Mereka tiba di Samarinda sudah pukul 21.00 WITA. Atau Waktu Indonesia Tengah.
“Kita mau nginep di hotel bandara atau kita langsung on the way dulu Pak?” kata tiga orang yang mengawal mereka.
“Rudi menugaskan kalian?” tanya Alkaff dengan bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh Lingga, Hessa mau pun Hendra.
“Tidak hanya kami Pak. Kami bertiga yang ada di mobil bersama Bapak. Yang enam lagi ada di mobil lain, tiga lagi ada di motor.”
“Kenapa banyak banget?” tanya Alkaff selanjutnya.
“Daerah masuk pedesaannya rawan Pak, kalau bukan orang sini tentu akan dibegal. Itu sebabnya harus dikawal dengan banyak orang. Kalau hanya dikawal satu dua orang tentu akan bahaya.”
Alkaff menjelaskan apa yang dia bicarakan. Tentu saja Hendra jadi ketakutan bagaimana mungkin istrinya bisa masuk daerah seperti itu. Alkaff tadi sengaja menggunakan bahasa setempat hanya ‘memperkenalkan’ diri kalau dia juga bukan orang asing walau tidak tinggal di sini.
Mereka hanya berhenti untuk makan malam saja. Lokasi sangat jauh dari perkotaan.
Ida kaget ketika membuka pintu melihat Hendra memperlihatkan telunjuk di mulutnya, tandanya Ida disuruh diam. Ida tidak juga melihat ada Alkaff serta Hessa dan seorang perempuan cantik di belakang Hessa serta lebih dari tujuh orang lelaki yang terlihat sepertinya orang asli daerah sini. Ida tidak berani macam-macam.
“Kia tidur di mana?” tanya Hendra berbisik.
Ida menunjuk kamar tempat putri angkatnya tidur.
≈≈≈≈≈
Hendra membuka pintu dengan pelan, tidak dikunci seperti kebiasaan Kia bila tidur di rumahnya. Hendra melihat istrinya menggunakan daster baru yang dia yakin beli di pasar sekitar sini. Terlihat dari jenis bahannya yang bukan pakaian mahal, pokoknya pasti dibeli sedapatnya yang penting mereka punya baju ganti. Di meja kecil kamar itu ada tas kerja Kia juga ada ponsel yang sedang tercolok dengan kabel charger.
Hendra menutup pintu lalu membaringkan tubuhnya di sisi kiri dia tak mau mengganggu istrinya. Dia peluk pelan sang istri. Sungguh dia sangat ketakutan kalau Kia sampai hilang karena separuh nyawanya ada pada nyawa Kia. Tak akan mungkin dia berpaling dari satu-satunya perempuan yang dia cintai ini.
Untuk bisa mendapat balasan cinta Kia saja dia harus jungkir balik, bagaimana mungkin dia akan me-nisbi-kan perjuangannya?
Kia merasakan dekapan hangat yang sudah biasa dia dapatkan, tentu saja merasa aneh, dia langsung berbalik badan, karena Hendra memeluk dirinya dari belakang.
“Hubby? Ngapain di sini?” tanya Kia kaget saat dia balik badan ternyata ada suaminya.
“Ya nyamperin istriku lah. Aku nggak salah, kenapa aku yang dimarahin? Kenapa aku yang ditinggal? Kenapa nggak ngomong apa pun sama aku?” protes Hendra dengan kesal tapi lembut. Dia susuri alis istrinya dengan jari telunjuk. Alis asli tanpa tambahan lukisan.
“Aku menyelamatkan diriku dan bayi Kita A,” balas Kia, dia menatap wajah yang sudah sejak kemarin dia rindu.
“Maksudmu menyelamatkan diri itu apa?” tanya Hendra.
“Ceritanya panjang, tapi sebelum A'a aku ceritain, aku tanya dulu A'a ke sini sama siapa dan bagaimana bisa tahu aku ada di sini?” tanya Kia.
“Kami semua cari kamu saat kamu pergi dari kantor Hessa. Teleponmu enggak ada yang bisa menghubungi, lalu kami terus diskusi, aku Rudi dan Adit keliling sampai pagi nggak tidur nyari kamu ke mana pun, tapi nggak ada ketemu.”
“Sejak tidak ada yang bisa hubungi kamu kemarin siang bukan tadi siang karena sekarang sudah ganti hari kan? A’a berpikir pasti Bu Ida tahu. Tapi A’a nggak tahu rumahnya Bu Ida, tahunya rumahmu yang dulu dia pakai, kan sejak menikah dengan pak Umar dia pindah. Akhirnya A’a datangin sekolah Husein dan Hasan. Tentu saja Mama enggak kasih A’a pergi sendirian karena belum tidur sama sekali. Akhirnya A’a ditemani Hessa.”
“Buat jaga-jaga, A'a juga ditemani sama Lingga. Sampai di sana A'a ancam Husein dan Hasan serta Umar. Tidak boleh memberitahu kamu apa pun yang terjadi. Dari sekolahan, A'a, Lingga dan Hessa langsung pulang ke rumah masing-masing, ambil baju dan yang pasti paspor buat jaga-jaga. A’a juga sudah bawa paspor kamu.”
“Habis itu kami ketemu lagi di bandara. Kan Hessa pulang dulu Jakarta Selatan jadi ketemu di bandara. Di bandara ada Adit lalu ada Rudi juga Joko dan Wahyu. Kalau Joko ketemu di situ kalau Wahyu yang ngantar kami.”
“Alkaff minta ikut, tadinya yang mau berangkat hanya A'a dan Hessa serta Lingga. Dia pikir nanti dia diperlukan. Ternyata Rudi mengirim pasukannya untuk mengantar sampai sini. Rudi juga sekarang sudah di Banjarmasin. Dia sedang bercerita pada mamanya perkara Tiara.”
“Jadi sekarang di luar ada Lingga dan Hessa serta Abang?” Kia tak percaya suaminya benar-benar sampai sini. Dia pikir suaminya akan ke sini tapi tak secepat ini dan akan diantar pak Umar.
“Iya,” jawab Hendra.
“Kalau begitu kita cerita di luar, biar aku sekalian cerita. Aku nggak mau cerita berulang-ulang,” ajak Kia.
“Oke kita keluar dengan satu syarat,” tantang Hendra.
“Apa?” tanya Kia bingung.
“Peluk A'a dulu, biar A'a punya tenaga. Serius A'a aku sudah seperti tubuh tanpa tulang, enggak ada kamu. Jangan pernah berpikir gitu lagi. Please hargain A'a. A'a tuh nggak ngerti apa-apa, A’a nggak salah, kenapa kamu hukum seperti ini,” kata Hendra.
Kia langsung memeluk suaminya dan dia beri bonus ciuman hangat di bibir suami tercinta.
“Maafin ya, tapi dengerin cerita aku dulu yuk, biar jelas. Tadinya aku niat lusa baru mau ngabarin A'a sama mama. Tapi karena A’a sudah di sini ayo kita keluar. Kita dengerin cerita lengkapnya.”
≈≈≈≈≈
Kia tentu langsung memeluk Lingga, juga Alkaff, sedang dengan Hessa dia hanya bertepuk dengan tangan terkepal. Di luar sudah ada teh serta kopi hangat juga dan wadai yang memang Bu Ida punya.
“Ayo semuanya minum dulu, kalian pasti kelaparan kan? Atau mau bikin makan?” tanya Kia.
“Boleh aku cek dulu kesehatan Teteh? Aku takut terjadi sesuatu, aku dapat bekal banyak dari dokter kandungan seniorku,” kata Lingga yang terpeleset memanggil teteh, biasanya dia panggil Kakak.
“Nah betul itu,” kata Ida.
“Ibu juga takut terjadi apa-apa karena perjalanan ke sini kan tahu sendiri beratnya.”
“Aku diperiksa, coba Ibu buatkan sesuatu yang hangat, aku lapar,” pinta Kia. Dia mengajak Lingga masuk bersama ke kamar untuk memeriksa kesehatannya.
≈≈≈≈≈
“Teteh, ini aku suntik ya Teh, ini penguat kandungan tidak akan membuat Teteh mual atau efek lain. Supaya Dedek kuat saja, juga penenang syaraf.”
“Apa akan bikin aku ngantuk?”
“Enggak sih, cuma rileks saja. Tapi mungkin jadi sedikit ngantuk karena rileks, tapi bukan obat tidur. Nggak baik ibu hamil dikasih obat tidur. Ini dokter kandungan kok yang merekomendasi. Aku memang langsung telepon karena aku ditugaskan Pak Hendra untuk menemani untuk bertemu dengan Teteh. Tadinya hanya bertemu di sekolah, pak Hendra pikir Teteh ada di rumah Bu Ida. Ternyata benar di rumah bu Ida, hanya rumah yang di sini.”
“Sebenarnya ini adalah rumah mantan suaminya, karena kalau rumahnya Bu Ida adanya bukan di sini. Ini jauh di pedalaman. Memang kami harus ke sini. Tadi aku sudah bilang sama A'a mau cerita ke semuanya sehingga tidak ada salah paham bahwa aku marah sama A’a atau Mama.”
“Ayo kalau begitu kita cerita’an saja,” ajak Lingga sambil membereskan alat-alatnya.