****
Rasanya sekarang aku ingin pergi
Membiarkan napasku tertahan bahkan menghilang tanpa berderu lagi
Sesak yang kian menyiksa seakan memaksaku merenggut nyawaku sendiri
Pikiran yang saling berperang antara tetap melihat ataukah memilih memejamkannya untuk selamanya.
Jiwa seakan masih mengharapkan sebuah pelukan ataukah bisikan bahwasanya masih ada yang membutuhkannya.
Sepersen harapan yang kian terkikis termakan oleh waktu, haruskah pergi dengan mengambil diri sendiri?
Airmata yang harusnya berhenti malah ingin menandingi derasnya hujan yang datang
Batinku berseru marah, lelah.
Hentikan, lebih baik akhiri saja dengan caramu sendiri tidak perlu menunggu takdir untuk menjemput. Bukankah itu dorongan yang lebih kuat?
Bisikan yang semakin gencar mendorong pikiran untuk melakukannya sesering mungkin untuk menjadi sebuah pelampiasan.
Goresan Indah yang lebih mengerikan dari patahnya harapan dari waktu ke waktu. Akankah lebih melebar lagi atau lebih dalam lagi.
Mata angkuh malah tergantikan permohonan tanpa suara semakin memacu adrenalin untuk bermain gelap bersama sang dewa kegelapan.
Keadaan yang seharusnya manis bertebaran rasa Cinta malah menakutkan bertaburkan benci tanpa belas kasih
Menuntut hak atas keadilan akan sebuah kemerdekaan pada diri sendiri
Semirik salju yang kian mencekam setiap pilar yang datang serta merta semesta bungkam melihat adanya kemurkaan
Kegilaan demi kegilaan semakin sering terjabarkan, ini sebauh kerjasama antar diri yang ingin pergi dan hati yang telah lama mati.
****
Derta mengerjapkan matanya beberapa kali beberapa detik setelah membaca ketikan adiknya didalam komputernya. Saat ini ia sedang menyelusuri bahkan membuka satu persatu file yang ada dikomputer ini.
Setelah berbincang tentang Titania yang sebenernya Derta memutuskan untuk pulang menemukan jawaban apa yang ia curigai selama ini. Jantungnya berdebar kencang bahkan Derta sempat linglung saat membaca kata demi kata tulisan adiknya dalam file 'suara'
Haruskah Derta menyimpulkan jika adiknya itu masih dalam kondisi harus dalam pengawasan Psikolog seperti dulu? Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa adiknya itu harus berbuat nekat hingga sejauh ini bahkan diluar perkiraannya selama ini.
***
Aku kembali melangkah mencoba menerjang setiap caci yang menhujani, mencoba menerobosnya dengan sisa-sisa kepingan.
Dengan langkah tertatih aku berhasil lolos ada sedikit kelegaan tetapi tiba-tiba para pengkhianat datang menyapa.
Mereka menawarkan bantuan tetapi aku tau itu kemunafikan sejati, rasanya aku ingin menertawai tetapi tidak kutemukan bagaimana caranya.
Kutolak dengan halus tawaran itu, kukira semuanya usai nyatanya mereka malah marah memberiku tatapan rendah sana sini.
Dengan segenap harapan yang masih tersisa kucoba melanjutkannya. Bukan kebahagiaan yang kudapati tetapi patah dan sebuah luka berkepanjangan.
Mungkin mimpiku terlalu sempurna hingga tak kugapai bahkan seinci pun tidak kurasai, batu itu menajam menambahi luka disana.
Ini aku.
Adalah aku bukan benda yang dirubah apalagi dibentuk seenaknya. Diatur sedemikian rupa sesuai keinginan.
Adalah aku. Ini aku.
Mempunyai takdir tersendiri dan porsinya bukan untuk disakiti apalagi didorong penuh kedalam sebuah jurang gelap.
Langkahku kian tertatih, batu-batu yang kupijaki kian menajam tanpa alas kaki sama sekali karena kucoba lepaskan beberapa waktu lalu.
Aku sempat bersuara bahkan berteriak kencang tetapi sekarang sekata-pun tak bisa kuucapkan karena suara itu telah parau meminta keadilan didepan penghakiman.
Mataku telah hampa akan pengharapan, dulu binaran itu ada tetapi redup setelah terenggutnya sebuah kepercayaan dibeberapa kisah dan itu terjadi secara berulang.
Napasku kian melemah, mencoba menemukan tempat persinggahan nyaman disekitaran sini tetapi bukan itu kudapati malah sebuah luka baru karena akan sebuah pelampiasan.
Maka dari itu aku memilih sembunyi disudut gelap, bersembunyi dari cahaya dan meringkuk ketakutan disana. Terdiam sepi mendengarkan isak tangis dan detak jantungku sendiri.
Maka dari itu kubiarkan logikaku mengendalikan semuanya dengan apik dan kubiarkan hatiku sembunyi dilorong gelap itu tanpa berniat mengeluarkannya.
Kumatikan, kubekukan bahkan kubiarkan lebur hancur tak tersisa. Cukup disana.
Adalah aku. Takkan tertemui lagi dikisah manapun itu.
Adalah aku kini sudah berada disudut gelap itu tanpa mempunyai pengharapan lagi.
Semoga betah disana, dan disini biarkan logikaku berjalan.
Adalah aku, bekulah selama yang kamu mau.
***
"Apa denganmu sebenarnya Nia!" gumam Derta sesaat setelah membaca dokumen kedua yang ia buka.
Laki-laki yang sebentar lagi berumur 27 tahun itu kini mengusap wajahnya frustasi, merasa tidak berguna karena tidak tau menahu soal kehidupan adiknya yang sebenarnya. Ada rasa sesal karena meninggalkan Titania dinegara ini demi suksesnya pendidikannya.
Apa ini sebabnya adiknya itu begitu dingin dan cuek disekolah? Apa karena traums bullying itu masih ia pendam sampai saat ini atau ada kejadian lain yang Derta dan ayahnya tidak tau mengenai adiknya itu. Selama ini ia dan ayahnya fokus mengembangkan perushaan tetapi menurutnya porsi perhatiannya pada titania tidak pernah berkurang sepeserpun. Lalu apa? Ada apa?
Derta kembali menutup dokumen itu lalu mencoba mencari dokumen lain didalam sana untuk menemukan apa yang dicarinya. Titania begitu dalam menyembunyikan sesuatu sebesar ini, apakah adiknya itu sudah merasa hebat karena melakukan hal sebodoh ini? Derta hanya ingin dianggap penting bukan membuat Titania merasa sendiri hingga harus melukai dirinya sendiri seperti apa yang ia temukan pada lengannya.
****
Kali ini aku ingin membuka topeng sejenak, ingin meluapkan emosi yang menumpuk di dalam sana.
Sejenak saja, menjadi sosok rapuh tak berdaya yang hanya bisa menatap kosong lantai kamarnya.
Hanya memperlihatkan kehampaan tanpa keinginan untuk apapun, membiarkan putus asa itu mendera bahkan mentahtakan pikiran sampai semuanya dimainkan kembali.
Perlahan,wajah angkuh dan dingin tak tersentuh itu memudar tergantikan wajah sulit dikenali bahkan di kendalikan.
Suara fikiran saling menggema, mereka saling bersahutan meminta dilampiaskan sesegera mungkin.
Matanya menatap jemarinya, jemari itu bahkan gemetar sedang kamarnya sangat gelap tanpa pencahayaan.
Puncaknya tiba, sesak itu datang bahkan lebih sulit dikendalikan, air mata itu? Bahkan sudah datang tanpa ingin berhenti sedetik saja. Sejenak saja. Biarkan beban itu terlampiaskan sampai benar-benar terlampiaskan.
Bibirnya gemetar, entah kata apa yang ingin terdengarkan. Rasanya sulit mencerna keadaan jika semuanya sedang buruk seperti ini.
Tangan gemetar itu memukul dadanya dengan harapan sesak itu menghilang segera sebelum pintu kamar itu terketuk dan bisa saja topeng ini akan ketahuan. Tidak boleh terjadi, ini tidak akan terjadi.
Mencoba mengambil napas lalu membuangnya. Terjadi berulang kali. Kaki kecil itu berdiri berjalan kearah lemari besar di pojok kamar sambari tangan kiri itu menyalakan lampu kamar.
Wajah dingin dan angkuh itu kembali, bahkan tatapannya sangat tajam melihat sosok berantakan didepannya.
"Dasar payah... "Hardiknya pada pantulan dirinya sendiri. Beberapa detik kemudian pintu itu terketuk dan ia berjalan kearah sana.
"Waktunya bermain kembali.."
****
"Topeng? Bermain? Sandiwara? Apa yang sedang kamu permainkan Nia! Apa yang tidak bisa abang mengerti dalam dirimu. Selama ini abang kira hidupmu baik-baik saja bukan menjadi hal diluar perkiraanku seperti ini." laki-laki itu berbicara bahkan seakan-akan ada Titania didekatnya padahal nyatanya dikamar ini dia hanya sendiri tanpa ada si pemilik kamar.
Sejauh mana permainan yang Titania lakukan, bukankah setiap bersamanya adiknya selalu tertawa, selalu baik-baik saja bahkan tidak pernah terlihat murung sama sekali.
***
Rasanya cukup mengasikkan menatap mereka yang telah cukup hancur karena Cinta dan bahkan sulit untuk diperbaiki lagi. Bukannya berusaha menemukan Cinta Baru mereka hanya terjebak dalam nostalgia yang pada kenyataannya enggak bermanfaat sama sekali.
***
"Cinta? Kau terluka karena Cinta Nia?" tanyanya. Tak ada jawaban yang ia dapati hanya suara jam berjalan dari detik ke menit.
****
Sebenarnya, bagaimana rasanya memiliki ibu? Apakah aku akan merasa bangga atau terkesan biasa saja? Atau mungkin aku akan merasa sangat tersanjung karena memiliki sosok itu.
Kasih sayang ibu itu seperti apa? Jika kita menangis ataupun mempunyai masalah lain rasanya bagaimana jika diceritakan pada sosok yang sering orang panggil ibu.
Katanya ibu itu penyayang, katanya lagi ia membahagiakan? Apakah itu benar? Atau hanya pradugaku saja?
****
"Kamu menginginkan sosok ibu Nia?" lagi dan lagi pertanyaan Derta tak ada jawaban sama sekali. Hanya keheningan.
Derta memutuskan mamatikan komputer adiknya, memilih berjalan kearah ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan telentang. Menatap langit-langit kamar titania dengan pemikiran sedang tidak berada ditempat itu.
"Kamu ingin merasakan adanya ibu? Dan kamu tidak pernah menyuarakan itu pada kami?" lirih Derta pelan, merasa sangat bersalah karena tidak memberitahukan tentang ibu kandung mereka pada titania hingga adiknya harus berada dalam sunyi seperti dalam tulisannya itu.
Titania hanya mampu bertanya-tanya tetapi tidak mampu merasakannya dengan nyata. Hanya mampu menuliskan isi hatinya pada separagraf kalimat demi kalimat tanpa tau bagaimana rasanya berada dalam keadaan seperti itu.
Membingungkan. Buntu. Bimbang. Hampa.
Adiknya harus merasakannya dalam kesendirian sedang dari kecil Titania tidak tau menahu tentang hal seperti itu, bahkan berada dalam pelukan ibunya saja ia tidak pernah rasakan.
"Apa karena ini kamu melukai diri sendiri Nia?"
***
Malaikatku.
Mataku mengerjap menatap sosok yang berjalan anggun kearahku, dengan senyum lembutnya.
Ia menyamai posisinya sepertiku, menatapku dengan tatapan hangatnya.
Merengkuhku kedalam pelukannya,
"Kamu kenapa, cerita sama mama." bukan jawaban yang kuberi tetapi isak tangis yang semakin ku keraskan.
"Sini berdiri dulu, kita duduk disofa." dia menuntunku berjalan kearah sofa dengan pelan seakan aku adalah benda rapuh.
Sesampainya disana ia memelukku lagi memberiku kehangatan pelukan seorang malaikat.
Aku masih menangis berusaha meluapkan sesak.
"Nangis aja, mama disini sama kamu." aku mengeratkan pelukan kami. Ya Allah terimakasih telah memberiku malaikat seperti ini.
"Mama disini kamu engga sendirian kok." aku masih bungkam memilih diam dengan tangis yang masih mendera
"Kalau ada apa-apa langsung bilang sama mama bukan sembunyi dikamar terus nangis sendirian. Kamu anggap mama apasi." tangisku kini mereda menatapnya dengan mata sembab dan mungkin sudah bengkak.
Dia memberiku senyuman lembut. Rasanya depresi dalam diriku langsung menghilang.
"Kamu ngapain melamun di pojok kamar seperti itu. Malah meluk guling juga. " suara ketus itu membuatku tersentak dan aku sadar. Ternyata tadi itu hanya halusinasiku
Sedang nyatanya malaikatku malah menatapku dengan pandangan entah apa.
"Saya mau keluar." dia berlalu.
Kenapa halusinasiku begitu Indah sedang kenyataannya itu tak pernah kudapati sama sekali.
****
Derta termenung memikirkan bagaimana hampanya hidup Titania tanpa ibu? Apakah selama ini ia begitu fokus pada kebahagiaan Titania hingga Derta lupa sebagaimana pun usahanya mengisi kekosongan itu tetapi tetap saja adiknya memerlukan sosok itu.
Apakah begitu pentingnya sosok ibu pada kehidupan adiknya? Apakah harus menghadirkannya di sisinya? Tetapi bagi Derta itu semua tidak perlu cukup ayahnya saja dan eyangnya si perempuan gila harta itu tidak harus ada.
Bahkan menurut penilaiannya Clara sekarang sudah berubah bukan sosok ibunya yang dulu, walaupun terakhir berkomunikasi dengannya umur sebelia itu tetapi Derta masih ingat bagaimana lembut dan anggunnya ibunya dulu bukan sombong, angkuh apalagi dengan tatapan merendahkannya. Saat ini Clara bukan ibunya lagi sudah berubah menjadi orang lain karena harta tidak berguna itu.
Bahkan semakin inginnya adiknya pada sosok ibu ia membuat tulisan seperti ini, apakah Derta harus membicarakan hal ini pada eyang dan ayahnya untuk menuntaskan keinginan adiknya? Derta hanya ingin adiknya bebas tanpa tekanan Clara tetapi sepertinya Titania sejak sadari dulu sangat ingin merasakan hal itu.
"Kamu ingin merasakan lembutnya kasih sayang sosok ibu Nia! Sedang sekarang ini ibu yang dulu kukenali sudah berubah. Bisa saja dia hanya akan mengajarimu bagaimana caranya menghabiskan uang bukan menjadi orang yang yang lebih baik lagi." gumamnya pelan, karena sekarang Derta bisa melihat hasil didikan Clara. Sosok lain mirip Titania sangat manja, centil, pakaian kurang bahan bahkan gaya rambut serta polesan makeup yang sangat berlebihan.
Derta takkan pernah mau adiknya menjadi sosok seperti itu. Derta ingin adiknya tetap menjadi seperti apa yang terjadi sekarang walaupun kenyatannya harus merasakan kehidupan tanpa seorang ibu.
Sudah ada eyangnya yang menggantikan sosok itu bukan?