PART. 6

934 Kata
Setelah sholat Isya, dan makan malam. Nur membereskan meja makan, dan langsung mencuci semua perabotan yang kotor, dibantu oleh asisten rumah tangga orang tua Wahyu. "Nur!" Tiba-tiba ibu Wahyu memanggil. "Ya Bu." "Kalau besok mau menengok orang tuamu, atau mau sekalian ke rumah orang tua Cantika, kamu pergi saja ya. Biar nanti Paman Akim yang mengantarmu. Karena besok Wahyu, Bayu, dan Ayah mau meninjau lokasi perumahan yang baru." "Iya Bu." "Ya sudah, kalau semua sudah selesai, kamu istirahat saja Nur." "Ya Bu." "Ibu duluan masuk ke kamar ya." "Iya Bu." Ibu Wahyu meninggalkan dapur, tinggal Nur, dan Acil Jannah, ART orang tua Wahyu di dapur. Setelah semuanya selesai, Nur langsung masuk ke dalam kamar. Ia tahu Wahyu, Bayu, dan Ayahnya sedang berbincang di ruang tengah. Nur membuka lemari, ia mencari selimut, dan seprai. Ia memutuskan untuk tidur di atas lantai saja, dengan alas seprai. Nur membuka lipatan seprai, tapi tidak ia buka seluruhnya. Lalu digelar di atas lantai, di sudut kamar, dekat dengan dinding. Diambil bantal dari atas ranjang, lalu dibaringkan tubuhnya perlahan, tanpa ia melepaskan hijabnya. Nur memilih posisinya sekarang, agar saat Wahyu berbaring di ranjang, pandangannya tidak langsung pada Nur. Nur memejamkan mata, ia berdoa sebelum mengistirahatkan semua panca inderanya. Nur menarik napas dalam, lalu dihembuskan perlahan. Ia sudah memutuskan, hanya akan mengikuti arus ke mana akan membawanya. Jika Wahyu tak bisa menerimanya, ia tak akan memaksa. Jika Wahyu ingin mereka berpisah, ia pun akan menurut saja. Jika Wahyu ingin hubungan mereka begini selamanya, ia akan bersabar menerimanya. Saat ini ia sedang memikirkan untuk kembali melanjutkan pendidikannya. Ia bisa kuliah setelah pulang dari bekerja, tapi ia harus menabung dulu untuk mewujudkan keinginannya itu. 'Ya Allah, jika takdir hidupku harus begini, aku pasrah pada kehendakMu. Aku hanya ingin memohon, agar Kau lapangkan dadaku untuk menerima semua yang sudah Kau gariskan untukku, aamiin' *** Nur terbangun dari tidurnya, ditolehkan kepala ke arah ranjang. Keningnya berkerut dalam, karena ranjang itu kosong. Tidak ada Wahyu di sana. Nur mengusap wajahnya, ditarik napas perlahan, terasa sesak di dadanya. Ada air mata yang menggantung di pelupuk matanya. 'Sebenci itukah Kak Wahyu kepadaku, sampai ia tak ingin tidur satu kamar denganku, meski hanya untuk sebuah sandiwara saja' Batin Nur terasa perih, tapi ia sudah memutuskan untuk bertahan. Mengalah bukan berarti kalah, diam bukan berarti terdiam. Ada hal lebih besar yang ingin dilakukannya, dari pada hanya sekedar bersedih, karena memikirkan sikap Wahyu yang mengabaikannya. Nur bangun dari berbaring, ia merapikan letak jilbabnya, lalu ia menatap jam yang ada di dinding kamar. 02.15, entah Wahyu tidur di mana, Nur enggan untuk memikirkannya. Nur ke luar dari kamar, ia berniat mengambil minum di dapur. Begitu ia membuka pintu kamar, suara televisi terdengar dari arah ruang tengah. Nur melangkah ke ruang tengah, ternyata ada Wahyu, dan Bayu yang sedang asik menonton sepak bola. "Nur!" Bayu adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya. "Kedinginan ya Nur tidur sendirian? Kak Wahyu nih pakai acara ikut nonton bola segala. Sudah Kak, masuk sana!' Usir Bayu ditujukan pada Kakaknya. Tapi Wahyu seperti tidak mendengarkan ucapan adiknya, tatapannya fokus ke layar televisi di depannya. "Aku haus, cuma ingin mengambil air minum ke dapur, mendengar suara televisi, aku pikir televisinya lupa dimatikan. Permisi, aku ingin ke dapur," pamit Nur. "Nur, tolong buatkan kami kopi sekalian ya," pinta Bayu. "Baik Kak." Nur menganggukan kepala. Dilirik Wahyu sekilas, tapi yang dilirik tak menghiraukannya sedikitpun juga. Nur kembali ke ruang tengah, dengan nampan berisi dua gelas kopi, dan sebotol kecil air mineral beserta gelas kosong. Diletakannya dua gelas kopi di atas meja, di depan Wahyu, dan Bayu. "Terimakasih Nur." ucap Bayu. "Sama-sama Kak." "Kak Wahyu bilang terimakasihnya nanti di dalam kamar saja, iyakan Kak," goda Bayu. "Hmmm" Wahyu hanya bergumam saja. "Aku kembali ke kamar ya," pamit Nur, sebelum meninggalkan dua saudara yang tengah asik menonton siaran langsung sepak bola. Nur meletakan nampan berisi air mineral, dan gelas kosong di atas meja. Sebenarnya ia sudah minum tadi di dapur, tapi ia tetap membawa air ke kamar, takut terbangun, dan haus lagi nantinya. Nur kembali membaringkan tubuhnya di tempat semula. Ia berusaha untuk kembali tidur lagi. Tapi pembicaraan siang tadi dengan ibu, dan nenek Wahyu mengganggu pikirannya. Ia kasihan pada nenek Wahyu yang sudah sangat tua, beliau mengharapkan bisa melihat buah dari pernikahan mereka. Tapi kunci dari semua itu ada di tangan Wahyu. Wahyu yang tidak mau memperlakukan dirinya, sebagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya. Nur terjengkit bangun saat pintu kamar dibuka. Wahyu berdiri di ambang pintu dengan tatapan mengarah kepadanya. Tatapan mereka bertemu sesaat, kemudian Wahyu menutup, dan mengunci pintu. Ia masuk ke dalam kamar mandi. Nur menarik napas dalam, sebelum kembali membaringkan tubuhnya. Ia berbaring dengan membelakangi ranjang. Wahyu menatap wajahnya di cermin. 'Syukurlah dia tahu diri, tidak tidur di atas ranjangku' gumam Wahyu di dalam hatinya. Wahyu menatap wajahnya sendiri di dalam cermin dengan sangat intens. Pembicaraan dengan neneknya siang tadi terngiang di telinganya. Neneknya sangat ingin melihat buyutnya, itu satu-satunya harapan beliau saat ini. Wahyu memejamkan mata, menarik napas sedalam-dalamnya. 'Aku bisa saja memenuhi keinginan nenek, tapi masalahnya aku tidak yakin bisa menerima Nur tidur di atas tempat tidurku. Aku tidak yakin bisa membangkitkan hasrat di dalam diriku kepadanya. Nur, tidak ada menarik-menariknya sebagai seorang wanita. Kulit wajahnya hitam, punggung tangannya hitam, dan aku yakin sekuruh tubuhnya juga hitam, meski aku belum pernah melihat bagian tubuhnya yang lain. Hhhh maafkan aku nenek, mungkin aku tidak akan bisa memenuhi keinginanmu' Wahyu ke luar dari kamar mandi. Tanpa sadar matanya mengarah kepada Nur yang tidur membelakanginya. Wahyu membaringkan tubuhnya, pikiran tentang ucapan neneknya membuatnya terus terjaga, dan begitupun dengan Nur juga. Matanya terpejam, tapi pikirannya berkelana. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN