Pindah
Seorang gadis cantik tak berhenti menggerutu saat harus menarik koper besar miliknya di jalanan beraspal yang hampir sebagian rusak. Tak ada satupun kendaraan roda empat yang dia lihat berlalu lalang di jalan ini. Yang ada hanya beberapa motor dan pesepeda yang melewati mereka.
"Masih jauh, Mah?" tanya gadis itu dengan napas ngos-ngosan.
"Sebentar lagi, Alana. Sabar ya." ujar sang Mama dengan suara lembut.
Gadis yang dipanggil Alana itu berdecak dan kembali berjalan dengan langkah gontai. Netra coklatnya menatap punggung lebar seorang pria yang berdiri di depan sang Mama dengan pandangan sebal.
"Mah, Alana bener-bener udah capek banget. Kapan sih kita nyampeknya?" keluh Alana yang mulai kesal.
"Maaf ya, sudah membuat kamu kelelahan seperti ini. Sebentar lagi kita akan sampai." ujar pria yang sedari tadi diam.
"Rumah Om Dirga mana sih? Dari tadi kita jalan, nggak nyampek-nyampek?" tanya Alana beraut sebal.
"Alana.." kata Sintia memperingati.
"Iya, Mah." balas Alana memutar bola matanya.
"Tidak apa-apa, Sintia. Ini juga salah saya karena membuat kalian harus berjalan kaki sejauh ini." timpal Dirga tak enak hati melihat istri dan anak sambungnya berselisih.
"Udah, Mas. Lebih baik kita lanjutin jalannya aja." kata Sintia menengahi.
Ketiganya kembali berjalan di tengah teriknya matahari siang ini. Setelah melewati tiga rumah yang jaraknya saling berjauhan, akhirnya mereka telah sampai di rumah Dirga.
Alana mengerjap saat melihat rumah sederhana yang ada di depannya. Rumah tersebut sangat berbeda dengan tempat tinggalnya dulu yang super mewah.
"I-Ini rumah Om Dirga? Maksudnya Ayah Dirga?" tanya Alana meralat panggilannya.
Pria bernama Dirga itu tersenyum dan mengangguk ringan. Jelas tergambar wajah tidak mengenakkan darinya melihat ekspresi gadis muda di depannya.
"Kok gini, Mah?" cicit Alana menyenggol sang Mama.
"Hush.. nggak usah ngomong terus. Udah syukur kita punya tempat tinggal." seloroh Sintia yang membuat Alana seketika diam.
"Ayo masuk dulu." ajak Dirga sembari membawa barang-barang yang lain.
Sintia dengan tersenyum tipis mengikuti langkah suami barunya itu. Sedangkan Alana masih terdiam dengan wajah syok.
"Ya ampun. Masak Alana harus tinggal di rumah kaya gini?" gumam Alana tak habis pikir.
"Alana? Cepet masuk." teriak Sintia dari dalam.
Alana yang mendengar teriakan sang Mama seketika tersadar dan ikut masuk ke dalam rumah tersebut. Netra coklatnya menelusuri setiap ruangan yang ada di dalam rumah kecil itu.
Lagi-lagi Alana berdecak karena semua yang ada di dalam rumah tersebut sangat berbeda jauh dengan rumahnya dulu. Tidak ada sofa empuk yang ada di ruang tamu. Yang ada hanya kursi reot yang hampir lapuk.
Semakin masuk ke dalam, Alana menemukan dua ruang kamar yang berukuran berbeda. Namun tentu saja jika dibandingkan dengan kamarnya dulu, luas kamar-kamar tersebut tidak ada apa-apanya.
"Kamar kamu yang sebelah situ ya, Al. Mama sama Ayah Dirga yang di sebelah sini." Sintia menunjuk kamar berukuran kecil untuk kamar Alana.
"Tapi, Mah.." Alana hendak protes. Namun melihat tatapan tajam sang Mama membuat dirinya mendengus.
"Iya-iya. Kamar Alana di sini." jawab Alana memberenggut sembari menyeret kopernya ke dalam kamar kecil yang ada di depan kamar sang Mama.
Ceklek
Brak
Alana dengan sengaja menutup pintu kamar barunya dengan keras sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Dia melemparkan tubuhnya di atas ranjang kecil dengan kasur yang terasa keras.
"Gimana Alana bisa nyaman tidur di sini kalo kasurnya keras begini." keluh Alana untuk yang kesekian kalinya.
Gadis itu tak berhenti menggerutu hingga tanpa sadar membuatnya mengantuk. Alana akhirnya tertidur dengan posisi kedua kakinya yang masih tergantung di tepi ranjang.
|•|
Dirga baru saja keluar dari kamarnya setelah bermanja-manja dengan istri barunya. Hari sudah beranjak sore dan tidak ada tanda-tanda anak tirinya keluar dari kamar yang ada di depannya.
Pria berperawakan tinggi dengan kulitnya yang legam karena terlalu sering berada di bawah terik matahari itu memilih untuk membasuh tubuhnya yang berkeringat. Dia masuk ke dalam kamar mandi yang memang berada di dekat dapur.
Beberapa menit berselang, Alana keluar dari kamarnya karena merasa lapar. Gadis itu menelusuri ruangan yang ada di rumah barunya hingga sampai di dapur. Netra coklatnya melirik pintu kecil yang ada di dekat dapur. Sepertinya ada seseorang yang berada di dalamnya dan sedang mandi.
"Jadi kamar mandinya ada disitu." gumam Alana.
Gadis itu berdecak sebal. Pasti akan sangat ribet jika dia harus membawa baju ganti saat ke kamar mandi.
Tak ingin memusingkan hal yang belum terjadi, Alana lalu memilih duduk di kursi makan. Gadis itu mengamati tudung saji yang ada di depannya dengan seksama.
Saat Alana hendak membuka tudung saji tersebut, suara pintu yang terbuka menarik atensi gadis itu. Alana seketika mengerjap saat melihat seorang pria gagah dengan otot-otot perutnya yang terbentuk baru saja keluar dari pintu itu.
"Eh, Alana?" kata Dirga terkejut karena mendapati putri tirinya ada di dapur.
Alana yang tersadar buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain. Bisa-bisanya dia mengagumi bentuk tubuh ayah tirinya itu.
Sedangkan Dirga berpendapat lain. Dia berasumsi jika Alana masih kesal dengannya dan belum menerima kehadirannya.
Pria itu berjalan mendekati Alana yang terduduk kaku di kursi. Lalu berdiri tepat di depan gadis itu.
"Ayah tau, kamu pasti belum menerima semua ini. Ayah memang bukan berasal dari keluarga kaya raya seperti mendiang Tuan Danu. Tapi Ayah akan berusaha membahagiakan kamu dan Mama kamu. Jadi.."
"Stop." sela Alana tiba-tiba.
Gadis itu mendongak, menatap netra kelam milik Dirga dengan pandangan tak terbaca.
"Bisa nggak sih pakai baju dulu?" semprot Alana dengan wajah memerah.
Dirga menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan gadis di depannya ini. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Orang-orang desa memang terbiasa bertelanjang d**a.
"Memangnya kenapa?" tanya Dirga bingung.
Alana memalingkan wajahnya lagi dengan muka merah. Membuat Dirga merasa aneh dengan respon dari putri sambungnya itu.
"A-Alana nggak biasa liat ginian." kata Alana terbata.
Dirga yang mendengar itu tertawa kecil. Lucu sekali respon dari gadis di depannya ini.
"Orang desa memang terbiasa seperti ini jika di rumah atau sedang kegerahan. Kamu akan sering melihat Ayah seperti ini nantinya." ujar Dirga sembari menepuk puncak kepala Alana dengan senyum kecil.
Alana hanya mendengus sebagai balasan. Entah mengapa dia merasa resah saat berdekatan dengan ayah tirinya ini.
"Kenapa masih di sini?" tanya Alana ketus saat menyadari Dirga tak kunjung beranjak dari tempatnya.
"Kamu lapar kan? Ayah belum sempat memasak tadi. Jadi biar Ayah buatkan sesuatu." kata Dirga menanggapi.
Belum sempat Alana menolaknya, Dirga sudah lebih dulu mengambil beberapa bahan makanan di kulkas usang miliknya. Dia lalu disibukkan dengan acara memasaknya.
"Kenapa dia nggak pakai baju dulu sih." gumam Alana kesal melihat Dirga yang masih betah bertelanjang d**a.
***