Sudah seminggu Alana tinggal di rumah milik Ayah tirinya. Dan selama itu juga dia tidak melakukan kegiatan apapun. Tidak ada yang bisa Alana lakukan selain berdiam diri di kamar seharian penuh.
"Aku merasa kasihan dengan Alana. Pasti dia sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada kami. Jika saja ini tidak terjadi, dia pasti bisa melanjutkan kuliahnya." ujar Sintia dengan raut sedih.
Alana memang baru satu bulan merasakan menjadi anak kuliahan. Namun karena semua musibah ini terjadi, gadis itu harus rela putus kuliah dan ikut sang Mama tinggal di desa bersama Ayah tirinya.
Keluarga Danuardja memang tidak pernah menyukai Sintia dan Alana. Sintia memang berasal dari keluarga yang sederhana sebelum menikah dengan Danu.
Saat itu pertemuan mereka terjadi karena ketidak sengajaan. Sintia yang dulu seorang pengantar s**u di sebuah rumah sakit, tiba-tiba saja bertabrakan dengan dokter tampan yang dia kenal bernama Danuardja Gautama.
Singkat cerita, keduanya saling jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Dan tak membutuhkan waktu yang lama bagi Danu untuk melamar Sintia. Namun keluarga besar Gautama tidak setuju dengan pernikahan mereka karena Sintia berasal dari keluarga kelas bawah. Hal itulah yang membuat Sintia dan Alana sampai saat ini sangat dibenci oleh keluarga tersebut.
"Semua sudah terjadi. Kita tidak bisa memutar waktu selain menjalani apa yang telah digariskan Tuhan pada kita sekarang." timpal Dirga mengusap surai panjang istrinya dengan sayang.
Sintia mengangguk dengan raut sendu. Apa yang dikatakan oleh Dirga benar. Bukan waktunya untuk mengeluh dengan keadaan.
"Oh iya, Mas. Aku berencana untuk membantu kamu bekerja. Ada Ibu-Ibu yang menawarkan pekerjaan untukku di pasar. Apa aku boleh menerimanya?" tutur Sintia dengan antusias.
"Kenapa kamu harus ikut bekerja? Penghasilanku sudah cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari." kata Dirga tampak tidak setuju.
"Tapi aku bosan berdiam di rumah terus, Mas. Lagipula Alana sudah dewasa. Dia bisa menjaga rumah sendiri selama aku dan kamu bekerja." ucap Sintia berusaha membujuk suaminya itu.
"Aku hanya tidak ingin kamu cepat lelah, Sayang." Dirga berucap dengan nada lembutnya.
"Kamu meremehkan aku, hm? Aku ini Sintia yang kuat. Aku tidak akan mudah lelah hanya dengan bekerja seperti itu." Sintia berucap congkak. Yang membuat Dirga tertawa kecil.
"Baiklah-baiklah. Kamu boleh bekerja di pasar. Tapi ingat, jangan terlalu dipaksakan. Jika kamu ingin berhenti, langsung berhenti saja." kata Dirga menasihati.
"Siap, Bos." balas Sintia tersenyum senang yang membuat Dirga merasa gemas.
Keduanya kembali bersenda gurau dengan mesra. Namun lama-lama suasana di antara mereka berdua berubah intim. Keduanya lalu larut dalam gairah dan berakhir dengan berhubungan badan di tengah heningnya malam.
Di sisi lain, Alana merasakan perutnya melilit di tengah malam buta. Dengan menahan kantuknya, gadis itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Alana hendak melangkah keluar saat tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara-suara aneh yang berasal dari kamar yang ada di depannya.
Alana bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti dengan apa yang dia dengar. Dia sudah dewasa dan tau apa yang dilakukan oleh sang Mama dan Ayah Tirinya. Namun mengapa dia justru merasa penasaran dengan apa yang mereka lakukan?
Selama ini Alana tidak pernah mendengar sang Mama dan Papanya ketika sedang bercinta. Setiap ruangan di rumahnya dilengkapi dengan fasilitas kedap suara. Hal itu yang membuat Alana tidak pernah melihat atau mendengar permainan orang tuanya.
Namun cerita kali ini berbeda. Dia dengan jelas dapat menangkap desahan keras sang Mama yang tampak begitu menikmati permainannya. Membuatnya dirundung rasa penasaran.
Maka dari itu, dengan nekat Alana membuka sedikit pintu reot yang ada di depannya dan seketika tercekat saat melihat ayah tirinya tengah sibuk menghujam sang Mama dari belakang.
"Astaga." pekik Alana tanpa sadar dan segera menutup pintu kamar itu dengan keras.
Membuat dua orang dewasa di depannya seketika tersentak karena percintaan mereka dilihat oleh anaknya.
|•|
Alana merasa canggung sendiri saat berada di antara Sintia dan Dirga yang tengah sibuk melahap sarapan paginya. Gadis itu sesekali melirik sang Mama yang tampak biasa saja.
"Kayanya Mama nggak tau deh kalo tadi malem Alana ngintip kegiatan mereka." gumam Alana dalam hati sambil mengaduk-aduk makananya.
"Alana, apa masakan Mama nggak enak sampai kamu aduk-aduk begitu?" tanya Sintia yang baru selesai menyantap sarapannya.
"Eh? Ng-Nggak kok, Mah." jawab Alana sekenanya.
Sintia mengangguk samar dan melirik ke arah Dirga yang hampir selesai dengan sarapannya.
"Sayang, Mama mau bicara sama kamu." kata Sintia dengan nada serius.
Alana meletakkan sendoknya dan fokus menatap sang Mama. Menunggu wanita itu untuk membuka suara.
"Mama sudah membicarakan ini dengan Ayah kamu kemarin. Dan sekarang waktunya Mama ngasih tahu kamu tentang hal ini." kata Sintia membuka suara.
"Tentang apa, Mah?" tanya Alana penasaran.
"Mulai hari ini, Mama sudah mulai bekerja di pasar. Jadi Mama harap, selama Mama dan Ayah bekerja, kamu yang mengurus kebersihan di rumah ya." ujar Sintia menjelaskan.
"Apa? Mama kerja di pasar? Alana nggak salah denger kan, Mah?" tanya Alana memastikan.
"Enggak, Alana. Mama memang memutuskan untuk bekerja juga." ucap Sintia membenarkan.
Alana merasa tidak terima. Dia kini beralih menatap Dirga dengan pandangan tajam.
"Kok Ayah Dirga bolehin Mama kerja sih?" seloroh Alana menunjuk Dirga dengan telunjuknya.
"Alana, jaga sikap kamu. Mama nggak pernah ngajarin kamu berbuat tidak sopan seperti itu." sentak Sintia tidak terima karena perlakuan Alana pada suaminya.
Alana mendengus karena sang Mama justru memarahinya. Dia membuang wajah ke arah lain dengan bersidekap d**a. Tak ingin melihat dua orang dewasa yang ada di depannya.
"Ini semua bukan salah Ayah Dirga. Mama sendiri yang memutuskan untuk bekerja. Mama hanya ingin membantu meringankan beban keluarga kita." ujar Sintia mencoba memberi pengertian pada putri semata wayangnya itu.
"Terserah Mama. Alana nolak pun Mama juga nggak akan peduli." balas Alana keras dan berlalu meninggalkan dapur.
Sintia membuang napas beratnya dengan raut keruh. Entah mengapa putri manisnya yang dulu baik kini justru berubah kasar seperti ini. Membuatnya merasa tidak enak hati dengan Dirga.
"Maaf atas sikap Alana ya, Mas. Aku tau, dia mungkin masih belum menerima keadaannya." kata Sintia dengan raut sendu.
"Tidak apa-apa, Sayang. Mas paham dengan apa yang Alana rasakan. Mas juga akan berusaha untuk mendekatinya agar mau menerima kehadiran Mas sebagai ayah tirinya." balas Dirga memaklumi.
Sintia bernapas lega mengetahui Dirga tidak mengambil hati akan sikap Alana barusan. Dia merasa beruntung memilik suami seperti Dirga.
"Aku cinta kamu, Mas." ujar Sintia dengan wajah berbinar.
"Aku juga, Sayang." balas Dirga yang diakhiri dengan kecupan manis di antara keduanya.
***