"Titania sebenarnya bagaimana aslinya bang?" tanya abani dengan pandangan ingin tau yang sangat besar.
"Nia yang sebenarnya? Yang kau tau bagaimana?" Derta menaikkan sebelah alisnya seolah menantang abani dalam mengenal adiknya itu.
"Dia cuek, dengan wajah datarnya, dengan segala kata pedasnya serta tatapan tajamnya." mendengar hal itu Derta hampir saja melongo bahkan membuka mulutnya lebar hingga lupa menutupnya akan penuturan laki-laki didepannya. Adiknya sebeda itu dengan dirumah?
"Kau pertama kali mengenalnya dimana?"
Abani tersenyum akan pertanyaan itu, sebenarnya dia sudah sedikit lupa tapi samar-samar masih tersimpan rapi dalam ingatannya.
"Aku pertama kali melihatnya saat ada kemah kampus diluar, berada dalam satu tim yang sama tapi hanya sebatas itu. Dan pertemuan lainnya hanya sebatas berlalu tanpa sapa ataukah saling berbincang. Apalagi sebagian anak kampus tau Titania sangat tidak suka ada orang yang sok dekat dengannya atau bahkan pura-pura akrab. Bahkan sekarang aku lupa apakah kami pernah berbincang atau tidak."
Derta mengerutkan keningnya semakin bingung akan sikap adiknya yang langka itu. Wajah datar katanya? Dirumah Titania selalu tersenyum bahkan manja padanya. Judes? Perkataan macam apa itu?
"Lalu, bagaimana kau bisa menyukainya?" percayalah,saat ini Derta merasa sedang melakukan interview pada seseorang dalam melamar pekerjaan tetapi lebih baik bertanya sekarang selagi adiknya sedang terbaring lemah daripada nantinya malah dihalangi terus oleh Titania.
"Aku kagum dengan tulisan Titania, bang!"
"Tulisan?" sejak kapan Nia suka menulis?
"Ya, tulisan. Dia mempunyai blog pribadi tentang segala karyanya. Dan juga dia selalu menempelkan kata singkat dalam bentuk kertas origami di mading kampus. Aku selalu mengambil kertas itu begitu kagum dengan segala uniknya kata yang dia gunakan. Cinta tidak akan meminta izin untuk datang pada seseorang maka tanpa kusadari aku mencintai penulisnya tanpa tau siapa penulis kertas itu." memperbaiki letak kacamatanya, abani berusaha mengurangi kegugupannya didepan abang perempuan yang dia sukai.
"Aku baru jika Nia suka menulis, itu berarti hobby-nya mirip perempuan itu."
"Mirip perempuan itu?" abani mengulangi perkataan terakhir Derta.
"Ya perempuan itu, perempuan yang melahirkan kami. Perempuan yang tadi menghalangi jalanmu di lorong rumah sakit."
"Kau tidak memanggilnya ibu?" tanyanya abani hati-hati
"Tidak. Maafnya tidak bisa membayar apa yang telah dia lakukan padaku dan Nia." sebagai jawbaan abani hanya mengangguk pelan tidak berniat melanjutkan perkataannya lagi karena sepetinya Derta sangat sensitif Dengan kata itu.
"Aku sesekali menegur sikap cuek dan datar Titania, akan tetapi... "
"Akan tetapi?" tanya Derta karena abani menghentikan ucapannya.
"Akan tetapi setelah melihat sikap perempuan mirip Titania tadi bersikap seperti itu membuatku berfikir ulang. Aku lebih menyukai Titania yang sekarang daripada melihat Titania berubah menjadi perempuan seperti itu."
Laki-laki yang masih memakai jas rapi itu tertawa pelan mendengar perkataan orang di depannya tetapi benar juga apa yang dia katakan. Apa jadinya Titania jika berubah sikap menjadi manja dan centil seperti itu
"Abang memanggilnya Nia?"
"Ya! Aku dan ayahku memanggilnya dengan sebutan itu. Tetapi eyang kami, memanggilnya Bintang serta memanggilku dengan sebutan bulan."
"Bintang? Bulan?" apa karena itu Titania memanggilnya semesta karena terbiasa dengan nama-nama seperti itu.
"Eyang selalu mengajari kami tentang alam sejak kecil. Perumpamaannya serta cara mengaplikasikannya dalam setiap kehidupan. Dan Titania pasti memanggilmu semesta kan?"
"Ya, dia memanggilku dengan sebutan itu." abani jadi teringat dengan semua kata-kata Titania yang pastinya lebih dominan menggunakan hiasan alam bukan kata langsung.
"Aku tak pernah menyelidiki apa hobby-nya. Ternyata suka menulis bahkan mempunyai blog pribadi." gumam Derta pelan.
"Bukankah selama ini abang selalu bersamanya, lalu kenapa abang mengatakan tidak tau menahu soal itu?"
"Aku baru tiba di indonesia beberapa minggu lalu, dan semenjak Nia masuk kuliah baru kali ini aku kembali." jadi bisa dikatakan selama ini Titania sesekali sendiri dirumahnya? Tanpa teman ataupun pengawasan keluarganya.
"Nia tadi sudah sadar sebelum aku kemari!" benar, tadi sebelum Derta memilih menyusul abani adiknya itu sudah membuka pejaman matanya. Dan malah terdiam menatap hampa kearah luar jendela.
"Sepertinya terjadi sesuatu dengannya atau hal ini karena eyang sudah mengajaknya berbicara tetapi Titania balas hanya dengan anggukan ataukah gelengan saja." saat eyangnya bertanya Titania kenapa perempuan itu hanya menggeleng sebagai jawaban. Bahkan sejak pejaman matanya terbuka ia memilih terdiam tanpa mengatakan apapun.
"Aku sampai ditaman saat Titania sudah dibawa kedalam mobil dengan keadaan pingsan. Mengenai apa yang mereka bahas aku tak tau menahu bang!". Jelas abani karena kenyataanya memanglah seperti itu.
"Nama kedua sahabat Nia siapa?"
"Namanya Aloka dan Deliana. Tiga sikap yang menyatu dalam satu hubungan yaitu persahabatan." lesung pipit itu tercipta pada wajah abani saat mengingat bagaimana uniknya persahabatan perempuan yang dia sukai.
"Sampai sekarang rasanya aku tak percaya jika Nia dikampus sikapnya seperti itu karena yang kutau dia tidak cuek apalagi judes seperti yang kau katakan tadi." ujar derta
"Kedua sahabatnya itu juga mempunyai dua sikap berbeda. Jika Aloka dia terkenal aktif dan paling suka dunia shopping. Jika Deliana si kalem dan penengah untuk Aloka dan Titania jika sedang tidak sepaham. Dan mengenai Titania seperti yang kusebutkan tadi."
Derta mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali mendengar penjelasan abani mengenai kehidupan adiknya di kampus ternyata berbanding terbalik dengan apa yang Derta tau.
"Kau lihat perempuan tadi? Yang mirip Titania itu? Dia namanya Valencya Agramata kembarannya Titania yang pertama lahir adalah dia yang kedua adalah Titania. Tapi Titania lahir tidak mencapai persyaratan hingga ia harus berada dalam inkubator selama beberapa hari."
Ingatan Derta kembali pada masa itu, walaupun masih kecil bahkan umuran anak-anak tetapi ada hal yang ia pahami hingga terbawa sampai dewasa.
"Walaupun sudah samar bahkan hanya sedikit yang kuingat. Tetapi yang jelas eyang datang menjemputku disekolah dasar lalu membawaku ke rumah sakit sambari terus bergumam jika ibuku telah pergi. Pergi menjauh dari kehidupanku meninggalkan malaikat mungil cantik yang masih harus berjuang hidup didalam kaca. Didepan mataku kusaksikan eyang menangis bahkan hampir pingsan saat melihat betapa rapuhnya Titania didalam sana."
Derta menghentikan penjelasannya, sedikit meraup oksigen untuk segera mengisi paru-parunya karena didalam sana terasa sangat sesak mengingat kembali masa itu.
"Awalnya aku tidak tau kenapa, ada apa sebenernya? Kenapa semua menangis bukankah kita harusnya bahagia karena adik kecil telah lahir tetapi berjalannya waktu semakin aku tumbuh dewasa aku tau arti keadaan itu. Dulu setiap malam aku merindukan ibuku karena tidak tau apa yang terjadi tetapi setelah tau dan paham keadaan bukan kerinduan lagi tetapi rasa benci yang begitu besar."
Abani dapat merasakan ada terselip rindu disetiap kata itu tetapi Derta menyangkalnya menggantinya dengan kebencian yang begitu besar.
"Dia pergi meninggalkan Titania yang masih rapuh sendiri dirumah sakit bahkan tanpa memikirkan bagaimana keadaannya andaikan tidak ada perawat yang menelpon eyang untuk datang kesana. Ayah bahkan tidak tau dia melahirkan hari itu, dia perempuan yang lebih memilih pergi bersama sahabat ayahku demi bergelimang harta seperti mimpinya sejak dulu."
Derta selalu ingat bagaimana perempuan itu bercerita padanya bahwa ia ingin punya rumah mewah layaknya istana, belanja sepuasnya tanpa ada irit. Awalnya Derta mengira itu hanya dongeng yang selalu perempuan itu berikan tetapi nyatanya tidak, itu adalah keinginan tersembunyinya.
"Saat berumur 7 tahun, Nia dibully karena tidak mempunyai ibu oleh karena itu kami pindah kejakarta yang awalnya tinggal bersama eyang. Kami sudah mengajak eyang ikut tetapi katanya dia lebih suka suasana Surabaya apalagi keluarga ayah dominan disana jadi kami hanya bertiga pindah hingga sampai sekarang ini."
Korban bully?,Batin abani
"Titania sempat murung selama seminggu tetapi setelah itu dia kembali seperti yang kami kenal sebelumnya dan sampai sekarang ini begitulah yang kami kenal." Derta mengusaikan ceritanya merasa bebannya sedikit berkurang karena mempunyai teman berbagi cerita apalagi abani tidak menanggapi hanya sebagai pendengar dan Derta suka dengan tipe orang seperti ini.
"Apa abang tidak merasa jika Titania mengalami tekanan batin?" tanyanya dengan pelan takutnya Derta malah salah paham .
Derta menghembuskan napasnya pelan,
"Aku sudah membicarakan ini dengan ayah, dan menurut pemantauannya Nia mengalami Tekanan batin atau depresi akibat bullying itu. Dan ternyata ia bukan hanya dicaci tetapi ditampar bahkan dikurung didalam kamar mandi yang gelap ditemani suara rekaman audio hantu yang disimpan orang-orang itu disana. Dan kami baru mengetahui fakta ini saat Titania dihipnotis oleh psikolog."
Derta menautkan jemarinya saling bergerak secara acak, merasa gagal menjadi abang yang baik dalam melindungi adiknya. Ia sudah berusaha tetapi adiknya sendirilah yang tidak ingin sembuh dari depresi dan trauma itu.
"Tiap malam kata ayah saat jam 2 atau 3 maka Titania akan berteriak histeris bahkan menangis dalam tidurnya karena trauma itu selalu terjadi dalam mimpinya. Aku pulang dan memastikannya dan ternyata benar dia masih berada dalam bayang-bayang masa itu. Dan anehnya setiap pagi Titania tak pernah tau akan hal itu bahkan tidak membahasnya."
Derta menundukkan kepalanya, merasa berat membahas tentang rahasia ini. Sesuatu yang tersembunyi paling dalam.
"Aku pernah menemukannya pingsan dalam kamar mandi beberapa tahun lalu dengan keadaan tangan teriris pisau dengan kamar yang berantakan bahkan wajahnya pucat karena berada dibawah shower terlalu lama. Dan lagi! Beberapa hari yang lalu saat dia sedang tertidur dan histeris, aku menemukan bekas irisan pada lengannya didekat siku. Saat pagi aku bertanya itu kenapa ia hanya mengatakan tergores benda tajam disuatu tempat."
Sekali lagi, Derta menghembuskan napasnya beberapa kali. Mencoba tidak terlihat lemah didepan abani.
"Tolong abani, bantu kami menemukan apa yang sebenernya dia sembunyikan hingga harus melukai dirinya sendiri seperti itu, dan tolong rahasiakan pembahasan kita ini."
Abani hanya diam menatap tubuh Derta yang menjauh darinya. Sebenarnya berapa banyak fakta lagi yang harus ia ketahui tentang Titania? Apakah ini baru awal dari kehidupan perempuan itu? Ada berapa banyak fase yang perempuan itu sembunyikan hingga keluarganya sendiri menyerah akan itu.