Perjalanan ke Pojok Benteng

1915 Kata
Mobil Avanza warna hitam yang digunakan Bondan sebagai mobil taksi itu melaju di tengah hujan lebat. Perlahan tetapi pasti menjelajahi jalanan agar terhindar dari zombie. Mereka berenam segera menuju ke Pojok Benteng sesuai yang dipinta oleh pengumuman tadi. Perjalanan yang harusnya singkat menjadi lambat karena kondisi hujan deras. Mereka berlima memberi berbagai pertanyaan ke Wisnu yang seorang tentara. “Bagaimana bisa kamu hanya sendirian di sini?” tanya Tegar yang tak percaya Wisnu hanya sendiri. Biasanya tentara itu berkelompok. “Ceritanya panjang, tak mungkin aku cerita semuanya. Tapi pada intinya semua kawan dinas timku berubah menjadi zombie juga,” jawab Wisnu yang teringat kejadian sehari yang lalu sambil menerawang jauh. Kejadian itu membuat Wisnu merasa sedikit trauma. Melihat kawan-kawan kejang dan suhu badan meningkat drastis, lalu perlahan satu per satu dari mereka berubah menjadi makhluk mengerikan yang disebut zombie. Mata mereka berubah seakan ada selaput putih menutupi dan meraung karena lapar akan daging manusia. “Kok bisa begitu?” selidik Danny yang penasaran juga. Beda dengan Hesti dan Edo yang hanya mendengarkan saja. “Karena aparat pemerintah mendapatkan suntikan terlebih dahulu. Semua tim yang diperintahkan menghalau kekacauan ini, satu per satu berubah menjadi zombie. Mereka mengalami kejang-kejang, demam tinggi dan langsung berubah menjadi zombie. Aku sudah menembak puluhan kawan demi mencegah mereka menggigit warga yang sedang dievakuasi. Aku terjebak di gedung swalayan itu karena hendak menyelamatkan satu keluarga yang berada di dalam mobil,” jelas Wisnu yang tangannya terlihat gemetar. Bagaimana tidak? Dia membunuh kawan seperjuangan, pasti ada rasa sesal tersendiri. "Mobil keluarga itu meninggalkanmu?" Danny menimpali karena tahu mobil itu tak ada saat mereka keluar dari g**g. “Sabar, Bro! Lalu kenapa kau baik-baik saja? Tidak suntik?” celetuk Bondan yang penasaran dengan cerita dari tentara berwajah tampan dan badan tegap itu. “Aku tidak suntik karena botol terakhir untukku jatuh pecah. Entah harus aku syukuri atau apa kejadian itu. Saat ini pemerintah kesulitan mengevakuasi penduduk karena sebagian besar tentara dan polisi ikut terinfeksi. Jika tadi ada pengumuman ke Pojok Benteng, kemungkinan ada tim yang bertahan dan selamat. Misi kami untuk mengevakuasi warga yang selamat sebelum tertular yang lain,” ungkap Wisnu yang memikirkan apa tindakan selanjutnya yang diambil oleh pemerintah karena suntikan itu hanya untuk beberapa kota besar di Indonesia. Berarti masih ada kesempatan di kota lain. “Kalau begitu kau juga belum tahu siapa yang meminta berkumpul di Pojok Benteng?” Tegar memastikan hal itu. “Ya, aku tidak tahu.” Wisnu pun terdiam. sepertinya satu tim AD-905 tidak ada yang selamat kecuali dirinya. Ciiiittt Suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal itu memekakkan telinga. Bondan terpaksa mengerem mendadak karena di depannya ada pohon tumbang. Hujan yang deras membuat jarak pandang hanya sebatas dua meter saja. “s**l! Ada pohon tumbang di depan. Pohon cukup besar pun!” gerutu Bondan. Hesti melihat keluar dari jendela. Banyak orang yang lari ke arah Pojok Benteng. “Bagaimana kalau kita jalan? Banyak yang ke arah sana juga. Berhubung masih hujan, orang yang ke arah sana berarti bukan zombie,” kata Hesti yang sudah mengamati sekitar. Jika jalanan tidak bisa dilewati mobil, daripada memutar arah dan lebih lama lagi perjalanan, lebih baik jalan kaki. “Berjalan terlalu berisiko. Aku sudah mengalami itu kemarin,” sahut Wisnu apalagi mereka berkelompok. “Tapi kemarin tidak ada hujan. Sekarang ada hujan,” sanggah Edo dengan logikanya. “Nanti para korban yang tergigit zombie akan berubah menjadi zombie juga. Ingat? Dua puluh empat jam setelah gigitan akan membuat orang terinfeksi juga. Risiko besar,” jelas Tegar yang mengingat penjelasan dari Hesti dan ucapan Wisnu sebelumnya. “Lalu? Mau diam di sini atau ke mana?! Malah berdebat tak ada untungnya!” gertak Bondan yang kesal mendengar mereka berdebat. Dia takut hujan segera berhenti. Meski ini dini hari sekitar pukul tiga, beberapa lampu masih menyala dan membuat zombie itu bisa melihat ke arah orang yang berjalan. Hanya hujan yang menjadi penghalang. “Sudah, putar jalan aja. Tak apa di mobil.” Edo memutuskan tetap di mobil daripada berjalan dan kehujanan. “Bagaimana yang lain setuju?” tanya Danny sambil menatap ke timnya. “Oke.” “Baiklah.” Hesti masih terdiam dan masih berpikir. Hanya Tegar, Danny, Bondan, dan Wisnu yang menjawab usulan Edo. Bondan pun memundurkan mobil dan mencari jalan lain. Mereka tidak bisa melaju cepat karena hujan yang deras. “Jalan ini bukannya lebih jauh?” tanya Hesti pada Bondan. “Lah, bagaimana lagi. Jalan tadi tertutup pohon tumbang. Ini alternatif paling cepat,” jawab Bondan dengan santai sambil menyetir mobil karena masih hujan. Baru Lima belas menit perjalanan, hal yang mereka takutkan pun terjadi. Hujan mulai reda. Tidak sederas tadi. “Hujannya hampir reda! Bagaimana ini?!” Edo menatap ke kaca mobil. “Cari tempat yang tidak terang untuk berhenti dan sebaiknya jangan keluar mobil dulu. Kaca mobil ini gelap dari luar, bukan?” Wisnu memberi arahan. Bondan mengangguk paham. “Iya. Kaca ini gelap kalau dilihat dari luar. Oke. Aku bawa ke parkiran Mac Donald saja, ya?” Bondan langsung membanting stir ke tempat parkir basemen tempat makan cepat saji itu. Wisnu sudah menyiapkan senapan miliknya. Dia memberi aba-aba untuk semuanya diam dan jangan bergerak. Ketika hujan benar-benar berhenti, suara zombie mulai terdengar. “Graaa .... Graaa .....” Seakan mereka memiliki insting tersendiri. Mereka menghindari air, saat hujan berhenti mereka pun tahu. Beberapa zombie keluar dari basement dan menabrak mobil beberapa kali karena gelap. Hesti merasa takut. Tegar memegang tangannya meyakinkan semua akan baik-baik saja. Beberapa saat kemudian terdengar orang berlarian dan teriak. Mungkin itu orang-orang yang tadi memilih jalan keluar menuju ke Pojok Benteng. Saat hujan berhenti, mereka menjadi kejaran zombie. “Aaaaaa!” “Tolong! Tolong!” “Tidak!” “Graaa .... Graaa ....” Wisnu menyuruh orang yang di dalam mobil untuk diam dan jangan bergerak. “Jangan berisik atau bergerak kalau tidak mau mati. Mereka masih banyak di sana,” bisik Wisnu yang tahu jumlah zombie di sana masih banyak dari suara yang terdengar. Mereka harus menunggu para zombie keluar untuk mencari celah pergi ke Pojok Benteng. Mereka akan kesulitan jika mengendarai mobil dalam posisi banyak Zombie di jalanan. Kemungkinan justru akan terjebak seperti keluarga yang kemarin coba diselamatkan oleh Wisnu. *** Di sisi lain .... Kondisi di Pojok Benteng .... “Lapor! Hujan sudah berhenti dan zombie-zombie itu menunjukkan pergerakan, Kapten!” Seorang tentara memberi tahu atasannya apa yang terjadi di luar. “Baik. Komando semua pasukan berjaga. Tembak kepala zombie yang mendekati garis merah. Selamatkan warga yang belum terinfeksi. Pastikan mereka tidak ada gigitan karena akan berubah setelah dua puluh empat jam setelah gigitan pertama,” perintah Kapten pasukan itu. “Baik, siap laksanakan!” Seluruh tentara dan yang tersisa membuat blokade di Pojok Benteng untuk melindungi warga yang masih selamat. Mereka berusaha menyelamatkan orang yang masih tersisa untuk menunggu keputusan pusat. “Kapten, apakah bantuan akan datang sesuai yang dikatakan pusat kemarin?” tanya salah seorang prajurit memastikan. “Negara dalam kode merah. Kita tidak bisa menunggu bantuan karena kota besar selain Yogyakarta juga mengalami hal yang sama. Info kemarin akses keluar dari Yogyakarta sudah ditutup. Mereka memblokade semua jalan dari setiap sudut. Kau tahu, seperti film di televisi? Blokade dengan peti kemas di setiap jalan perbatasan agar wabah ini tidak menyebar. Saat ini sudah mereka lakukan. Kita harus berusaha mengevakuasi yang tersisa,” jelas Kapten yang sebenarnya juga khawatir dengan hal yang terjadi. Kode merah yang berarti bahaya darurat negara. Para aparat negara yang paham pasti akan khawatir dengan hal itu karena akan diadakan penghancuran masal jika wabah ini tidak tertanggulangi agar tidak menyebar ke kota lain. Seperti saat ini, entah berapa lama mereka bisa bertahan. “Kapten! Ada satu keluarga turun dari mobil dan meminta masuk. Mereka aman, belum terinfeksi,” laporan dari salah seorang polisi yang berjaga dan lolos dari wabah. Hanya dua puluh lima persen tentara dan polisi yang tidak menerima suntikan karena persediaan terbatas. Mereka selamat jika tidak tergigit yang terinfeksi. “Baik. Setelah pemeriksaan, bawa mereka ke tahap satu. Jangan dicampur dengan warga yang bertahan dari kemarin. Jangan lupa siapkan pasukan mengambil pasokan makanan dari tempat terdekat seperti swalayan,” ujar Kapten memberi perintah. “Baik, Kapten! Siap laksanakan!” Kapten di ruangan atas mencoba menghubungi pusat dengan radio HT khusus militer. Pusat masih sibuk dan belum ada jawaban sama sekali. Terakhir adalah kabar blokade jika penyelamatan tidak berjalan lancar. Kapten khawatir ini semua akan berjalan dengan cepat dan warga yang selamat akan sulit dievakuasi. “Berarti perbatasannya di Wonogiri, Magelang, Klaten, Kulon Progo. Empat titik itu? Aku harus mencari jalan untuk membawa warga yang selamat ke tempat yang lebih aman. Tidak mungkin bertahan di sini lebih lama lagi. Persenjataan juga makin menipis. Menembak zombie seakan tidak ada habisnya,” ujar Kapten pada dirinya sendiri. Dia harus mencari jalan keluar bagi warga yang berkumpul di Pojok Benteng. Apakah mobil kompi tentara AD-905 waktu itu masih berfungsi? sepertinya dia bisa menggunakan mobil besar itu untuk mengevakuasi yang masih selamat. Suara tembakan bergantian terdengar. Tempat itu menjadi pertumpahan darah menghadapi zombie yang datang. Tetap saja masih ada lagi yang datang. Penduduk yang tidak terinfeksi tetapi tergigit pun akan menjadi zombie dalam waktu tertentu. Itu yang kapten khawatirkan sehingga memerintahkan bagi yang melihat mayat mati karena tergigit, segera penggal kepalanya atau tembak kepalanya. *** Tegar dan kelima orang lainnya masuk ke Mac Donald secara perlahan dan hati-hati. Mereka mencari makanan dan minuman untuk bertahan hidup. Untung saja zombie keluar mengejar orang lain yang berlarian, jadi mereka berenam ada kesempatan untuk mengisi perut. “Kita ke dapur saja dan tutup akses masuk. Kita makan sambil berjaga,” tegas Wisnu yang meminta semuanya masuk ke area dapur setelah dicek tidak ada zombie di sana. Mereka berenam di dalam dapur dan segera menutup pintu depan dan belakang. Serta mencari makanan yang bisa dimakan dan minuman yang bisa langsung diminum. “Seumur hidup, baru kali ini aku mengalami hal mengerikan seperti ini. Sampai makan dan minum pun jadi seperti gembel kelaparan!” keluh Edo sambil menyantap ayam yang berada di peniris hangat dan nasi yang sudah dibungkus kertas. “Sudah jangan cerewet! Makan saja!” gertak Wisnu yang sejak awal tidak suka dengan lelaki berjas itu. Edo pun terlihat kesal kepada tentara sok tahu dan sok memerintah itu. Padahal menurut Edo, dia hanya sendirian yang selamat berarti kemungkinan besar mengorbankan orang lain. Mungkinkah Wisnu orang yang egois hingga hanya dirinya yang selamat dari satu tim pasukannya? Itu yang dipikirkan oleh Edo. Beda dengan Tegar dan Hesti yang segera makan dan mencari tempat untuk membawa minum agar bisa mengambil persediaan air putih serta beberapa potong roti yang bisa dibawa pergi. Tegar masih teringat orang-orang yang tertinggal di atap gedung rumah sakit. Apakah mereka masih bertahan hidup? Atau mereka turun satu per satu dan tidak menemukan Tegar dan yang lain di dalam ruangan teknisi? “Harusnya kita tidak meninggalkan mereka,” lirih Tegar merasa menyesal. “Tidak ada pilihan lain, Bro. Sudah, bersyukur saja masih hidup!” sahut Bondan dengan santai. Ada benarnya juga yang dikatakan Bondan. Hesti menepuk pundak Tegar dan berkata, “Kita harus sampai ke tujuan. Kita harus sampai sana agar bisa membantu orang yang tertinggal. Kita butuh bantuan lebih bukan hanya sekedar dari Wisnu saja.” Tegar pun paham kenapa Hesti diam saja sejak tadi. Dokter cantik itu memiliki pengharapan akan pasukan di Pojok Benteng bisa membantu dalam hal menyelamatkan orang yang tersisa di atap gedung rumah sakit. Kesembilan orang yang masih menunggu untuk turun tangga darurat, atau justru sudah diserang zombie, atau justru mereka mulai sakit karena kehujanan dan menahan lapar? Tegar ikut berpikir akan hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN