Selalu saja ada perdebatan dalam sebuah pilihan. Begitu juga yang dialami Tegar, Hesti, Edo, Danny, dan Bondan saat ini. Antara menunggu kesembilan orang yang masih di atas atap rumah sakit atau pergi karena ada peluang untuk selamat.
Setelah perdebatan, akhirnya Dokter Hesti harus merelakan rasa ibanya demi mengikuti pendapat orang banyak. “Kalau setengah jam lagi tidak ada tanda-tanda kloter tiga turun, terpaksa kita harus meninggalkan mereka,” tegas Edo yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk lari dari rumah sakit.
“Setuju!” sahut Danny dan Bondan bersamaan.
Tegar hanya mengangguk sambil menatap wajah Hesti terpaksa tersenyum kecut. Dalam benak Tegar berkata, “Aku akan pastikan kamu selamat, Hesti.”
Mereka berlima pun menatap jam di dinding ruangan teknisi tersebut. Hujan masih mengguyur kota dan kelihatannya kloter 3 tidak turun karena hujan. Edo tersenyum kemenangan. Dia pastikan akan segera pergi dari tempat itu sesuai rencananya.
“Pakai ini,” ucap Tegar yang mengambil sesuatu dari loker kerjanya. Ternyata dia menyodorkan mantel plastik berwarna hitam untuk masing-masing orang di ruangan itu.
“Wow, pas sekali ada plastik mantel warna hitam. Tak sia-sia kita ke sini!” celetuk Edo sambil tersenyum. Lelaki pemilik SPBU itu sudah memikirkan beberapa taktik agar bisa sampai ke Pojok Benteng dengan selamat. Dia yakin di sana ada pertolongan dari pemerintah.
Bagaimana bisa menebak apa yang terjadi di luar sana? Sedangkan seluruh sinyal ponsel dan telepon pun hilang. Suara tembakan sudah lama tak terdengar. Ini menjadi sulit karena orang yang ada di lantai dua gedung sebelah mungkin masih di sana dan mungkin saja sudah pergi.
“Bagaimana soal orang di dalam mobil itu ya?” tanya Hesti yang berpikiran soal orang yang terjebak di dalam mobil tadi.
“Maybe mereka sudah ikut dengan suara pengumuman tadi. Kalau orang waras pasti akan melakukan itu,” jawab Edo dengan santai. Dia sudah mengenakan mantel plastik itu.
“Benar juga. Paman ini memang cerdas!” puji Bondan yang menyusul memakai mantel plastik juga.
“Kalau tidak cerdas, tak mungkin jadi pemilik SPBU di Jombor! Dasar anak muda, kalian itu harus mengambil kesempatan untuk kehidupan selagi masih bisa!” Edo dengan senyum sombongnya merasa paling unggul. Padahal sifatnya sangat buruk. Dia tega mengorbankan orang lain demi kejayaan dirinya sendiri.
“Tak heran betapa egoisnya dirimu,” sahut Hesti yang kesal dengan tingkah Edo.
“Jaga ucapanmu! Dasar dokter tidak berguna!” gertak Edo yang tak suka dengan perkataan Hesti.
“Sudah hentikan! Hal seperti ini tak perlu diributkan!” Tegar menengahi pertengkaran itu. Sebenarnya Tegar masih merasa pening dan sedikit nyeri di bagian punggungnya. Dia hanya mencoba bertahan dan membawa Hesti ke tempat yang aman. Hesti, seorang dokter yang rela menolongnya dalam keadaan genting.
Mereka yang berada di dalam ruangan teknisi seketika menjadi hening. Hujan masih turun deras dan petir terus menyambar-nyambar. Tiba-tiba terdengar suara tembakan lagi dari kejauhan di tengah-tengah suara air hujan.
“Suara tembakan?” Danny mencoba melihat dari jendela, tetapi tidak terlihat apa-apa karena gelap dan hujan yang terlalu lebat.
“Orang itu masih di sana. Kita tidak punya banyak waktu. Harus segera ke sana sebelum orang itu pergi,” ujar Bondan pada yang lain. Mereka pun bersiap untuk keluar ruangan. Berat hati Hesti dan Tegar ikut keluar bersama tiga orang yang lainnya.
Mereka benar-benar akan meninggalkan sembilan orang yang masih di atap gedung rumah sakit. Setelah menengok keadaan sekitar, Tegar pun memberi instruksi. “Begini, kita akan melewati g**g gelap itu lalu ke gedung sebelah. Risiko ada zombie di sana sepertinya besar karena ini hujan, zombie itu mencari tempat berteduh. Jadi, aku ada ide. Danny maukah membantuku? Kita ke sana terlebih dahulu dengan membawa tabung APAR, lalu semprotkan ke g**g itu sebanyak-banyaknya. Kemungkinan zombie yang di dalam akan keluar dan pindah tempat. g**g itu gelap jadi kesempatan kita di sana lebih lama untuk mengamati sebelum berlari ke gedung sebelah. Bagaimana?”
Ide dari Tegar sangat logis. Mereka pun menyetujuinya. “Oke. Baiklah. Berarti kalian bertiga berjaga dulu di sini. Andai kata tidak berhasil, kami akan kembali ke sini, oke?” ucap Danny meyakinkan kalau ada rencana lain jika tidak berhasil.
“Baiklah, setuju!” Edo dan Bondan menjawab bersamaan. Sedangkan Hesti memegang tangan Tegar seakan tidak mengizinkannya pergi.
“Tenang, aku tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja,” lirih Tegar meyakinkan Hesti.
Sebenarnya, Tegar sudah lama menyimpan rasa pada dokter cantik dan baik hati itu. Selama bekerja, Tegar sering curi pandang di klinik saraf tempat Hesti bekerja. Entah memang takdir yang membawa mereka bertemu atau hanya kebetulan semata, saat ini mereka bisa bersama meski dalam keadaan genting. Tegar pun bahagia saat mengetahui kalau selama ini dokter yang merawat dirinya selama setahun salah satunya adalah Hesti Kumala.
Hesti menatap wajah Tegar dengan penuh harap. Dia hanya bisa berdoa dalam hati agar Tegar baik-baik saja. Tegar pun keluar bersama Danny dengan membawa APAR. Mereka sudah siap dengan memakai mantel plastik berwarna hitam. Tegar tersenyum menatap Hesti sebelum akhirnya berjalan ke arah g**g bersama Danny.
Apa yang direncanakan segera Tegar dan Danny lakukan. Meski jantung berdegup kencang, mereka menelan ludah dan memberanikan diri untuk membuka APAR dan mengeluarkan pemadam api yang dingin itu ke arah g**g gelap tersebut.
“Graaa .... Graaaa ....”
Suara zombie itu terdengar tidak begitu banyak. Tegar dan Danny saling bertatapan dalam benak masing-masing berharap zombie itu tidak menuju ke arah mereka. Hujan yang deras pun membasahi tubuh mereka berdua yang tetap menyemprotkan APAR tanpa henti. Sesuai yang Tegar perkirakan, zombie itu menjauh karena tak kuat air atau dingin. Entah mengapa itu berfungsi dengan baik.
“Graaa .... graaa ....” Suara Zombie itu menjauh dari g**g. Berhasil!
Tegar dan Danny pun kembali ke ruangan teknisi. “Berhasil!” seru Tegar dan Danny bersamaan.
Hesti, Edo, dan Bondan langsung bersiap pergi bersama Tegar dan Danny. Mereka membawa apa saja yang bisa dijadikan s*****a. Tegar dan Danny masih membawa tabung APAR karena mengambil yang baru dengan isi penuh. Edo membawa Kampak yang ada di samping ruangan teknisi, biasanya digunakan untuk memotong kayu. Sedangkan Bondan sudah menemukan parang dan Hesti hanya memegang balok kayu.
Mereka pun berjalan perlahan ke g**g itu. Hujan masih deras mengguyur. Bondan sudah berencana akan ke mobil miliknya setelah keluar dari g**g. Dia sudah menyiapkan kunci mobilnya. Masuk ke gedung sebelah sebenarnya berisiko besar apalagi zombie takut air hujan dan pergi ke gedung-gedung.
Masuk ke dalam g**g yang gelap, ada beberapa barang yang tergeletak di sana. Tak hanya barang, ada korban yang digigit zombie juga di dalam sana.
“s**l! Ada mayat juga!” gerutu Edo yang berjalan di belakang Hesti.
“Mereka tidak akan bangun sebelum dua puluh empat jam setelah digigit,” bisik Hesti.
Tegar memberi aba-aba untuk berhenti sejenak. Danny meneruskan aba-aba itu ke Hesti dan begitu selanjutnya. Mereka berhenti.
“Di depan gedung sebelah tidak terlihat ada zombie. Ini justru berbahaya. Bagaimana kalau zombie itu justru masuk ke dalam gedung-gedung? Berarti orang di lantai dua tadi membela diri dengan menembak. Mobil orang yang terjebak tadi pun sudah tidak ada, kemungkinan mereka pergi saat hujan melanda. Ini kesempatan untuk kabur. Bagaimana kalau kita ke mobil saja?” Tegar memikirkan kesempatan meski terkecil untuk selamat. Dia berpikir logis dengan memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi.
“Setuju! Lebih baik langsung kabur daripada ke lantai dua dengan risiko besar!” sahut Bondan. Dia pun berjalan ke depan terlebih dahulu. “Aku akan ambil mobil. Kalian tunggu dulu, oke?” imbuhnya dengan penuh percaya diri.
Bondan berlari menuju ke mobilnya. Dengan cepat dia mengambil kunci dan hendak membuka pintu. Sialnya, kunci yang dia pegang terjatuh. Dia menunduk hendak mengambil kunci dan tiba-tiba ada zombie mendekat.
“Graaa ... Graaa ....”
Tegar berlari ke arah Bondan dan menyemprotkan APAR ke arah zombie yang sudah mendekati Bondan. “Awas!” teriak Tegar memperingatkan Bondan.
Bondan pun langsung mengayunkan parangnya ke arah zombie. Satu zombie kepalanya tertebas dan jatuh. Ternyata hal itu membuat zombie yang lain tertarik dan berjalan ke arah mobil.
“Cepat masuk ke mobil dan nyalakan. Aku akan semprotkan ini ke zombie-zombie itu. Bawa mobilmu ke tempat yang terkena hujan!” seru Tegar yang panik.
Bondan segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mobilnya. Bisa! Dia pun menginjak gas dan menjemput yang lain di g**g. “Ayo cepat masuk!” seru Bondan mengajak yang lain masuk.
Mereka segera masuk ke dalam mobil. Hesti pun bingung karena Tegar belum ada di mobil. “Tegar mana? Jangan tinggalkan dia!”
“Nanti dia menyusul cepat masuk dulu. Kita harus ke tengah hujan!” kata Bondan yang tidak ada waktu menjelaskan.
Setelah semua masuk, Bondan langsung tancap gas ke arah tengah yang terkena hujan deras. Tegar masih menyemprotkan APAR ke arah zombie dan dia hendak berlari ke arah mobil Bondan. Karena menggunakan mantel plastik, gerakan Tegar jadi kurang gesit dan tak sengaja dia terjatuh. Satu zombie mendekati Tegar dan hendak menangkapnya.
“Tidak!” seru Tegar yang hendak mengambil tabung APAR yang terlepas dari tangannya.
Tiba-tiba suara tembakan kembali terdengar nyaring. Kali ini, orang misterius itu sudah di depan gedung sebelah dan menembak ke arah zombie yang hampir menangkap Tegar.
Tegar kaget saat zombie itu langsung jatuh tersungkur dan tidak bergerak karen tembakan pas di kepala. Tegar berdiri dan berseru, “Terima kasih! Ikutlah bersama kami!”
Ternyata orang misterius itu adalah lelaki gagah dengan pakaian tentara angkatan darat. Lelaki itu berlari menghampiri Tegar dan ikut ke arah mobil. Zombie yang lain mencoba mengejar, tetapi berhenti karena air hujan masih deras mengguyur.
“Terima kasih, tentara!” kata Tegar saat masuk ke mobil Bondan.
“Wisnu. Namaku Wisnu. Jangan panggil tentara. Kalian ... Berkelompok?” tanya Wisnu yang kaget ternyata mereka berjumlah lima orang.
“Wisnu, kami orang yang selamat dari gedung rumah sakit. Tadi kami lihat kau membantu orang yang terjebak di mobil,” kata Hesti kepada Wisnu yang terlihat cuek.
“Ha ha ... Orang yang tidak tahu berterima kasih itu? Mereka justru meninggalkan aku saat hujan datang serta ada pengumuman dari mobil keliling tadi! Siap!” gerutu Wisnu yang kesal.
Edo melihat Wisnu memakai pakaian lengkap tentara angkatan darat dan membawa beberapa senja*a. Berarti dia memang ditugaskan untuk membantu kondisi kacau ini?
“Memang begitulah hidup. Kalau tidak bergegas, kesempatan akan diambil orang lain,” ujar Edo dengan wajah menyebalkan.
Jadi benar dugaan tadi kalau mobil itu pergi bersama pengumuman saat awal hujan. Wisnu ditinggal begitu saja setelah menolong? Sungguh keterlaluan!
“Ayo tunggu apa lagi? Kita ke Pojok Benteng!” perintah Danny yang takut hujan akan berhenti dan zombie akan mengejar mereka.
“Iya! Let’s go!” Bondan pun tersenyum dan menunjukkan skill menyetir ala ugal-ugalan.
Hesti menatap Tegar. Dia bersyukur Tegar selamat. Padahal tadi dia sudah sangat takut Tegar akan tertangkap zombie. Dalam hati Tegar pun dia bersyukur karena masih bisa melihat Hesti.
Di atas atap gedung rumah sakit, salah satu orang melihat kejadian itu sambil hujan-hujanan dan dia tahu kalau dalam mobil akan pergi meninggalkan mereka. “s**l! Mereka meninggalkan kita! s**l! Kita terjebak!” seru lelaki itu.
Delapan orang yang lain pun panik. “Kita turun saja sekarang! Kalau tidak kita akan berakhir di sini!”
“Hujan lebat begini? Turun dengan tangga besi itu sama dengan bunuh diri!”
“Lewat dalam rumah sakit saja!”
“Di dalam sana banyak zombie!”
Anak kecil itu ketakutan dan masih duduk di pojokkan bawah tangki air, sedangkan orang tua yang tadi ketakutan sekarang sudah pasrah dengan akhir hidupnya. Orang-orang yang masih berada di atap gedung rumah sakit mulai kehabisan akal sehat dan tidak bisa berpikir jernih untuk mengambil langkah selanjutnya.