TERBANG KE SAMARINDA

1429 Kata
“Ingat ya. Ini bukan persoalan main-main. Kalian berhubungan dengan hukum. Jadi kalau berita ini bocor ke ibu kalian atau ke istri kamu Umar, kalian akan saya laporkan dan bisa dipenjara karena ini berkaitan dengan nyawa. Nyawa istri dan anak saya. Kasus ini sudah di tangan Pak Rudi polisi yang bertugas di BIN. Badan Intelijen Negara. Ini bukan main-main. Jadi kalian harus tutup rapat.” “Kalau nanti malam ibu atau istri kalian telepon, bicara saja seperti biasa. Jangan pernah katakan pertemuan kita kali ini, apalagi rencana saya. Ingat itu. Kalian harus benar-benar memikirkan keselamatan diri kalian juga!” ancam Hendra pada Husain, Hasan dan Umar. Tentu saja tiga orang itu tidak berani berbuat macam-macam dengan ancaman Hendra. Mereka sadar ternyata Kia sedang dalam bahaya besar. Kalau dia sendirian tentu akan lebih bahaya, jadi memang harus ditemui oleh suaminya dan Hessa. “Baik Pak, kami mengerti,” kata Umar mewakili anak-anak sambungnya. “Baik, sekarang silakan kalian makan dulu. Habis ini kita pulang bersama.” “Lingga kamu bisa temani kami nggak?” tanya Hendra. Dugaan Hendra ternyata benar. Kia bersama bu Ida, tapi tak ada di Jakarta. “Bagaimana dengan day care?” “Aku nanti minta Alkaff atau Wahyu, suruh cari dokter pengganti sementara,” jawab Hendra. “Kalau pengganti, biar saya rekomendasika teman saya Pak. Besok bisa atau tidak,” kata Lingga cepat. “Tapi dia laki-laki Pak.” “Pacar kamu?” tanya Hendra. “Tidak, dia adik kelas saya. Dia sering bantu saya karena memang kami satu tim di kampus,” sanggah Lingga sambil menggeleng melihat Hessa, seakan dia tak ingin Hessa salah duga. “Kalau dia memang bisa, nggak apa-apa, daripada kita cari pengganti lain yang belum bisa kita percaya kredibilitasnya. Nanti saya tinggal lapor sama Retno dan mama,” jawab Hendra. “Apa A'a enggak mau pulang dulu? Ambil pakaian, atau paling tidak kita ambil paspor, kali saja kita butuh,” saran Hessa. “Aah betul. Kita pulang dulu ambil pakaian dan paspor, juga paspor-nya Kia, mungkin A’a bisa bawa dia terbang keluar negeri biar Kia aman.” “Lingga, kamu ada paspor kan?” “Ada Pak. Tapi kalau harus lama saya nggak bisa loh. Minggu depan saya ujian praktik,” balas Lingga. “Kita lihat nanti, tapi bawa saja paspormu. Sekarang Hessa dengan saya antar kamu ke rumah, lalu nanti saya jemput lagi sehabis saya bicara dengan mama. Lalu kita ke rumah saya untuk ambil barang-barang dan langsung ke bandara.” “Hessa buat meringkas waktu bagaimana kalau kamu nyuruh orang di rumah untuk ambil baju dan paspormu?” “Enggak bisa lah, paspor kan ada di lemari aku?” balas Hessa. “Kalau begitu gini saja, drop ( turunkan ) Lingga dulu habis itu anter A'a ke Dapoer, kamu nggak usah turun, kamu langsung pulang ke Jakarta Selatan. Kamu nggak usah balik lagi ke Bekasi langsung ke bandara biar nanti A'a sama Lingga ke bandara dari Bekasi. Nanti A'a minta antar Wahyu atau Joko jadi aku nggak berdua sama Lingga,” kata Hendra mengambil jalan tengah. “Boleh kayak begitu, nanti mas Wahyu atau mas Joko biar bawain mobilnya Lingga saja. Jadi berangkatnya satu mobil. Nanti pakai mobil A'a ke bandara berempat. Berangkatnya biar Joko sendiri bawa mobil Lingga,” balas Hessa. “Mobilku enggak usah dibawa ke mana-mana. Biar saja taruh di day care. Aman koq ditinggal di sana,” ucap Lingga. “Oh ya sudah kalau seperti itu. Berarti aku turunkan kamu di rumah, kamu siap-siap lalu nanti biar A’ Hendra dan mas Wahyu atau mas Joko jemput kamu untuk langsung ke bandara,” jawab Hessa. “Iya, seperti itu saja. Kita jadi lebih cepat daripada harus nungguin kamu ke Jakarta Selatan muter-muter. Lebih baik seperti itu,” Hendra setuju planning mereka kali ini. ≈≈≈≈≈ “Alhamdulillaaaaaaah,” ucap Adit dan Syakira mendengar cerita Hendra, mereka sedang menunggu Wahyu. Joko tak bisa karena Joko sedang berada di Jakarta Barat, terlalu jauh untuk dia kembali ke Bekasi jadi nanti Joko akan menemui mereka di bandara. “Tunggu aku, aku juga akan berangkat,” kata Alkaff Callef Arnawarma, Kakak kandung Kia. “Kalau kamu berangkat kami senang, karena yang tahu lokasi sana kan kamu,” kata Hendra. Tentu saja dia tidak menolak pertolongan abang iparnya itu. Retno tentu mendukung suaminya berangkat mencari Kia sesuai dengan dugaan Hendra. Mereka akan bergerak dengan senyap. Di rumah, Hendra hanya mengambil paspor miliknya juga paspor-nya Kia, selain ada beberapa pakaian yang dia bawa untuk dia dan Kia, dia pilihkan yang rasa nyaman buat perempuan itu. Tapi Hendra yakin pasti Kia sudah membeli beberapa pakaian asal ada baju ganti saja. Hendra membawa dua pasang pakaian santai miliknya juga milik Kia yang penting dia sudah mengambil paspor. Bila diperlukan mereka akan pergi menjauh. ≈≈≈≈≈ Di bandara berkumpul Joko, Rudi, dan Adit yang tidak berangkat, serta Alkaff, Hendra, Lingga dan Hessa yang akan berangkat. Sebenarnya Rudi juga akan berangkat ke Banjarmasin. Dia memang sudah ada rencana akan memberitahu mamanya soal kelakuan Tiara. Penerbangannya masih dua jam lagi. Nanti bila persoalannya dengan sang mama selesai, dia akan menyusul Hendra bila Hendra masih di lokasi tempat bu Ida. “Aku sudah meminta beberapa orang ku untuk menjemput. Kalian tenang saja tak akan bocor misi ini, mereka akan keep secret. Kalian tidak perlu cari mobil atau apa pun. Aku sudah siapkan dua kendaraan untuk kalian. Mereka yang akan pantau dan kawal karena takutnya di pedalaman akan repot.” “Masalahnya kalau alamat yang diberikan oleh Pak Umar itu tidak ada di kota tapi sedikit ke pedalaman. Ini bukan rumah Bu Ida yang lama, mungkin rumah baru mereka, aku nggak tahu. Tapi yang aku tahu ini bukan rumah Bu Ida yang lama. Karena rumah bu Ida yang lama itu tepat di seberang rumah lama aku sebelum aku pindah ke Banjarmasin,” jelas Rudi. Hendra tak membayangkan bagaimana mungkin istrinya malah masuk ke pedalaman saat dia sedang hamil seperti sekarang? Benar-benar perempuan tangguh. Hendra hanya bisa berharap Kia baik-baik saja. Lingga sudah banyak mendapat advice dari dokter kandungan dan nanti kalau di sana ada apa-apa dia juga sudah diberi link untuk menghubungi dokter yang ada di sana yang kenal oleh seniornya di Jakarta dan Bekasi. Lingga juga sudah membawa obat-obatan yang sekiranya diperlukan untuk Kia. ≈≈≈≈≈ “Maaf ya, jadi merepotkan kamu,” kata Hessa “Jangan pernah berkata begitu Kak, karena kak Kia itu sudah aku anggap Kakak aku sendiri. Tapi aku tidak akan pernah mau mengambil suaminya. Tidak akan pernah. Aku pernah merasakan sakit ketika pasanganku diambil orang, sehingga aku tak akan pernah mau mengambil pasangan orang,” jawab Lingga getir. Hessa langsung diam, dia jadi tak enak sendiri. “Aku tidak bermaksud seperti itu loh. Please jangan tersinggung,” balas Hessa serba salah. “Enggak Kak. Aku juga nggak apa-apa kok, cuma aku mengatakan fakta saja. Aku pernah dicuri barangku, sehingga aku takkan pernah mau mencuri barang orang lain. Kalau kita merasa sakit bila dicubit, jangan mencubit kan?” kata Lingga. “Benar banget, lebih-lebih kalau yang mencubit adalah orang terdekat kita, itu sangat menyakitkan,” kata Hessa. Mereka jalan berduaan karena Hendra dan Alkaff sudah berjalan di depan duluan. Mereka semua tak ada yang bawa koper, hanya ransel. Bahkan Lingga yang perempuan juga hanya membawa rangsel saja. Benar-benar siap tempur untuk di lapangan tentu saja. Lingga juga hanya mengenakan sepatu sneakers, saja tidak memakai high heels seperti saat dia bekerja. Sore ini Lingga dan Hessa hanya memakai kaos dan jaket denim serta celana jeans, beda dengan Alkaff dan Hendra yang memakai jeans, kaos dan jaket kulit. “Tadi aku sudah kasih ibu Syakira beberapa suplemen sebelum aku berangkat. Semoga saja dia mau minum,” ucap Lingga saat mereka telah tiba dipemeriksaan identitas dan tiket. “Kamu kasih ke siapa? Kan kamu tadi aku langsung drop di rumahmu, dan pas berangkat dijemput A’ Hendra?” kata Hessa bingung. “Aku kirim pakai ojek online,” jawab Lingga dengan santai. “Kenapa tadi kamu nggak titipin ke aku sih?” protes Hessa sambil mengejar Lingga yang sudah dekat tangga pesawat. “Titipin ke Kakak juga percuma. Kan Kakak nggak turun, langsung pulang. Nanti akhirnya dititipin ke Pak Hendra, kan makin nggak enak. Lebih baik langsung aku kasih ke ojek online, pasti langsung sampai tangan dia,” kata Lingga dengan santainya. Hessa kembali jadi tak enak sendiri Lingga begitu memperhatikan ibunya. ‘Mungkin karena dia sudah tak punya ibu, sama seperti Teteh. Teteh kan juga nggak pernah punya mama sejak kecil maka dia langsung akrab dengan mama,’ batin Hessa sambil memasukkan ransel Lingga ke cabin, lalu dia masukkan juga ransel miliknya. Rupanya mereka bersebelahan karena Alkaff duduk bersama Hendra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN