menyelesaikan makannya, “Boleh nanya nggak?” “Tanya apa lagi, pertanyaan kamu kayak diintrogasi polisi?” Kenny yang mendengar itu seketika tertawa, “Beneran deh, satu lagi.” “Apa?” “Status social dan latar belakang pendidikan pasangan itu penting nggak sih dalam level hubungan?” Pertanyaan itu yang masih tercongkol di dalam kepalanya. Karena satus social ia dan Eros berbeda, sulit sekali untuk menyesuaikannya. Eros juga sudah menyelesaikan makannya, ia mengambil air mineral dingin dan meneguknya. “Tergantung sih.” “Tergantung, kenapa?” Pertanyaan Kenny cukup sulit menurutnya, ia tahu bahwa wanita itu sangat aware dengan dirinya sendiri, “Berdasarkan kekayaan, ini paling sering diacu sebagai determinan status social menurut aku.” “Maksudnya?” Kenny semakin tidak mengerti mendengar ucapan Eros, ia memakan ice cream nya. “Begini, balik lagi dengan sifat pasangan kamu. Kalau pasangan kamu dari keluarga kekurangan, maaf miskin. Tapi dia berusaha ingin mengubah nasibnya dan mau berjuang, kenapa nggak? Dia relasi yang baik untuk menjadi pasangan ideal menurut aku.” “Kalau pasangan kamu, miskin dan dia juga malas, pasrah dengan keadaan dan nggak mau memperbaiki diri, misalnya malas bekerja, malas meraih pendidikan tinggi, apalagi suka minjem uang. Yah, buat apa kan pasangan seperti itu.” “Exaclty,” Kenny setuju dengan pendapat Eros. “Kalau pasangan kamu kaya dari keluarga terpandang, dia juga nggak bergantung dengan orang tuanya, rendah hati, mau berusaha, mau belajar, nggakk suka mendiskriminasi orang, dia layak dipertahankan.” “Sedangkan kalau dia kaya, kerjaanya manja, suka foya-foya, boros, mengandalkan uang orang tua, nggak mau usaha sendiri, suka menjelekan orang di bawah dia, kamu sebagai seorang wanita jangan lihat dia hanya kaya saja, lihat sikapnya dan lebih baik tinggalkan.” “Wah, aku setuju dengan pemikiran kamu. Kamu kok pinter banget sih.” Eros tersenyum, “Thank you, udah puji aku.” Kenny menghela nafas, ia menatap Eros, “Mungkin ya, tingkat pedidikan mempengaruhi pola pikir kamu, hingga cemerlang seperti ini. Kalau pendidikannya rendah, yang aku tangkap, kurang kritis, maunya instan, berpikir pendek, sering nggak nyambung juga diskusi.” Bibir Eros terangkat, ia menyungging senyum, “Kalau ngomong aja ngga nyambung, susah nantinya kalau mau berumah tangga. Rumah tangga itu isinya diskusi, bicara, tukar pikiran. Kalau sudah tuapun di saat libido nggak ada, yang dilakukan hanya ngobrol sama pasangan. Kalau kamu dari awal nggak nyambung ngobrol sama seseorang, mending jangan lanjutin.” “Iya bener banget.” Eros menatap iris mata Kenny, “Kalau aku, nyambung nggak ngobrol sama kamu?” Tanya Eros. “Kamu sih nggak usah di tanya, partner diskusi yang baik, menurut aku. Kamu tahu banyak hal, jatuhnya kagum dengan pemikiran kamu.” Alis Eros terangkat dan ia tersenyum penuh arti, “So, berarti hubungan kita lanjut kan.” Kenny tertawa, melirik Eros, “Lanjutin bagaimana?” Ia tahu betul arah pembiacaraan Eros ke mana. “Menjadi kekasih aku.” Kenny tertawa, “Kamu mau jadi kekasih aku?” Eros mengangguk, “Iya. Kamu mau nggak?” “Kalau terimanya udahh resmi cerai gimana?” “Kelamaan Kenny. Aku mau kita segera resmiinnya.” Kenny tersenyum, “Jadi kekasih gelap kamu aja, ya.” “Kenapa harus gelap? Kalau yang terang itu lebih menyenangkan?” ucap Eros. “Kan kamu belum resmi cerai. Kalau terang, bakalan viral, ngeri deh. Dikira orang, aku jadi orang ketiga dalam hubungan kamu.” “Oh, Jesus. Tapi aku nggak bakalan menolak, kalau kamu maunya seperti itu.” “Thank you ya, udah nerima aku jadi kekasih kamu,” ucap Eros. Keny tersenyum, “Ih, siapa yang terima kamu.” “Itu barusan, beberapa detik yang lalu, mau jadi kekasih gelap aku.” “Becanda tau.” “Aku nggak becanda, Kenny.” “Tapi aku becanda, Eros.” “Kenny.” “Iya, Eros.” “Kamu jangan main-main.” “Aku nggak pernah main-main dengan perasaan, Eros.” “Oke, fiks kita pacaran.” “Uh, maunya.” Eros melirik jam melingar di tangannya menunjukan pukul 14.20 menit. Ia tidak peduli Kenny mengatakan apa, yang pasti ia sudah menganggap Kenny menyetujui menjadi kekasihnya. “Ke apartemen aku, yuk,” ucap lalu memanggil staff untuk membayar tagihannya. “Ngapain?” “Ya, berdua aja, cuddle dan pillow talk.” Kenny mendengar lalu meninju bahu Eros. Ia tahu bahwa cuddle itu adalah kegiatan sayang-sayangan dengan pasangan, lebih kearah skinship, misalnya menonton film bareng. Sedangkan pillow talk, percakapan santai dan intim yang dilakukan setelah melakukan s*x. Biasanya disertai dengan pelukan, belaian, ciuman dan keintiman fisik. Dikaitkan dengan kejujuran, perasaan senang sesudah hubungan seksual dan ikatan yang dalam. Ia tahu bahwa jaman sekarang, jaman milenial banyak yang ingin cuddle karena ingin lebih intim dengan pasangan dalam arti kata pemanasan sebelum hubungan seksual. Kenny melihat Eros membayar tagihannya, setelah itu mereka beranjak dari kursinya, lalu melangkah menuju pintu parkiran. Ia memandang Eros merangkul bahunya menuju mobil BMW berwarna putih itu. Entahlah ia tidak menolak ajakan Eros, karena ia juga sudah nyaman dengan pria itu. “Apartemen kamu di mana?” Tanya Kenny penasaran. “Apartemen aku di depan bundaran HI.” “Apartemen Keraton?” Tebak Kenny. Eros melirik Kenny, ia lalu mengangguk, “Iya.” Kenny menelan ludah, ia tidak menyangka bahwa Eros memiliki property di sana. Ia tahu betul bahwa apartemen itu merupakan apartemen termahal di Jakarta, yang harga permeternya dihargai 138 juta rupiah permeter perseginya, karena terletak di kawasan Central Business District (CBD) Jakarta. Ia tidak tahu seberapa banyak uang yang dihasilkan Eros setiap harinya. Kenny memandang Eros membuka pintu mobil untuk dirinya. Kenny mendaratkan pantatnya di kursi tidak lupa pasang sabuk pengaman. Semenit kemudian mobil meninggalkan rumah berpaggar tinggi itu. Jujur ia penasaran seperti apa penghuni di sana. Biasa ia dan Ova hanya memandang tower itu dari kejauhan, ketika jalan-jalan ke mall Plaza Indonesia. Ia tidak percaya bahwa ia bisa menginjakan kakinya ke tower itu. “Kamu tinggal sendiri di sana?” Tanya Kenny. Eros mengangguk, “Iya. Kalau kamu mau, kita bisa tinggal bersama.” Kenny mendengar itu nyaris menganga, ia tidak bisa membayangkan bagaimana bisa tinggal di sana. Jika tinggal di sana kemungkinan ada dua, yaitu simpanan konglemerat atau dia benar-benar kaya dari lahir. “Jangan-jangan,” Kenny gelagapan. “Kenapa? Kamu takut?” “Bukannya gitu, masih belum berani aku. Aku lebih baik tinggal di kost aja.” “Pindah aja, ya.” “Nanti deh mikirin pindahh-pindah.” Eros mengangguk, “Oke.” “Kamu bisa masak?” Tanya Eros, ia memanuver mobil, sambil memperhatikan jarak mobil dan motor dihadapannya. “Bisa lah, walau nggak semahir Ova.” “Ova pinter masak?” “Pinter banget, makanya dia ngelamar jadi personal asisten diterima. Kalau aku pinter ngitung duit aja sih.” “Ke mall dulu, ya.” “Mall mana?” “Plaza Indonesia.” “Ngapain?” “Belanjain, kamu.” “HAH!” “Habisnya, aku lihat kamu pakek tas itu mulu. Dari aku ketemu kamu kemarin, sampe udah berapa kali ngedate, kamu pakek tas itu terus.” Kenny menghela nafas, “Bukannya gitu, karena ini satu-satunya tas branded yang aku punya, ini. Belinya juga hasil nabung lima bulan. Nggak pantes gitu kalau pakek tas yang aku beli di toko orange yang harganya puluhan ribu, kalau jalannya sama kamu.” Eros melirik Kenny, “Kita beli, ya.” “Jangan-jangan,” tolak Kenny. “Udah, jangan nolak.” “Ih.” “Aku mau manjain kekasih gelap aku.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN