"Kak?"
"Iya!"
"Kakak ada hubungan dengan Kak Abani?"
Titania mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu, setelah memasang kertas terakhir di mading ia menoleh menatap Lerta dengan alis terangkat.
"Kemarin aku lihat kakak berbincang berdua dengan Kak Abani dilorong kampus kalau engga salah ingat itu siang hari. Kakak ada hubungan dengan dia?" Didalam hati Titania rasanya ingin menghilang saja kenapa juga harus ketahuan dengan orang lain dan parahnya lagi orang itu adalah Lerta, perempuan yang sudah ditolak cintanya oleh Abani demi dirinya
"Memangnya berbicara berdua dilorong kampus harus punya hubungan dulu sama seseorang? Lagian itukan tempat umum Lerta." Titania mencoba mencari alasan logis agar perempuan manis ini tidak menanyakan mengenai pertemuannya dengan Abani kemarin.
"Pas kakak pergi Kak Abani tersenyum bahkan aku bisa simpulkan kalau dia ada rasa sama kakak. Kakak Juga ada rasa sama Kak Abani?" Lerta kemarin sedang berjalan dengan temannya tetapi tanpa sengaja ia melihat dua orang yang sedang berbincang saat Titania pergi Abani memegang dadanya bahkan tersenyum tulus. Rasanya ada bagian hatinya yang patah melihat semua itu.
"Jangan asal menyimpulkan Lerta, oh iya mading disebelah barat udah ada isinya?" jika Sampai Lerta tau jika Titania dan Abani saling suka bahkan saling bertukar pesan semalam apa jadinya hubungan pertemanan mereka berdua? Walaupun hanya adik tingkat saja tetapi Titania juga harus menjaga pertemanan itu apalagi Lerta sudah mendengarkan bualan dramanya beberapa hari lalu.
Jika sampai Lerta menyebarkan dramanya itu maka seantero kampus akan mencari dunia pribadinya dan Titania sangat tidak menyukai hal itu, apalagi yang Lerta tau Titania mempunyai kembaran yang katanya lagi depresi akut jika hal ini tersebar maka semuanya pasti sulit dikendalikan.
"Yang aku lihat gitu kak, tapi itu hanya perasaan kak Abani saja sedang kakak tidak punya pandangan suka padanya." Titania mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Lerta, jadi selama ini sikapnya sudah sangat keterlaluan bahkan maka dari itu semalam Abani sedikit mengeluh akan dinginnya.
"Nahh itu bisa kamu simpulin sendiri, yaudah saya ke kelas dulu ya! 30 menit lagi jam pelajaran saya mulai. Tolong penempelan madingnya diselesaikan!" tanpa menunggu jawaban Lerta Titania berlalu membawa langkahnya menjauhi perempuan yang sedang melamun itu.
Lerta menatap Titania yang sudah menghilang di tikungan lorong kampus, ia memang tidak bisa menebak apakah kakak tingkatnya itu punya perasaan pada Abani atau tidak tetapi Lerta bisa menilai jika laki-laki yang disukainya itu menyukai Titania.
Rasanya harus patah melihat laki-laki yang kita sukai malah menatap perempuan lain dalam binar Cinta seperti kemarin, apalagi senyum yang Abani hadirkan setelah kepergian Titania adalah senyuman tulus yang jarang tampak. Salahkah jika Lerta merasa cemburu akan itu? Tentu sebagai perempuan yang mencintai Abani ia merasa terluka bukan? apalagi beberapa hari yang lalu Lerta sempat mengutarakan perasaannya tetapi ditolak dengan cepat oleh laki-laki yang selalu identik dengan kacamata itu.
"Ler? Kamu ngelamun?" perempuan manis itu menileh menemukan laki-laki dengan perawakan tubuh tinggi tetapi rambutnya tak rapi sama sekali.
"Ehh kak Saputra! Ada apa kak?" dia adalah Saputra, salah satu sahabat Abani yang cukup dengan Lerta.
"Engga sih! Cuman tadi pas lewat sini kamu kayak diam kayak patung gitu sambil liatin lorong kampus. Kamu liatin apasi? Dilorong itu ada hantunya ya?" Lerta tertawa kecil mendengar perkataan ngawur laki-laki didepannya dan Saputra tersenyum melihat tawa itu yang membuat hatinya menghangat saat ini.
"Kamu ikut eskul Sastra juga?" melihat tumpukan kertas di tangan Lerta pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Iya kak. Ini lagi mau nempelin di mading," rasa Kagum Saputra pada Lerta semakin bertambah karena Lerta juga menyukai dunia kepenulisan sepertinya mamanya.
"Berarti kamu pinter buat kata-kata dong! Buatin satu dong. Sekarang." pintanya, ia hanya ingin mendengar perempuan yang berhasil memikat hatinya itu bersyair.
"Andai kamu tau jika saat ini yang memenuhi hatiku adalah ejaan namamu, tak pernah kuizinkan siapapun menggantinya apalagi menyingkirkanmu tanpa pamit sama sekali"
Jantung Saputra semakin berdebar bahkan senyum diwajahnya semakin melebar. Tetapi tidak dengan Lerta ia malah memandangi Abani diujung lorong sana yang sedang bercanda tawa dengan salah satu sahabatnya, Keno.
"Waah. Bagus banget! Kamu memang pantes masuk di eskul itu." tatapan Lerta kini mengarah kembali ke arah Saputra. Sejenak Lerta tertegun melihat betapa bahagianya Saputra saat ini tetapi mungkin saja ini hanya perasaannya saja yang berlebihan.
"Makasih kak." balasnya.
"Yaudah. Aku duluan dulu mau ke mereka berdua. See you next time Lerta." Lerta dapat menangkap kerlingan mata Saputra tadi tetapi bukannya terpesona Lerta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah usil laki-laki itu.
****
"Gue tebak lo habis ngapelin anaknya orang!" suara Keno menyambut Saputra saat sampai di sisi keduanya.
"Ngapelin!, emang anak remaja labil apa pake kata apel apel segala." bantahnya cepat kemudian mengikuti Abani yang sudah jalan lebih dulu kearah kelas mereka.
"Aku ada berita Bagus untuk kami Saputra" ujar abani sambari menatap suasana kelas yang masih sepi padahal 40 menit lagi kelas pertama akan dimulai.
"Jangan dikasi tau dong Ab! Si sap sap ini bisa ngejekin gue abis-abisan." Abani tertawa kecil mendengar nada protes itu. Bahkan sekarang ini mereka berdua sudah duduk dibangku masing-masing.
"Apasi apasi! Jangan main rahasia dong!" Saputra yang memang tempat duduknya berada didepan Abani kini membalikkan badannya menatap penasaran pada sahabatnya itu.
Abani menatap Keno yang saat ini sedang memasang wajah memohon agar Abani tidak memberitahukan Saputra tetapi hanya dibalas tawa kecil Abani.
"Tadi ada anak maba yang nganterin coklat ke Keno yang bagian lucunya itu adalah perempuan yang bawa tuh coklat gayanya paling tidak disukai oleh Keno. Bahkan gaya bicaranya aja nauzubillah." sebagai penutup Abani tertawa kecil bahkan kini Keno sudah menutup wajahnya frustasi.
"What? Perempuan cabe ken? Wahh engga kebayang gimana mimik wajah si keno waktu ngeliatin penampilan tuh cewek.hahahah" Saputra kini tertawa menyusul Abani yang kini sedang berusaha meredakan tawanya walaupun itu sulit.
"Cihh! Baju ketat, rambut dikasi warna-warni terus kukunya itu loh! Ada pernak-perniknya. Lagi dan lagi roknya bikin gue sakit mata bukannya langsung suka malah merusak pemandangan mata tau engga.itu cewek mau ngampus apa mau foto model sih." Keno menyebutkan semua itu dengan wajah ingin muntah bahkan membayangkannya saja tak ingin ia lakukan.
"Gila. Gila. Gila. Gue tebak omongan lo kedia pasti pedes banget ngalahin cabe rawit."
"Mending coklat itu kamu jual terus uangnya kamu pake untuk membeli pakaian yang bahannya full bukan pakaian kurang bahan seperti itu." Abani mengulang kembali perkataan Keno saat itu dengan mimik wajah serius sambari tangannya menunjuk-nunjuk Saputra, menganggap Saputra adalah perempuan itu.
Keno semakin menghembuskan napasnya frustasi, bahkan Saputra makin menjadi-jadi ditempat sedang Abani masih tertawa tetapi tidak segila Saputra.
"Harusnya tadi kamu disana Saputra melihat bagaimana cara perempuan itu menyapa Keno dengan suara centil yang sengaja di lambatkan." Ingatan Abani kembali ke kejadian itu, perempuan dengan penampilan bukan tipe Keno sama sekali datang dengan gaya menggoda, sahabatnya itu bukannya tergoda malah menatap perempuan itu dengan pandangan jijik bahkan setelah mengucapkan kalimat pedasnya Keno langsung menarik Abani pergi dari sana.
"Emang tadi kamu dimana Saputra?"
"Ohh gue mau nyusul kalian tapi malah nemuin Lerta sedang masang mading Jadi gue ajak berbincang dulu." tadinya mereka memang bersama tetapi Saputra menyuruh mereka duluan saja karena minumannya belum habis.
"Lerta yang lo tolak itu Ab?" Keno yang tadinya hanya terdiam kini menyuarakan pendapatnya. Saputra kini menatap Abani dengan pandangan bertanya.
"Well. Aku emang nolak dia mana mungkinkan nerima dia sedang aku engga punya perasaan apa-apa lagian Saputra punya perasaan sama dia masa mau aku tikung sih." Saputra menaikkan kedua jempolnya sebagai rasa terimakasihnya pada Abani.
"Terus gue kapan dong? Doi kayaknya engga peka deh!" sebagai jawaban Abani hanya menepuk pundak Keno dua kali menyuruhnya bersabar.
"Lo engga udah takut ditikung deh Sap! Abani udah Cinta mati sama Si penulisnya itu." Saputra yang tadinya melamun kini matanya berbinar, kenapa juga ia harus galau lagian Abani sudah mempunyai pawang untuk dikejar.
"Tuh kan. Dia langsung senyum pas kita sebut doi." Abani hanya tersenyum sebagai balasan ucapan itu.
"Cinta oh Cinta. Kita bertiga emang bucin lover's deh." gumam Keno yang dibalas anggukan singkat dari Abani dan Saputra.
"Sabar aja Ken! Doi bakal peka nanti." semangat Abani.
"Thanks bro."