Chapter 44 : Kebenaran yang Sesungguhnya

1791 Kata
Pollen berlari dengan sekencang tenaganya. Menghindari massa yang mungkin mengenal dirinya. Dia menutup wajahnya rapat-rapat, enggan melihat siapapun yang berada di dekatnya.  Hingga ia akhirnya bersembunyi di sebuah tempat mirip pasar, di pojokan dekat dengan daging-daging rusa buruan. Dia duduk bersila meskipun alas yang ia duduki lembab dan berair. Entah air apa itu, tapi tikus saja enggan melewati tempat yang Pollen duduki. Baunya anyir dan bau tak enak dipandang. Pollen terus saja duduk merenung menundukkan mukanya ke tangan. Berharap diselamatkan seseorang. Namun bukannya dicari, dia diabaikan. Luka yang ada di tubuhnya membuat semua orang bergidik merasa jijik. Mereka memalingkan muka mereka. Mirip seprri bangkai binatang yang enggan untuk dibersihkan.  “Ibu, ayah. Apa itu?” tanya seorang anak kepada ibu dan ayahnya dengan menggenggam tangan sangat erat. Pemandangan itu membuat Pollen sungguh tersentuh. Dia tidak pernah memiliki seseorang sedekat itu sebelumnya. Orang yang selalu berada disisinya setiap saat. Menggenggam tangannya penuh dengan kasih sayang cinta. Satu-satunya hal yang dia punya adalah Freda dan Urfinn. Meskipun mereka sudah menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Namun Freda tidak memiliki banyak waktu untuknya. Ia lebih mementingkan anak kandungnya sendiri. Aalina dan Larion. Pollen pun menangis tersedu-sedu “Hei kau, apa yang kau lakukan disini?” teriak seorang paruh baya membawa pisau daging di tangan kanannya dan bajunya mengenakan celemek. Dia terlihat seperti penjaga toko, mungkin tangisan Pollen membuat pria itu merasa berisik dan segera saja mengusirnya. Namun Pollen enggan berpindah dari tempat duduknya. Ia malah makin menangis menjadi-jadi. Dengan paksa, pria itu menendang tubuh Pollen. Dan tak sengaja, topinya terlepas jatuh ke tanah. Memperlihatkan wajahnya dengan utuh. Pria itu pun jatuh duduk terkaget dengan pisau yang masih ada di tangannya “Siapa… Tidak apa kau ini sebenarnya?!?” Pria itu berteriak dengan sangat keras bergidik ketakutan. Dia terjatuh, tubuhnya bagian bawahnya jatuh terkena lumpur lembab kotor. Sontak saja, teriakan pria itu mengundang khalayak ramai menghampirinya. Mereka bingung dengan apa yang terjadi. Tapi pria itu menunjuk Pollen, mukanya yang menyeramkan tanpa dosa dengan ekspresi ketakutan, ia berkata “Dia, Anak terkutuk!” mendengar itu para kerumunan langsung berlarian tunggang langgang. Panik karena anak yang mereka kira sudah mati ternyata masih hidup. Pollen pun menangis, tak tahu harus berbuat apa. Lalu seketika, suara hentakan kaki menggelegar di sekitar Pollen. Dia mendengar suara kerumunan dengan nada yang berat, seperti suara lelaki yang amat sangat kuat. Saat ia membuka matanya, ia melihat banyak orang dengan baju besi dan helm dari kain mengerubungi dirinya. “Siapa kalian semua?” Teriak Pollen. Lengan Pollen diangkat, namun karena ia memberontak, dengan paksa para prajurit itu menodongkan tombak kepadanya. Membuatnya takut, Pollen tak gentar, ia meraung-raung dengan sangat keras. Hingga akhirnya para prajurit itu menyeret mereka ke jalanan.  Tentu saja penyeretan paksa Pollen mengundang banyak khalayak orang Izia melihatnya. Tetapi tidak ada raut muka kasihan atau empati kepada Pollen. Malahan mereka menghindar melihat bertatap muka langsung dengan Pollen. Memalingkan muka seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Padahal, di depan mereka ada seorang anak kecil yang tertarik meronta-ronta.  Kaum Izia pada dasarnya merupakan kaum yang homogen. Hampir sebagian besar dari mereka memiliki penampilan yang mirip satu sama lain. Maka dari itu, standar kecantikan atau kelayakan seseorang sangat tinggi disana. Bila seseorang memiliki perut penuh lemak dan tidak menjaga tubuhnya maka bisa dipastikan ia akan mengalami diskriminasi terhadap kaumnya sendiri. Apalagi Pollen, seseorang yang bisa dibilang “cacat” dari lahir. Meskipun tidak semua, tapi kebanyakan kaum Izia tidak akan membiarkan bayi mereka terlahir cacat. Bila mereka mengetahui atau mempunyai petunjuk tentang hal itu. Mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk membunuh atau membuang bayi mereka itu.  “Lihat dia disana” teriak salah satu orang dari segerombolan warga membawa parang san obor bersama mereka. Dengan histeris mereka menaikkan s*****a mereka masing-masing keatas dengan tatapan bengis dan kejam. Sementara Pollen yang mengintip dari balik punggung prajurit, bergidik ketakutan. “Apa yang kalian lakukan?” Teriak prajurit yang berada di depan para warga itu. “Kau tidak tahu apa yang anak itu telah perbuat. Semenjak dia lahir, binatang-binatang buruan menjadi hilang. Gemstone yang ada gua Falkreth juga menipis. Hal yang sangat setelah ribuan tahun kita menambangnya setiap hari.” Ucap salah satu warga bersungut-sungut “Gara-gara dia juga ibuku meninggal karena tidak bisa mencari binatang buruan di barat dan timur. Terpaksa aku harus mencari Di hutan utara dan selatan. Namun yang terjadi, Dewa malah mengutuk ibuku. Itu semua gara-gara dia”  sontak, semua warga ikut berseru. “Yaa!!!” dengan sangat keras sambil mengangkat s*****a di tangan mereka ke udara berulang kali. Pemandangan itu tentu saja sangat ngeri bagi Pollen yang harus memiliki pengalaman pertama buruk saat mengunjungi desa.  “Tunggu apalagi. Cepat bunuh anak itu!” Dengan berbondong-bondong mereka berlari menerobos barisan prajurit Izia. Karena fisik warga Izia biasa sangatlah kuat, Prajurit Izia cukup kewalahan untuk menahan serangan para warga itu. Mereka tidak bisa membalas serangan para warga karena itu menyalahi aturan sebagai Prajurit Izia. Yang mereka bisa lakukan hanyalah bertahan melindungi Pollen.  Hingga akhirnya, salah satu warga berhasil menerobos. Dia menarik Pollen keluar lalu mengangkat kerah bajunya ke atas. Mirip seperti perayaan binatang hasil buruan. Pollen tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya menangis tersedu-sedu sambil mencoba menggoyangkan kaki dan tangannya keluar dari genggaman warga itu. “Aku telah mendapatkannya” kata-kata itu mendapat sorak sorai gempita dari warga lainnya. Mereka kembali mengacungkan senjatanya ke atas. “Ada apa ini!” Tiba-riba, Urfinn sang Malvirto datang di tengah-tengah keramaian. Sambil membawa anaknya Larion di sampingnya. “Warga telah menangkap Pollen Tuan, maafkan kami tidak bisa mencegahnya” kata salah satu prajurit menunduk ke tanah meminta maaf kepada Urfinn. Helmnya yang berat terasa sangat enteng dan rapuh melihat sang penasehat hadi di tengah-tengah mereka. Tangisan Pollen berhenti, melihat sosok yang ia kenal datang untuk dirinya. “Atas nama Tetua Drehalna dan seluruh prajurit Hutan Izia, aku memerintahkan kalian untuk mundur dan menyerahkan anak itu kepadaku. Segala tindakan yang melawan kata-kataku akan terkena sanksi yang berat” Dengan tegas Urfinn mengancam. Sudah kewajiban Urfinn untuk menjaga Pollen dari berbagai macam marabahaya. Namun tak bisa dipungkiri juga banyak warga desa yang masih menaruh dendam dan dengki terhadap Pollen.  Lalu seketika, Pollen yang diangkat ke atas pun diturunkan. Seluruh warga desa menaruh s*****a mereka kembali ke tanah. Menyerah. Sosok Urfinn memang dihormati oleh seluruh warga desa, tak terkecuali. Namun ucapan Urfinn membuat semua warga desa bertanya-tanya. Kenapa dia melakukannya? “Anak ini menjadi tanggunganku sekarang. Jika kalian sekali-sekali mencoba menyentuhnya lagi, maka kalian akan berurusan denganku.” Perkataan Urfinn itu membuat Pollen yang tak berdaya mendapat secercah harapan. Ia merasa hidupnya akan lebih baik setelah mendengar itu. Namun, masa depan tidak seperti yang ia pikirkan. *** Pollen yang terbang ke udara menghindari jarum pasirnya sendiri sudah bergerak terlalu lama. Sedangkan, kawanan Aalina yang masih berada di udara dibantu oleh angin yang menjaga mereka tetap melayang menyaksikan kengerian itu. Mereka tidak bisa hanya menunggu, mereka harus menunggu. “Aalina. Apakah kau tidak memiliki sihir yang membuat kita bisa mengejar dan segera mengakhirinya?” Kata Neville penasaran.  “Aku hanya mempunyai sihir agar kita tetap melayang. Namun aku tidak bisa melakukannya terlalu lama. Ada batasan, dan sepertinya, sebentar lagi akan habis. Terpaksa kita harus meluncur dan jatuh kembali ke tanah” perkataan Aalina sama sekali tidak membuat Neville puas. “Bagaimana kau tahu kalau cuaca yang mendung itu bisa dikalahkan oleh sihir Neville, Aalina?” sahut Gavin penasaran. Pada awalnya baik Neville, Gavin maupun para tentara Izia tak ada yang percaya dengan rencana Aalina tadi. Namun, rencananya terbukti berhasil.  “Aku mengetahui elemen dasar dari sihir Pollen. Walaupun dia terlihat menggunakan energi sihir berelemen pasir, namun itu bukanlah elemen murni dari dirinya. Karena pada dasarnya, Pollen tidak memiliki energi sihir dalam dirinya” Ungkap Aalina membuat semua orang yang mendengarnya disana tercengang. “Aku menduga dia memakai energi pinjaman, bukan dari miliknya, namun dari milik orang lain. Orang yang aku kenal dengan baik. Larion. Dia memiliki elemen energi sihir kegelapan. Elemen yang sangat lemah terhadap elemen cahaya. Aku mengetahui Neville memiliki elemen cahaya itu. Dan tanpa pikir panjang, aku langsung menyuruh Neville menembakkannya”. Namun, dari kejauhan Pollen bergerak menuju kawanan Aalina. Bersama dengan jarum pasir yang mengikutinya dari belakang. “Jika aku harus mari, kalian akan mati bersamaku!” Teriak Pollen dari kejauhan dengan tatapan bengis. Jarum itu memiliki jangkauan yang amat sangat besar dan panjang. Apabila Pollen tertusuk dan berada dalam jangkauan kawanan Aalina. Mereka pasti akan terkena imbasnya juga. “Tidak bisa “ Gumam Aalina dengan kesal.  Namun tiba-tiba, Aalina pergi dengan ukiran di mukanya bersinar dengan terang bercorak merah. Dari punggungnya, muncul sebuah sayap berkilauan, benar-benar mirip seperti peri. Aalina berjalan melayang ke depan. Kepakan sayapnya memiliki percikan-percikan cahaya. Gavin terpukau melihatnya, dia tidak mengira akan melihat hal sekeren ini. Sementara Neville berekspresi takjub terheran-heran. Banyak sekali hal menakjubkan yang ia alami selama di Hutan Izia. “Aalina, apakah kau seorang peri” Tanya Gavin dengan polos Aalina hanya menoleh ke arah Gavin. Sambil membawa busur panah di tangannya. Dia mengedipkan matanya ke arah Gavin. “Ini hanya rahasia kita berdua ya. Tolong jaga baik-baik” muka Aalina yang dipenuhi sinar bertambah cantik dengan sangat berlebih daripada sebelumnya. Membuat Gavin menutup wajahnya dengan tangannya tersipu malu. Namun saat ia terbang melayang, bukannya menghindari jarum pasir itu, Aalina malah menghampiri Pollen. Dengan tatapan tajam, energi sihir menjulang dari kepalanya “Apa kau siap untuk mati?” ucap Pollen tersungut.  Cahaya keluar dari atas. Jarum pasir itu berhenti. Berubah menjadi energi sihir. Lalu tiba-tiba, sinar cahaya dengan sangat deras mengucur dari atas Pollen, melukainya, dia merintih kesakitan dengan parah. Tangannya terbuka lebar-lebar. Tak kuasa menahan rasa sakit. Hingga ia akhirnya terjatuh ke tanah. Gosong, seperti terkena sambaran matahari secara langsung. Gavin dan Neville yang menyaksian itu takjub. Ia tak mengira Aalina bisa mengeluarkan sihir sekuat itu Mereka pun akhirnya turun. Pergi menghampiri Pollen yang terkapar. Sementara Aalina. Merubah wujudnya sama seperti semula dengan mudahnya. “Bagaimana cara merubah semua warga desa menjadi Ghoul Pollen?. Aku masih ada waktu untuk menyembuhkanmu?” tanya Aalina dengan perharian.  “Aku rasa tidak perlu, kau akan mengetahuinya dengan sendiri. Tapi yang jelas, Gemstone ini adalah kuncinya” Pollen mengangkat sebuah gemstone ke atas menggunakan tangannya. Hal itu tentu saja membuat Aalina dan yang lain bingung. “Ini bukan akhir dariku Aalina, aku akan segera kembali” tiba-tiba, wujud Pollen berubah menjadi abu. Sama seperti Ghoul tadi. Namun kata-katanya sedikit ambigu.  “Sebentar, Gemstone? Bukanlah Tetua Drehalna menyuruh para warga yang terjangkit untuk membawa tumpukan gemstone bersama mereka?  Dan bukannya gemstone itu tidak menyembuhkan mereka malah memperparah? Sama seperti para ghoul yang ada disini” Celetuk Gavin membuat Aalina tersadar akan sesuatu. Namun Aalina merasa sedikit tidak yakin dengan isi hatinya. Saat mendengar itu, intuisi Aalina makin menguat.  Tapi kalau memang begitu adanya, Tetua Drehalna menjadi dalang dibalik semua ini. Warga Izia tidak sedang baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN