Wahyu terbangun dari tidurnya, ia mendengar suara air jatuh ke lantai dari kamar mandi. Ditengok jam yang ada di dinding. Saatnya sholat subuh akan segera tiba. Wahyu memijit kening, rasa pusing menyergap kepalanya. Mungkin karena ia kurang tidur, akibat menonton pertandingan sepak bola dini hari tadi. Refleks Wahyu menolehkan kepala, saat pintu kamar mandi terbuka. Nur muncul di sana dengan setelan baby doll lengan panjang, dan celana panjang. Rambutnya yang masih terlihat basah tergerai di atas bahu. Ini pertama kalinya Wahyu melihat rambut Nur.
Tanpa sengaja Nur juga menatap ke arah ranjang, tatapan mereka bertemu. Cepat keduanya membuang pandangan mereka. Nur berjalan ke arah di mana tasnya berada. Ia mengambil sisir, dan hijab. Setelah menyisir rambut, Nur langsung memasang hijabnya.
Suara ketukan di pintu mengagetkan mereka, cepat Nur beranjak untuk membuka pintu.
"Ibu."
"Kalian sudah ditunggu yang lain untuk sholat subuh. Mana Wahyu?" Ibu Wahyu melongok ke dalam kamar, Nur bersyukur karena ia sudah membereskan bekas tempat tidurnya.
"Ya Bu." Wahyu mendekat ke arah ibunya, dan Nur.
"Baru bangun? Istrimu sudah mandi kamu baru bangun."
"Kepalaku sedikit pusing, Bu."
"Sudah ibu bilang, tidak usah nonton bola, nanti sakit kepala, akhirnya benarkan apa yang ibu ucapkan!"
"Iya Bu, aku mau cuci muka dulu"
"Cuci muka? Kamu tidak mandi?" Pertanyaan itu bernada menyelidik, tatapan ibu Wahyu menyelidik, dari ujung kaki sampai ujung kepala Wahyu, dan Wahyu juga Nur paham apa maksud dari pertanyaan ibu Wahyu.
"Cuci muka saja cukup Bu," jawab Wahyu akhirnya.
"Kalau kalian tidak gigih berusaha, bagaimana ibu bisa cepat menimang cucu!"
"Bu, satu hari libur tidak akan mempengaruhi apapunkan?" Jawaban Wahyu membuat pipi Nur merona, ia menundukan kepala, malu dengan tatapan ibu mertuanya yang tertuju kepadanya.
"Hhh, ya sudahlah. Cepat cuci muka sana. Ayo Nur kita ke musholla."
Nur mengikuti langkah ibu Wahyu menuju musholla di rumah itu.
Wahyu menghela napasnya dengan berat, ada kebimbangan di dalam hatinya. Haruskah ia menyingkirkan egonya demi kebahagiaan nenek, dan kedua orang tuanya. Apakah Nur mau bekerjasama dengannya, setelah apa yang sudah ia lakukan terhadap Nur selama ini. Wahyu kembali menghela napas, sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
***
Setelah sarapan, Wahyu pergi bersama Ayahnya, dan Bayu, adiknya. Rencananya Nur akan diantar oleh supir ke rumah ibunya. Tapi sebuah mobil yang sangat dikenal masuk ke halaman rumah mertuanya.
"Cantika!" Seru Nur dengan binar bahagia di wajahnya. Soleh ke luar lebih dulu dari mobil. Lalu ia membukakan pintu untuk istrinya, yang menggendong putranya yang baru berusia 2 bulan. Nur langsung menghampiri mereka.
"Assalamuallaikum." Soleh dan Cantika memberi salam.
"Walaikum Salam. Ya Allah senangnya pagi-pagi sudah dapat tamu istimewa!" Seru Nur riang, matanya bersinar cemerlang. Diambil alihnya Aska dari gendongan Cantika.
"Eeh ada Soleh, dan Cantika, mari masuk," ibu Wahyu menyapa mereka. Soleh dan Cantika menyalami ibu Wahyu sembari mengucap salam.
"Nul, kapan Aska dapat adik dari kamu Nul?" Tanya Cantika dengan suara bernada manjanya.
Nur hanya tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya.
"Iya, ini Wahyu sama Nur, kapan bisa memberi ibu cucu. Neneknya Wahyu yang sudah tidak sabar lagi"
"Kamu tidak menundakan, Nul?" Tanya Cantika. Nur menggelengkan kepalanya dan masih mengukir senyum di bibirnya. Sesungguhnya ia berusaha menahan air matanya. Ditatapnya dengan lekat wajah Aska putra sahabatnya.
'Aku juga ingin memenuhi keinginan semua orang, tapi sayangnya Kak Wahyu tak bisa menerimaku. Apa yang bisa aku lakukan. Cintanya masih untukmu, Cantika. Tak ada ruang di dalam hatinya untukku. Dia seperti tak bisa melepaskan bayanganmu, meski dia tahu tak mungkin lagi bisa memilikimu.'
"Aska tambah besar tambah ganteng ya" puji Nur.
"Ya dong, siapa dulu Abbanya, Bie Soleh!" Cantika memeluk manja lengan Soleh, didongakan wajahnya untuk menatap wajah suaminya. Soleh menarik ujung hidung istrinya dengan gemas. Nur tersenyum melihatnya, siapa yang tidak iri melihat kebahagiaan yang ditunjukan sahabatnya. Cantika beruntung karena memilih jodoh yang tepat, dan Allah merestui pilihannya. Nur tahu, tidak akan gampang menghadapi seorang Cantika dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Hanya Solehlah yang paling tahu seperti apa Cantika, karena Soleh sudah dekat dengan Cantika sejak Cantika masih kecil.
Setelah berbincang agak lama, akhirnya Cantika dan Soleh yang mengantarkan Nur ke rumah ibunya.
***
Nur mencuci piring bekas makan malam mereka, ketika Henny sepupu Wahyu yang datang berkunjung, dan ikut makan malam di rumah orang tua Wahyu bersama kedua orang tuanya, mendekati Nur.
"Nur!" Panggilnya dengan nada tak bersahabat.
"Ya" Nur menolehkan kepalanya.
"Kamu dan Kak Wahyu sudah setahun menikah, tapi kamu belum hamil juga. Aku curiga kalau ada yang tidak beres denganmu, Nur" ucap Henny dengan tuduhan tanpa perasaan yang ia tujukan pada Nur.
"Terserah Kak Henny mau bilang apa, hanya Allah yang tahu kebenarannya" sahut Nur dengan nada datar, tanpa terpancing emosinya.
"Nenek itu sudah tidak sabar ingin menimang anak Kak Wahyu, harusnya kau memeriksakan dirimu. Mungkin saja kau mandul. Semakin cepat diketahui, semakin bagus. Agar Kak Wahyu bisa segera mengambil keputusan, dan nenek tak lagi harus menunggu sesuatu yang tidak pasti!"
"Kenapa Kak Henny berusaha menekanku? Kenapa tidak bicarakan saja hal ini dengan Kak Wahyu. Keturunan tidak akan bisa didapatkan dengan bim salabim abra kadabra, semua butuh proses, dan atas ijin Allah juga tentunya. Pekerjaanku sudah selesai, aku ingin kembali ke kamarku, selamat malam Kak Henny. Maaf jika aku bicara lancang pada Kakak."
Nur langsung meninggalkan Henny di dapur untuk menuju kamar. Nur tahu, sejak awal ia masuk dalam keluarga Wahyu, Henny sudah tidak menyukainya, tapi Nur tidak tahu apa penyebabnya.
Dilihatnya Wahyu masih duduk di ruang tengah bersama ayah dan adiknya, Bayu.
Nur kembali ke rumah orang tua Wahyu, setelah dijemput Wahyu di rumah ibunya tadi sore. Tentu saja Wahyu melakukannya atas permintaan nenek dan ibunya.
Sepanjang makan malam tadi, nenek Wahyu terus membahas tentang keinginannya melihat anak mereka. Dan Nur bisa melihat kegelisahan pada sikap Wahyu karena keinginan neneknya.
Nur masuk ke dalam kamar, dan menutup pintunya. Baru saja ia ingin menggelar sprei di atas lantai ketika pintu kamar terbuka. Sesaat Nur menatap Wahyu yang masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian ia kembali melanjutkan menggelar alas tidurnya.
"Kita harus bicara!"
Nur menegakan tubuhnya, matanya menatap Wahyu yang berdiri tak begitu jauh di depannya. Tatapan mata mereka bertemu, Wahyu membuang pandangannya, ia duduk di tepi ranjang.
"Duduklah!" Wahyu menunjuk kursi kecil yang ada di sana. Nur menghela napasnya, lalu melangkah ke arah kursi kecil, dan duduk diam di depan Wahyu, dengan pertanyaan yang memenuhi benaknya.
BERSAMBUNG