Menunggu Sama dengan Mati

1933 Kata
Dua lelaki yang turun dari atap gedung rumah sakit bersama ibu tadi pun terdiam di tangga besi darurat. Mereka terlihat ketakutan karena perempuan yang turun bersama mereka tadi terjatuh. Terlihat tubuh ibu itu jatuh dan terbelah-belah, pastinya dia meninggal. Tak hanya karena melihat tubuh ibu yang terjatuh, kedua lelaki yang terdiam itu khawatir karena para zombie pun berjalan perlahan-lahan ke arah bawah tangga darurat karena bau darah yang terpercik dari tubuh remuk perempuan yang jatuh tadi. Mereka berdua tidak menyangka, jatuh dari ketinggian lantai enam akan membuat tubuh langsung hancur. Sopir taksi yang bernama Bondan itu memberi aba-aba kepada satpam yang bernama Danny agar diam dan tidak bergerak. Meski tangan dan kakinya gemetar karena takut, mereka berdua harus bertahan terlebih dahulu. Di bawah sana sudah banyak zombie yang berjalan tertatih-tatih menuju ke arah tubuh ibu yang baru saja terjatuh. “Danny, makhluk itu sepertinya tidak bisa melihat dengan baik dalam gelap. Lihat mereka berjalan menuju ke arah darah dan potongan tubuh ibu tadi dan beberapa kali menabrak dinding gedung atau tiang,” lirih Bondan yang menyimpulkan dari pengamatannya. Dia hanya berharap zombie itu tidak memanjat tangga darurat yang saat ini masih menjadi tempat mereka berpijak. "Ah, sepertinya benar yang kau katakan!" "Kita bertahan dulu. Semoga makhluk itu segera pergi!" Bondan sebenarnya sangat ketakutan. Dia tidak ingin mati di usia muda seperti yang sering didengar dari u*****n para penumpang taksinya agar Bondan cepat mati karena sering ugal-ugalan. “Lantai enam, kita bisa masuk ke lantai enam lewat jendela itu ada turun dari arah lain. Aku tahu jalan ke ruang teknisi,” jawab Danny sambil tersenyum. Satpam itu sudah tahu seluk-beluk rumah sakit karena bekerja di sana selama beberapa tahun terakhir. Dia berpikir mungkin itu ide yang bagus. “Ide bagus, tapi bagaimana kalau di dalam justru lebih banyak Zombie? Bunuh diri? Aku belum menikah! Jangan buat aku mati duluan!” gerutu Bondan yang berpikir secara logis. Tiba-tiba gemuruh terdengar dari atas langit, pertanda hujan akan turun. Malam yang dingin bertambah dingin dengan embusan angin yang membawa gulungan awan hitam. Hujan seketika mengguyur Kota Yogyakarta dengan deras. Danny pun memaki, “s****n! Malah hujan. Bagaimana ini?!” Dia takut tergelincir karena guyuran hujan dan posisi mereka berdua yang sulit. “Pegangan saja yang kuat. Biar kita tidak tergelincir karena terguyur hujan!” seru Bondan yang mulai kedinginan karena air hujan begitu dingin. Hujan deras mengguyur kota tanpa ampun. Para zombie pun berjalan menghindari air. Zombie-zombie iti menjauh dari bawah tangga darurat karena air mengguyur darah serta potongan tubuh perempuan yang terjatuh tadi. Ini menjadi peluang kesempatan untuk Danny dan Bondan kabur. Entah apa yang membuat zombie itu pergi. “Lihat para zombie pergi menghindari air hujan! Ini kesempatan yang bagus,” celetuk Bondan yang masih melihat ke bawah. Dia pun perlahan turun kembali dari tangga itu. Mengajak Danny melanjutkan menuruni tangga darurat dengan hati-hati. Masih enam lantai lagi. Sebentar lagi mereka sampai. Mereka berdua menuruni tangga lebih cepat karena takut hujan makin deras dan licin. Edo, Tegar, dan Hesti yang melihat pergerakan Danny dan Bondan pun bersiap hendak membuka pintu ruangan teknisi. Sebelumnya, mereka menengok dari jendela memastikan tidak ada zombie di sekitar sana. Mereka tidak mau gegabah, tetapi juga berharap kedua lelaki itu bisa selamat. “Aman, tidak?” tanya Edo pada Tegar. “Aman. Aneh sekali kenapa zombie itu kabur saat turun hujan? Baru kali ini aku tahu zombie takut hujan? Dalam film-film mayat hidup tidak takut hujan,” ucap Tegar sambil menengok ke jendela dan melihat hujan makin deras. “Kamu tak tahu? Ada beberapa alasan ilmiah untuk hal itu. Terpenting kita tahu satu lagi kelemahan makhluk itu, yaitu air. Bukan soal hujan, mereka tak kuat terkena air makanya menghindari hujan,” jelas Hesti yang yakin bisa lepas dari kekacauan ini. Mereka sudah mengantongi beberapa informasi valid tentang zombie dan bisa digunakan untuk menghadapi makhluk itu. Bondan dan Danny yang menuruni tangga dan tak terasa sudah sampai lantai dua. Saat perlahan kembali menuruni tangga, karena hujan makin deras, mereka berdua justru tergelincir dan jatuh dari tangga besi itu. Untung saja mereka sudah di lantai satu dan jatuh tidak terlalu tinggi. Meski tubuh mereka sakit, tetap saja langsung berdiri karena kaget dan takut zombie akan menyerang seketika. “I-ini ... Tubuh ibu itu? Hueeek ....” Bondan yang kaget menyentuh bagian tubuh perempuan yang tadi terjatuh hingga terbelah-belah menjadi beberapa bagian dan darahnya larut bersama air hujan. “Jangan berisik! Mau mati? Ayo kita lari ke ruangan di sana. Lihat pintu ruangannya sudah dibuka sedikit!” kata Danny yang sebenarnya juga mual saat terjatuh dan menyentuh darah dan ceceran tubuh perempuan tadi. Namun dia berusaha cepat berdiri dan kabur dari tempat itu. Danny dan Bondan berdiri dan berlari secepat tenaga ke arah ruangan teknisi di dekat genset rumah sakit. Hesti sudah membuka pintu dan setelah kedua orang itu masuk, Hesti segera menutup pintunya dengan cepat. “Kunci kembali!” seru Edo yang memerintah Hesti. Hesti mengangguk dan mengunci pintu itu kembali. “Akhirnya sampai di sini juga. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang masih di atas? Hujan deras seperti ini tak mungkin mereka turun,” tanya Danny sambil memeras ujung pakaiannya yang basah kuyup. “Kenapa memikirkan orang lain? Hampir saja kalian berdua mati dimangsa zombie kalau hujan tidak turun! Sudah jangan berisik!” Edo kesal dengan mereka berdua yang terlalu berisik karena bisa mengundang para zombie datang. Tegar berjalan ke arah loker dan mencari pakaian di sana. Ternyata masih ada pakaian di loker entah milik siapa. “Nah, ketemu! Ini kalian berdua ganti pakaian dengan ini. Mungkin pas ini milik orang teknisi.” Tegar memberikan dua pasang pakaian kepada Bondan dan Danny. “Ini pakaian siapa?” tanya Bondan saat menerima pakaian itu. “Ini baju teknisi yang kerja di rumah sakit ini. Kalau berangkat kerja, kami pakai baju bebas dan berganti pakaian dengan seragam kerja. Ini milik teknisi di sini tak apa pakai saja daripada sakit karena kedinginan,” jelas Tegar kepada mereka berdua agar mau memakainya. “Ganti si sini?” Danny menatap Tegar dan yang lain terlebih ada Hesti di situ. “Kalian ganti di ujung saja. Biar kami semua menghadap ke pintu. Daripada keluar juga sama saja kehujanan lagi,” jawab Hesti dengan logis, lalu membalikkan badan. Danny dan Bondan pun bergantian untuk berganti pakaian. Malam itu sangat dingin dan hujan tidak berhenti malah justru makin deras. Dalam benak Hesti dan Tegar, mereka memikirkan hal yang sama yaitu nasib sembilan orang yang masih berada di lantai atas rumah sakit? Mereka tak bisa turun karena hujan deras berisiko tergelincir dan jatuh. Bersamaan dengan itu, keadaan di atap rumah sakit makin kacau. Sembilan orang yang belum turun, mulai kedinginan karena hujan. Mereka berteduh di bawah tangki air, meski tidak basah kuyup, tetap saja dingin menusuk ke tulang dan air hujan membuat kaki mereka kedinginan. “Bagaimana ini? Tadi saja sebelum hujan ibu itu jatuh dan mati. Apalagi sekarang hujan deras pasti tangga itu licin!” seru salah satu orang yang mulai panik. “Jangan bilang seperti itu! Tidak membuat keadaan lebih baik malah justru makin panik! Kita tunggu sampai hujan reda!” “Tunggu hujan reda? Bagaimana kalau baru reda pagi atau siang hari? Mau mati turun tangga waktu ada sinar matahari? Kita juga tidak tahu kapan zombie itu akan masuk dari pintu atap. Kalian lupa kalau jumlah orang terinfeksi di dalam rumah sakit ini banyak karena kemarin banyak yang digigit makhluk itu?!” “Ah, s**l! Kenapa tadi aku tidak turun terlebih dahulu! Arrrgh!” Mereka bersembilan makin panik. Termasuk satu orang tua dan satu anak kecil berusia tujuh tahun yang menangis ketakutan. Padahal hujan merupakan hal yang menguntungkan termasuk membuat kondisi makin rumit. “Zombi di bawah sana menghindari hujan. Kalian lihat sendiri kan tadi? Tapi kita akan kesulitan turun karena tangga licin. Kalau bertahan di sini juga tidak menguntungkan,” jelas seseorang lelaki yang berdiri dan berpikir untuk mencari peluang turun dari lantai empat belas itu. Malam itu, ada suara sirine dan ada suara pengumuman yang entah berasal dari mana. “Pengumuman semua warga yang masih selamat dari kekacauan ini ... Harap kalian semua berkumpul di Pojok Benteng bergabung dengan warga lain yang sudah di sana. Tentara dan polisi sebagian besar sudah lumpuh karena serangan ini. Bagi yang selamat, aku ulangi lagi segera berkumpul ke Pojok Benteng!” “Dengar pengumuman itu? Suaranya dari mana ya?” “Kita harus ke Pojok Benteng.” Tujuh orang itu kembali berdiskusi sedangkan orang yang sudah tua dan anak kecil tujuh tahun itu tetap menangis ketakutan. Berbeda dengan kondisi Tegar dan yang lainnya di ruangan teknisi. “Kalian dengar barusan? Kita harus ke Pojok Benteng!” Edo merasa ada kemungkinan mereka selamat dari bencana ini. Dia tetap akan melanjutkan ke Pojok Benteng meski yang lain menolak. Itu kesempatan terakhir untuk bertahan hidup. “Siapa yang memberi pengumuman itu dan kenapa tidak berhenti? Sepertinya pengumuman itu diucapkan oleh orang yang berkeliling dengan menggunakan mobil saat hujan seperti ini,” jawab Hesti yang merasa kalau orang yang memberikan pengumuman pasti salah satu tentara atau polisi yang tahu kondisi kritis ini. “Kau tahu artinya? Mereka tahu kelemahan mayat hidup ini! Kembali ke tujuan awal saja,” sahut Danny dengan santai. “Ya. Kita tetap ke lantai dua gedung sebelah menemui orang dengan pistol itu. Kita akan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Sebelumnya, kalian berdua pakailah lakban atau kain ini untuk menutup tangan atau kaki kalian. Serta nanti kita cari alat untuk melindungi diri,” tegas Tegar yang belum tahu nama satpam dan sopir taksi itu. “Aku Bondan dan dia Danny. Begini. Terima kasih usulanmu. Aku juga punya pemikiran untuk ke Pojok Benteng pasti butuh kendaraan. Aku ada mobil Avanza di dekat g**g menuju gedung sebelah. Ini kuncinya. Mobil itu muat untuk kita dan orang di sebelah yang membawa senja*a. Bagaimana usulku untuk bisa ke Pojok Benteng?” Bondan tersenyum tengil. Edo tertawa dan kagum dengan pemikiran Bondan. “Ide berlian! Oke kita sebaiknya tidak menunggu hujan berhenti karena zombie takut air, ini jadi keuntungan kita waktu hujan,” timpal Edo yang ada benarnya. “Baiklah. Tapi bagaimana nasib sembilan orang yang masih di atap?” Danny merasa khawatir dengan orang lain yang belum sampai bawah. “Aku kira soal seperti ini tak usah saling menunggu atau semua akan mati. Iya, kan, Dokter Hesti?” Edo menatap perempuan yang terlihat bingung. “Ah, bagaimana, ya? Tolong jangan mengambil keputusan sepihak. Bagaimana kalau kita votting?” Hesti tak yakin dan melontarkan kalimat itu. “Aku pilih pergi,” ucap Edo dengan mantap. “Aku juga pilih pergi,” kata Danny. “Aku juga pilih pergi karena kesempatan hujan dan malam tidak pasti kita dapatkan besok. Ini waktu yang tepat!” ujar Bondan membuat Hesti dan Tegar bingung. Hesti menatap Tegar. Tegar menatap kembali ke Hesti. “Tiga orang memilih untuk pergi. Mau tak mau kita harus pergi, Hesti. Benar kata Bondan, ini kesempatan untuk bertahan hidup.” “Tegar, bagaimana bisa kau ikut berpikir seperti itu? Bagaimana dengan orang yang di atas?” Hesti tak percaya kalau Tegar ikut perkataan ketiga lelaki yang lain. “Menunggu mereka sama dengan mati! Kau mau membuat kita semua mati, Dokter?!” Edo mulai tersulut emosi. Bagi dirinya, lebih cepat kabur lebih baik. Karena kesempatan hanya datang satu kali. Kesempatan untuk menunggu sama dengan mati, atau kesempatan untuk lari dan bertahan hidup dengan pergi ke Pojok Benteng seperti dalam pengumuman tadi. Hesti terdiam memikirkan itu semua. Antara hati dan logika memang tidak selalu sama sepemikiran. Tegar memegang tangan Hesti untuk menenangkan dokter cantik itu. Pilihan yang sulit, tetapi semua sudah jelas, lebih banyak yang memilih lanjut daripada menunggu yang lainnya turun dari atap gedung rumah sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN