Bab 27 - Tanpa Bintang Yang Sebenarnya

1245 Kata
"Harusnya kita engga ninggalin Titania tadi, kan jadi masuk rumah sakit gitu!" "Tenang aja Del! Kan udah ada abani disana. Kita bakal kesana ba'da magrib nanti." balas Aloka tapi Deliana hanya menatap hampa senja sore melalui jendela kamar Aloka. "Abani kan tadi udah chat aku! Katanya Titania baik-baik aja. Kamu engga usah ngerasa bersalah gitu. Mending kita cepetan selesain tugas kampus ini setelahnya bisa jenguk Titania." ujarnya lagi sambari jemarinya mengetik kata demi kata untuk segera menyelesaikan tugas kampusnya yang batas waktu pengumpulannya jam 8 malam nanti dan untungnya mereka bertiga berada dalam satu kelompok. "Itu dosen ngasi tugas atau apaan sih! Banyak banget. Tanganku udah capek tau engga." Deliana menoleh menatap Aloka yang menggerutu di ranjangnya. Perlahan ia melangkah kesana menghentikan aktivitasnya menatap senja. "Bilang aja mau diganti ngetik. Bukan menggerutu tidak jelas seperti tadi." sindir Deliana kemudian mengambil alih laptop yang ada dihadapan Aloka. "Kita disuruh buat diagram data para pengguna Aloka bukan tabel." mata perempuan manis melotot kesal, padahal soalnya sudah jelas tapi Aloka malah membuat tabel dalam microsoft axel sedangkan yang dipinta adalah diagram. "Masa sih! Coba kulihat." tangannya menarik buku modul yang ada, membaca kembali kalimat yang sudah diberi stabilo oleh Deliana. "Ehh anjir, beneran Diagram." "Aloka, sudah berapa kali aku ingatkan untuk tidak berbicara kasar. Kamu itu perempuan jaga image bisa kan?" sebagai Jawaban Aloka hanya cengengesan ditempat. "Maaf kanjeng Ratu, yaudah aku kedapur dulu mau ambil cemilan." perempuan berambut sebahu itu berlalu meninggalkan Deliana yang sudah memijat pelan pelipisnya yang terasa pening karena ulah Aloka. Ini namanya bekerja dua kali sia-sia saja Aloka mengetik daritadi jika salah seperti ini. "Datanya udah bener, tapi bentuk penyajiannya yang salah." gumamnya pelan kemudian membuka halaman baru. Jemarinya bergerak lincah diatas keyboard laptopnya mencoba menyelesaikan tugas dari dosen dengan cepat agar dapat memenuhi ataupun menjenguk Titania dirumah sakit. Tadinya ia dan Aloka langsung ingin menjenguk Titania tetapi di grup kelasnya masuk tugas mendadak dari dosen yang tadi pagi gagal masuk.                                    **** ---- Ketika diri meminta keadilan. **** "Saya pergi dulu! Kamu dirumah aja." bayangan itu berlalu bahkan pergi tanpa pelukan hangat ataupun ucapan lembut seperti yang selalu terbayangkan. "Iya ma." gumaman itu lirih tetapi dikarnakan diiringi senyuman maka ia akan terlihat kuat dengan raga yang berdiri utuh. Tepat setelah suara kendaraan itu berlalu dan tak terdengarkan lagi raga itu luruh. Lututkan bahkan sudah lebam karena langsung di sentakkan dengan dinginnya lantai. Menatap hampa pintu didepannya, "Aku bisa dan aku akan selalu kuat." Itu adalah mantra untuknya dan beberapa detik kemudian terdengar isakan pilu untuk menguraikan sesak didalam sana. "Tidak... Tidak. Aku tidak boleh nangis aku kuat, aku bisa!!!" Tapi nyatanya itu tetap hanya ucapan, tangannya naik menampar dirinya sendiri. "Ayolah sadar, jangan payah seperti ini. Kamu kuat. Jadi perempuan jangan cengeng" Suara tamparan pada pipinya lagi dan lagi menggema ditemani oleh melodi tangisnya sendiri, Wajahnya mengarah ke atas mencoba meredakan sesuatu yang sangat-sangat sesak didalam sana, rasanya remuk tak tersisa dan makin lama tak bisa merasai indahnya kebahagiaan. "Kamu ngapain disitu?" Suara itu mengagetkannya,sedikit mengatur napas ia berbalik dengan senyuman Indah yang bisa menutupi topeng sebelumya. Untung saja ini sudah menjadi 'kebiasaan rutinnya' setiap pagi. Berdiri dan mengabaikan rasa perih di lututnya, mencoba meredakan emosinya sembari berjalan Wibawa dengan wajah senyuman kebahagian Indah terpancar. Untung saja ia menangis cuman beberapa saat jadi matanya tidak akan bengkak. "Engga ngapa-ngapain kok yah! Ayah mau keluar?" rasanya sulit diposisi seperti ini disatu tetapi inilah kenyataanya "Iya, mau keluar. Kamu dirumah aja" lagi dan lagi sosok itu berlalu. Tanpa senyuman ataukah ucapan selamat pagi atau mungkin pelukan hangat penyemangat. Setelah mendengar suara kendaraan berlalu ,wajah Indah itu tergantikan dengan kesedihan mendalam, rasanya sulit ingin menyerah saja dan kabur dari neraka dunia ini. "Engga capek kayak gini terus?" "Engga, aku akan terus menjalaninya tanpa keraguan" "Kamu itu sok kuat, sok tegar dan sok ngedrama padahal engga lagi main drama." "Engga kok, aku lagi main drama emang. Nanti liat aja endingnya. "Masalahnya saya capek liat kamu kayak gini." "Yaudah kalau capek jadi penonton engga usah nonton dong." "Masalah utamanya adalah saya ada didalam diri kamu." Suara tawanya menggema rasanya ia benar-benar sudah gila berbicara dan menjawabnya sendiri. Kakinya melangkah kedalam kamar yaitu kamar saksi bisu segala dramanya. "Apa kalian tidak ingin melihatku tertawa bahagia karena kalian?" "Apa kalian tidak ingin merasakan bagaimana indahnya melodi kebahagiaan kita bukan malah mengasingkan anak seperti ini?" "Apa kalian tidak ingin memberiku pelukan hangat dan suara sapa lembut tiap paginya bukan perkataan 'kamu dirumah aja ya', apa tidak ingin?" "Kenapa tidak kalian bunuh aja aku!" suara emosi itu teringi dentuman barang yang dilempar, pisau itu tepat mengenai gambar di dinding sana. Tepat sasaran. Senyum pongah itu tercipta, bahkan perempuan itu bersiul senang diiringi tawanya. Tetapi kemudian tatapannya melemah berjalan cepat mencabut pisau itu dari gambar orang tuanya. "Maafkan aku ma, yah! Aku engga bermaksud," suaranya bergetar dan pisau itu masih dipegangnya. "Maaf maaf maaf maaf, aku hanya ingin kalian disini biarpun 10 menit saja." lirihnya. Dengan tangan gemetar pisau itu ia mainkan, bahkan melukis Indah di tangannya. Sebuah pelampiasan akan luka dihatinya. "Sangat Indah." gumamnya, dan tertawa terbahak-bahak. Pisau itu ia lempar dan menenggelamkan kepalanya pada kedua lututnya. Berusaha meluapkan setiap sesak didalam sana. ---- Written by : Semesta ***** Abani menutup laptopnya sesaat setelah ia membaca cerita pendek yang Titania publish di blog pribadinya, sesaat setelah masuk kedalam ruangan Titania. Eyang-nya Titania menyuruhnya untuk makan karena memang kenyatannya abani belum makan sama sekali sejak pagi. Saat mendapatkan telepon dari Deliana untuk menemani Titania di taman kota ia segera beranjak kesana tanpa peduli derasnya hujan yang datang. Tetapi saat sampai disana ia malah melihat Titania diangkat oleh orang asing dan dimasukkan kedalam mobil. Tentu saja abani mengikutinya takutnya dia adalah penculik tetapi diluar dugaannya orang itu malah membawa Titania kerumah sakit terdekat bahkan diangkat masuk kedalam. Abani segera memarkirkan motornya kemudian masuk kedalam. Sayup-sayup ia mendengarkan suster bertanya tentang keluarga pasien dan abani segera menyodorkan diri sebagai temannya karena dapat abani lihat laki-laki yang membawa Titania terlihat bingung ingin menjawab apa. Abani mengurus segala berkas yang harus diisi dengan modal tas kecil Titania yang ada ditangannya. Abani jadi berpikir kemana macbook perempuan itu? Apakah ketinggalan ditaman ataukah ada yang mengambilnya karena yang ikut dengan Titania hanyalah slingbag-nya saja. Menunggu semua penanganan hingga Titania dipindahkan kedalam ruang perawatan sesuai kelasnya. Abani menemani semua prosesnya hingga ayah Titania datang kedalam ruangan. Abani kembali mengingat tulisan Titania pada blog pribadinya, apakah itu suara hatinya ataukah sekedar tulisan singkat sebagai penghias pembaca saja? Tetapi didalam tulisan itu menggambarkan anak yang dilupakan sama orangtuanya dan mengalami depresi akut hingga harus mengiris lengannya sendiri sebagai pelampiasan. Semakin kesini mengenal Titania semakin rumit. Banyak hal yang harus abani terima dengan elusan sabar yang besar. Mengingat kembali ucapan Lerta mengenai Titania, abani rasa itu kebohongan besar karena kembaran Titania tidaklah depresi bahkan tetap baik-baik saja apalagi hidup dengan ibunya sendiri tapi setelah dipikir kembali muncul pertanyaan dalam diri abani. Apakah disini Titania-lah yang depresi? Tetapi apa penyebab Titania depresi jika benar itu terjadi? Ayahnya baik, humoris, penyabar bahkan terlihat menyanyangi kedua anaknya. Tidak ada tanda-tanda dialah penyebabnya jika benar Titania dalam Fase sangatlah tertekan. Abangnya dan eyangnya juga seperti itu, sangat menyayangi Titania bahkan menganggap perempuan judes itu adalah berlian yang harus benar-benar dijaga dengan baik tanpa ada yang melukainya sama sekali. "Kenapa aku sampai berpikiran sejauh ini?" tanya abani pada dirinya sendiri. "Berpikiran seperti apa maksudmu?" abani mendongakkan kepalanya menemukan laki-laki yang hanya beda 5 tahun dengannya. "Aku punya pertanyaan bang!" ya, abani memang memanggil laki-laki itu dnegan sebutan abang sesuai permintaannya beberapa waktu lalu. "Tentang?" tanyanya kemudian duduk didepan abani dengan meja sebagai penghalang. "Titania sebenarnya bagaimana aslinya bang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN