Perjuangan Penuh Keringat

1841 Kata
Setelah selesai makan dan mengambil cadangan makanan dan minuman, Tegar dan kelima kawannya pun bersiap untuk pergi dari tempat makan cepat saji itu. Mengambil barang yang bisa dijadikan untuk alat melindungi diri pun dilakukan. Perjalanan ke Pojok Benteng yang seharusnya hanya menempuh waktu kurang lebih tiga puluh menit, kini berubah menjadi waktu yang cukup lama karena para zombie berkeliaran. “Hesti, apa pun yang terjadi, aku berjanji akan menyelamatkan kamu. Jadi, jangan jauh-jauh dariku,” kata Tegar dengan penuh percaya diri. “Hah? Bukankah aku yang lebih dulu menyelamatkan kamu? Dasar Tegar!” sahut Hesti yang di luar perkiraan Tegar. Memang dalam kenyataannya, Hesti lebih dahulu menyelamatkan Tegar saat terbaring di ICU. “He he he ... Itu kan karena kondisi. By the way, thanks, ya. Karena kamu merawatku, aku jadi masih bisa menikmati hidup, meski ya ... sekarang keadaan kacau,” ujar Tegar sambil tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hmm ... Iya, sama-sama. Aku juga senang akhirnya kamu bangun. Meski bangun di saat yang tak tepat,” jawab Hesti. Mereka berdua berbincang sedangkan Wisnu sudah menengok ke bawah lewat jendela untuk mencari celah apakah mereka akan pindah ke gedung lain sambil berjalan ke Pojok Benteng atau mengendarai mobil saja. Edo, Bondan, dan Danny masih makan dan mengisi persediaan untuk hari ke depan. Mereka tidak tahu apakah hari ini akan bisa sampai ke Pojok Benteng atau belum. Melihat kondisi di luar sana zombie masih banyak dan korban yang kemarin tergigit kemungkinan akan bangun hari ini membuat nyali ketiga lelaki itu menciut. “Kalian sudah siap? Lebih baik ambil risiko untuk naik mobil daripada berjalan. Sebentar lagi hari mulai pagi. Bondan, kau bisa mengendarai mobil dengan cepat, kan? Tidak seperti nenek-nenek menyetir?!” sindir Wisnu kepada Bondan untuk memancing nyalinya. Bondan pun tersinggung dan berkata, “Oke kalau kau memintaku menunjukkan kemampuan, maka terjadilah!” “Baik. Kita berangkat serentak ke mobil secara perlahan. Jangan mengeluarkan suara yang akan menarik perhatian para zombie,” kata Wisnu memberi aba-aba. “Kau yakin? Apa rencanamu?” tanya Tegar memastikan apa yang Wisnu pikirkan. “Yakin. Risiko lebih besar kalau berjalan karena matahari hampir terbit. Terpenting secepat mungkin ke arah Pojok Benteng,” jawab Wisnu dengan mantap. Mereka berlima pun berjalan perlahan turun ke basemen tempat mobil taksi itu terparkir. Sekiranya aman, Tegar langsung membuka pintu mobil dan menyuruh mereka langsung masuk. “Graaa .... Graaa ....” Suara Zombie terdengar mendekat. “Cepat-cepat!” lirih Tegar saat Wisnu berjalan menuju ke mobil, ada satu zombie di belakang Wisnu. “Belakangmu!” Wisnu terpaksa menembak tepat di kepala zombie itu. Suara tembakan terdengar nyaring dan menarik perhatian para zombie ke tempat basemen taksi itu berada. “s**l! Cepat masuk ke mobil!” seru Bondan. Tegar dan Wisnu langsung masuk ke mobil. Pintu mobil itu sudah dikunci dan Bondan segera melajukan taksi itu dengan kecepatan penuh. Bagaikan film laga, mobil taksi itu melaju menabrak para zombie yang berjalan ke arah basemen karena mendengar suara tembakan. Bondan tertawa dan senang menunjukkan keahliannya. Menyopir dengan ugal-ugalan dan menabrak banyak zombie. Hesti pegangan kencang meski sudah memakai sabuk pengaman. Edo dan Danny kaget dengan kelakuan Bondan. Sedangkan Tegar dan Wisnu yang baru saja masuk mobil seakan terombang-ambing karena laju mobil yang melesat cepat dengan zig zag. “Menuju ke Pojok Benteng!” teriak Bondan yang dengan gesit mengendarai mobilnya. Tentu saj agak itu menjadi daya tarik para zombie mengejar mobil taksi itu. “Hebat, Bondan! Kalau kita semua selamat, aku akan beri sepuluh juta untukmu!” kata Edo kagum dengan keahlian mengendarai Bondan. Kurang sedikit lagi mereka sampai. Namun tak mungkin mereka membawa gerombolan zombie itu ke Pojok Benteng. “Aku akan masuk ke hotel itu bagian basemen. Kalian langsung cari lampu dan matikan lampunya. Kita tidak mungkin membawa semua zombie ini ke Pojok Benteng,” kata Bondan yang sangat tepat. “Ok,” jawab semuanya serentak tanpa aba-aba. Mereka juga berpikir hal yang sama. Mobil taksi itu melaju kencang dan menukik tajam masuk ke hotel dan segera melesat ke dalam basemen. Seperti yang direncanakan, lampu basemen menyala dan ada beberapa zombie di sana. Wisnu langsung keluar dan menembak sakelar lampu basemen lalu masuk ke dalam mobil lagi. “Semua diam dan jangan bergerak!” perintah Wisnu membuat semuanya terdiam. “Graa ... Graaa ....” Para zombie pun mendekat. Basemen yang gelap membuat zombie berjalan dengan bingung tidak melihat apa pun. Ternyata penduduk kota banyak yang menjadi zombie. Mungkin juga besok akan bertambah lagi. Semua orang yang tergigit akan berubah menjadi zombie juga. Kemungkinan hal buruk akan bertambah dan membuat keadaan semakin sulit. Mereka terdiam dan tidak bergerak selama hampir setengah jam. Semua zombie itu perlahan keluar dari basemen bersamaan dengan cahaya matahari yang muncul bersama pagi. Mereka mulai bernapas lega karena zombie itu pergi meski mungkin hanya sebentar. “Benar, kan! Mereka menuju ke cahaya. Kemungkinan semua zombie akan di luar. Kita bisa ke Pojok Benteng melewati gorong-gorong,” kata Wisnu memberi instruksi untuk yang lain. Hesti menelan ludah karena takut masuk ke gorong-gorong. Pasti akan banyak tikus di sana. “Apa tidak ada cara lain?” “Ada! Kita bisa lewat pinggiran gedung tapi risiko lebih tinggi,” ucap Danny. “Gila kau! Lewat pinggiran gedung saat pagi seperti ini sama dengan bunuh diri! Dasar satpam gil*! Lebih baik lewat gorong-gorong lebih aman!” Edo ikut berpendapat. Memang ide paling masuk akal adalah Wisnu. Zombie tidak akan ada di gorong-gorong, bukan? Mau tak mau Hesti mengikuti yang lainnya. Wisnu memimpin di depan, kemudian Tegar dan Hesti di tengah, Bondan, Danny, dan Edo paling belakang. Mereka masuk ke gorong-gorong dan menutup lubang itu lagi. Mereka berjalan dengan susah payah menuju ke arah Pojok Benteng. Beberapa kali ada tikus lewat dan bau menyengat dari air comberan, tetapi apa boleh buat ini adalah jalan satu-satunya agar terhindar dari zombie. Edo merasa pengap dan hampir sesak napas. Wisnu mencoba naik dan menengok sudah sampai mana mereka berjalan. Tentara itu menengok dari celah atas gorong-gorong dengan bantuan Tegar yang menggotongnya di pundak. “Sebentar, tidak kelihatan.” Wisnu masih mencoba melihat dari celah. Lalu terdengar suara berbisik-bisik di sana. Memang pagi tiba dan zombie sangat peka dengan suara dan penglihatan dalam terang. “Apakah bantuan benar-benar akan datang?” bisik seseorang di atas. Sepertinya ada lebih dari satu orang di atas sana. Wisnu langsung mengambil kesempatan ini untuk meminta tolong. “Apakah ada orang di atas? Tolong kami!” kata Wisnu sambil mendorong tutup lubang gorong-gorong yang masih tertutup rapat. “Hah? Siapa yang bicara itu?” “Di sini. Dalam gorong-gorong. Saya Wisnu Kencana Tim AD-905 yang ditugaskan kemarin ke pusat kota,” ujar Wisnu meyakinkan orang yang berada di atas. “Hah? Dalam gorong-gorong? Kau tergigit tidak?” Dua orang yang di atas segera menengok ke arah lubang tutup gorong-gorong. “Kami aman. Tolong buka tutupnya. Kami dengar ada yang meminta warga selamat ke Pojok Benteng,” ujar Wisnu yang masih mencoba meyakinkan kedua orang itu untuk menolong. “Baik. Kami sampaikan ke kapten dulu. Tunggu sebentar.” Salah satu orang itu berlari ke dalam dan menemui Kapten di ruangannya. “Lapor, Kapten. Ada orang dalam gorong-gorong meminta tolong untuk dibuka. Dia tentara AD-905 yang kemarin ditugaskan ke pusat kota,” ujar salah seorang polisi itu kepada Kapten tim. “Apa? Siapa namanya?” Kapten kaget mendengar kabar itu. Tim yang kemarin dia pimpin dan sebagian besar semua menjadi zombie. “Wisnu Kencana. Namanya Wisnu Kencana.” “Ayo bawa aku ke sana. Kita tolong segera!” tegas Kapten yang senang mendengar nama Wisnu disebut. Wisnu adalah salah satu tentara terbaik di timnya. Kapten dan dua orang yang berjaga itu segera ke arah gorong-gorong. Mereka membuka tutup gorong-gorong segera. Wisnu memberi aba-aba kepada yang lain. Mereka sudah sampai di Pojok Benteng. “Kita selamat!” seru Bondan. “Wisnu, kau dengan siapa?” tanya Kapten yang kaget ternyata bukan hanya satu orang di bawah gorong-gorong. “Ini para warga yang bersamaku. Kami berenam.” Wisnu berharap Kaptennya tidak akan bertindak tak adil dengan kelima orang lainnya. “Hah? Bagaimana ini kapten. Persediaan makanan juga menipis,” lirih salah seorang yang berpakaian polisi. “Kapten, tolong selamatkan kami. Soal lain-lain, kami akan mencari sendiri!” tegas Wisnu yang merasa makin pengap di dalam gorong-gorong. Edo pun dadanya semakin sesak karena udara di gorong-gorong juga tidak baik untuk kesehatan. Kapten pun menyetujui perkataan Wisnu. Dua polisi tadi membantu membuka tutup gorong-gorong. Lalu membantu Wisnu serta kelima orang lainnya naik dari gorong-gorong. Bau sekali. Namun mereka harus cepat. Edo pingsan setelah diangkat dari dalam gorong-gorong karena sesak nafas. “Kenapa ini?” tanya seorang polisi. “Tadi dia mengeluh sesak nafas sewaktu di dalam gorong-gorong,” jawab Bondan yang menghela nafas dan mengatur nafas karena senang menghirup udara segar lagi. “Biar aku periksa,” kata Hesti mengambil alih. Orang-orang di dalam Pojok Benteng saling berbisik membicarakan keenam orang yang selamat dari gorong-gorong. Wisnu memberi laporan pada Kapten apa yang terjadi di pusat kota. Suara tembakan kembali terdengar saat zombie masuk ke area garis merah. Semua demi pertahanan orang di dalam Benteng. “Aku akan keluar mencari obat dan makanan. Apakah ada yang mau ikut?” tutur Tegar yang berinisiatif. “Biar satu temanmu dan satu penjaga ikut. Selebihnya di sini saja,” perintah Kapten. Danny ikut dengan Tegar dan satu polisi untuk keluar lewat jalan belakang. Mereka harus bergegas berlari ke arah swalayan dan mengambil sebanyak mungkin bahan makanan dan minum serta obat. “Hesti, jaga diri baik-baik. Aku akan segera kembali,” pamit Tegar pada dokter cantik yang sekarang menolong Edo. Hesti menatap Tegar pergi dengan bingung. Dia merasa sesuatu dalam hatinya saat Tegar menatap matanya. Hesti menolong Edo yang sesak napas. Dia memiliki gangguan pernapasan karena berada di gorong-gorong terlalu lama dan kurang udara segar. "Kau sudah tidak apa?" tanya Hesti saat Edo merespons dan bergerak. "Uhuk ... uhuk ... okey aku tidak apa. Terima kasih sudah membantuku," ucap Edo sambil duduk dan merasa sesaknya sudah hilang. "Iya, syukurlah." Saat itu Kapten dan Wisnu sudah kembali dari percakapan mereka. Wisnu tahu di tempat ini pun tak ada harapan. Hanya menunggu amunisi habis dan semua akan tamat. Edo pun mendekati Kapten untuk mencari informasi sedangkan Wisnu keliling ke tempat penjaga di atas Benteng. "Kapten, bolehkah tahu keadaan di sini dan bagaimana rencana evakuasi?" tanya Edo dengan rasa ingin tahu yang besar. "Sulit. Entah kapan ada bala bantuan, aku hanya mengukur waktu untuk menyelamatkan semuanya. Kalian sepertinya sudah tahu kelemahan zombie hingga bisa sampai di sini?" Kapten balik bertanya pada Edo. "Iya. Kelemahannya air dan gelap. Jika hujan dan gelap, kita bisa menyelamatkan diri. Mereka memiliki penglihatan yang buruk saat gelap, tetapi penciuman darah yang tajam," jelas Edo pads Kapten. Dia mengamati dan memberi informasi sesuai apa yang dia ketahui. "Kalau begitu, kita bisa evakuasi saat malam? Para zombie tidak akan mengejar kita, kan?" Kapten pun mengungkapkan pemikirannya. "Tidak semudah itu .... mereka peka terhadap suara." Edo tahu di tempat ini tidak ada harapan untuk hidup. Dia mencoba memutar otak untuk bisa sampai ke perbatasan kota tanpa tergigit zombie karena harus segera pergi sebelum hal lebih buruk terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN