Mobil yang dikepung zombie itu ternyata berisi beberapa orang yang terjebak di sana. Orang dengan s*****a yang berada di gedung lantai dua itu berusaha menyelamatkan keluarga yang terjebak di dalam mobil. Satu per satu zombie yang ditembak pun tumbang. Namun beberapa zombie datang kembali bergantian karena suara dari orang dalam mobil yang histeris berteriak.
“Orang yang tergigit dan dimangsa oleh zombie tidak langsung menjadi zombie. Ada kemungkinan virus itu butuh waktu untuk menyebar. Jadi, baiknya kita bergegas karena banyak korban di rumah sakit ini,” ujar Hesti saat menuruni tangga besi satu per satu dengan gemetar.
“Makanya, aku minta kita pertama yang turun. Karena kemungkinan di atap tidak akan aman. Bukankah tadi sudah ada yang mendobrak pintu ke tangga atap gedung? Kita tidak tahu kapan akan ada hal buruk datang,” jawab Edo dengan egois hanya memikirkan dirinya saja.
Tegar masih fokus menuruni tangga meski sedikit gemetar tangan dan kakinya. Dia hanya berpikir bagaimana cara untuk bebas dari atap tanpa tertangkap mayat hidup atau terjatuh dari ketinggian. Mereka juga belum makan dan minum sejak siang tadi. Rasa lapar pun mulai menyerang. Jika bertahan di atap, bisa mati kelaparan atau tertangkap zombie.
Perhitungan dari Hesti adalah benar. Banyak korban yang digigit dan dimakan oleh zombie di dalam rumah sakit karena para warga yang mendapat suntikan vaksin dan mengalami demam tinggi hingga kejang-kejang dilarikan ke semua rumah sakit yang ada di Yogyakarta. Oleh sebab itu, zombie mulai merajalela di dalam rumah sakit. Para pasien dan petugas yang tidak bisa melarikan diri dari sana jelas saja menjadi santapan. Jika mereka tidak langsung berubah menjadi zombie, berarti ada waktu yang dibutuhkan untuk virus itu menyebar sempurna di tubuh korban. Sangat mengerikan.
Sudah sampai lantai delapan. Separuh lagi mereka sampai di bawah. Tegar beberapa kali menengok ke bawah memastikan di bawah sana aman tanpa ada zombie. Tempat generator itu memang tertutup dan jarang ada yang ke sana kecuali petugas rumah sakit seperti teknisi, sopir, atau cleaning service. Kesempatan keluar dari rumah sakit sepertinya akan berhasil. Namun untuk berlari ke gedung samping yang merupakan toserba itu memiliki risiko. Meski begitu jika mampu sampai di sana, mereka akan bertahan lebih mudah karena ada makanan di sana dan juga ada orang dengan s*****a di lantai dua bisa membantu bertahan dari serangan zombie.
Tegar pun ingat ada beberapa barang yang bisa dipakai untuk melindungi diri. Dia sudah memiliki ide sambil menunggu yang lain turun juga. Saat sampai lantai lima, mulai terdengar rintihan kesakitan dan suara geraman yang mengerikan. Seakan ada beberapa orang yang sedang disantap oleh zombie. Mendengarnya saja membuat bulu kudu berdiri. Apalagi menghadapi secara langsung.
Mereka masih belum paham seperti apa virus itu menyerang dan bagaimana orang-orang yang mendapatkan vaksin bisa berubah menjadi kanibal mengerikan. Satu hal yang pasti, mereka sadari harus bergerak terus untuk keselamatan diri sendiri.
Setelah sampai di lantai ketiga, mereka pun bergegas memberi aba-aba bagi yang di atas gedung untuk bersiap untuk turun. Tegar tahu jika di bawah lebih banyak lagi kekacauan yang terjadi.
Orang-orang yang masih ada di atap segera menentukan siapa yang akan turun selanjutnya. Satpam pemberani itu bersama ibu-ibu yang panik sejak tadi dan seorang sopir pun memutuskan menjadi kloter kedua yang turun gedung. Mereka menghitung waktu satu kloter turun hampir satu jam, jadi karena mereka lima belas orang akan ada lima kloter yang memakan waktu lima jam. Kloter terakhir pasti berisiko lebih tinggi dari yang sebelumnya.
“Ayo sebentar lagi kita turun!” ajak satpam dengan mantap.
“Bagaimana kalau nanti kita ….” Belum selesai ibu itu bicara, sopir pun memotong kalimatnya.
“Sudah jangan berpikir buruk terus. Nanti yang ada akan kesulitan turun. Kita lihat jika kloter satu saja bisa menyelesaikan dengan baik dan tenang, kita pasti bisa turun dengan selamat.” Sopir taksi ini sudah mempunyai rencana pribadi setelah turun dari gedung rumah sakit. Dia akan mengambil taksinya yang terparkir di pojok jalan dan segera melarikan diri dari Kota Yogyakarta. Dia sudah mendengar soal penutupan jalan.
Hal yang ditakutkan adalah mereka akan terjebak di dalam kota dengan ratusan bahkan ribuan zombie berkeliaran.
Tegar, Hesti, dan Edo pun sampai di bawah dengan selamat meski tangan dan kaki mereka jadi gemetar karena agak kram. Mereka pun melambai-lambai dengan menyalakan handphone sebagai tanda sudah sampai di bawah. Kloter kedua pun turun perlahan-lahan.
“Ayo kita sembunyi dulu di sana. Aku juga ada ide,” ajak Tegar pada Hesti dan Edo ke ruangan kerja teknisi di samping genset generator.
Hesti dan Edo pun mengikuti Tegar dengan perlahan berjalan demi tak menarik perhatian makhluk yang kehilangan kesadaran karena virus dalam vaksin. Sesampainya di dalam ruang kerja teknisi, Tegar pun segera menutup pintu dan sengaja tidak menyalakan lampu.
“Jadi begini, sebelum kita tahu apa yang terjadi sebenarnya dan apa yang menarik perhatian para mayat hidup itu, baiknya jangan berisik dan jangan menarik perhatian lewat cahaya. Saat ini aku ada ide untuk melakban atau melindungi tangan dan kaki kita dengan kain. Ini ada beberapa barang bisa digunakan. Oh iya, ini untuk kalian. Di sini masih ada stok air minum,” jelas Tegar sambil menyodorkan satu per satu air mineral kemasan botol ke Hesti dan Edo.
“Akhirnya ada minuman. Baik, Tegar. Idemu juga bagus. Lebih baik kita tidak berisik karena tak tahu makhluk itu ada di mana saja. Tapi tadi saat kulihat mereka kenapa mata mereka jadi putih semua, ya? Bagaimana mereka bisa melihat jika kornea mata mereka seperti tertutup selaput putih?” Hesti pun bingung sambil menenggak minuman yang Tegar berikan.
“Ah, kalian payah. Tidak pernah nonton film mayat hidup, ya? Mereka seperti itu karena saraf yang diserang virus. Biasanya harus memenggal kepala atau menembak kepala untuk melumpuhkan mereka karena saraf yang terjangkit virus akan terhenti saat otak benar-benar mati,” jawab Edo dengan santai. Lelaki itu memang menyebalkan, tetapi pemikirannya boleh juga.
Saat mereka masih mengobrol, tiba-tiba ada suara seperti benda jatuh begitu keras dan membuat mereka bertiga kaget. Sontak Tegar menengok dari jendela ruangan dan betapa terkejutnya mengetahui suara benda jatuh itu berasal dari tubuh seseorang yang turun lewat tangga, kloter kedua. Tubuh itu terjatuh dan remuk hingga berceceran. Darah dan bagian tubuhnya terlempar ke mana-mana bersamaan suara akibat terjatuh dari gedung rumah sakit lantai empat belas itu.
“Aaaa!” Hesti teriak dan langsung dibekap oleh Edo.
“Jangan teriak! Mau mati dimakan zombie?” Edo berbisik dengan kesal.
Tegar tak menyangka jika tubuh itu adalah ibu-ibu yang dari tadi panik. Karena bau ceceran darah itu, ada beberapa zombie mendekat.
“Graaa … graaaa ….” Suara itu mendekat, tetapi lokasi yang gelap membuat zombie itu kesulitan mencari sumber bau darah itu.
“Gawat! Malah ada zombie ke sini. Bagaimana dengan yg lain?” Hesti takut mendengar suara geraman itu.
“Tenang aja. Di sini gelap. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas di kegelapan. Sepertinya begitu karena lihat saja mereka beberapa kali menabrak dinding,” jawab Edo yang tahu satu titik celah melarikan diri dalam gelap.