Chapter 53 : Kekacauan Gua Falkreth

2096 Kata
Mendapat wajah yang baru, berarti mendapat identitas yang baru. Itulah yang diharapkan Pollen. Setelah eksperimen yang ia lakukan bersama Larion berhasil, dia sudah jarang sekali pergi ke gua Falkreth menemui Larion. Dia hanya ke sana mengecek apakah dia masih hidup dalam keadaan baik. Karena dia tahu berada di dalam gua dan terkena radiasi Armanites terlalu lama akan membuat beberapa bagian tubuhnya berubah. Untuk saat ini tidak ada yang terlihat dengan kentara. Larion juga tidak mengeluhkan apapun. Pollen memiliki kehidupan baru sekarang, sebagai salah satu prajurit Hutan Izia. Dengan identitas barunya dan kemampuan bertarung yang lumayan, dia bisa masuk ke jajaran prajurit Izia. Menggunakan nama barunya, Heineer. Saat pertama kali mendaftar. Kaum Izia sebenarnya memerlukan banyak pasukan, untuk menjaga kedaulatannya sendiri. Selama berada di sana, tidak ada yang mencurigai Pollen. Dia mengarang identitas dan masa lalunya dengan rapi beralasan bahwa kalau dirinya adalah Orang Izia yang lama merantau, dan ingin kembali ke dalam hutan mengabdi pada rakyatnya sendiri. Sudah beberapa minggu berlalu semenjak Larion masuk menjadi prajurit Izia, hingga bertemu dengan Urfinn. Dan Urfinn, tidak mengenali Pollen sedikitpun. Mengetahui kalau cucunya menghilang, Tetua Drehalna tidak menaruh rasa curiga sedikit pun. Ia berpikir kalau cucunya itu menjalani masa mudanya, berpetualang ke seluruh penjuru Odessa. Sedikit yang ia tahu kalau dia masih disini bersama mereka. Hingga berbulan-bulan, Pollen merasa tidak puas. Menjadi Prajurit tidak seperti yang ia bayangkan. Bukannya menjadi lebih dikenal oleh orang-orang dan menjadi Populer, selama ia bekerja ia harus menggunakan topeng emas, menutupi wajahnya, tidak dikenali siapapun. Bahkan rekan kerjanya sendiri.  Pollen merasa dilema, apakah memang ritual penggantian wujud itu adalah keinginan terbesar di dalam hidupnya? Hingga akhirnya ia kembali ke Gua Falkreth, bertemu dengan Larion. Sudah lama tidak bertemu, Kondisi Larion semakin parah saat ini, kulitnya pucat, tubuhnya lesu  badannya kurus kering. Pollen sempat bertanya apakah Larion tidak apa-apa. Ia hanya menjawab kalau semua ini belum selesai. Masih ada yang perlu dilakukan. Ia merasa masih ada sesuatu yang kurang. Pollen menjadi khawatir, bila keadaan sebelum-sebelumnya dialah yang menjadi pemurung dan suram, sekarang satu-satunya sahabatnya yang menjadi korban. Dia menceritakan bagaimana keluh kesah dan pergolakan batinnya. Larion menyimak dengan penuh perhatian. Hingga akhirnya, dia menyuruh Pollen untuk merencanakan sesuatu bersama. Sesuatu yang menyangkut nasib hutan Izia dan seisinya. Larion ingin menginvasi hutan Izia. Karena ia merasa mereka sudah berubah terlaku tamak, menjadi kaum yang sangat berbeda dari nilai-nilai budi luhur asli nenek moyang. Entah dari mana Larion mendapatkan opini seperti itu, namun dia benar-benar muak dengan ini semua. Pollen mencoba mendengarkan Larion balik dengan seksama. Ia setuju dengan perkataan sahabatnya itu. Seumur hidupnya, ia selalu berada di bayang-bayang dan ancaman dari kaumnya sendiri. Meskipun dosa yang mereka tuduhkan padanya belum tentu benar-benar terbukti dan bisa dipertanggungjawabkan. Dia sama-sama merasa ketidakadilan seperti yang Larion rasakan. Namun mereka masih belum siap. Ada banyak faktor yang membuat mereka tidak bisa melakukan kudeta begiru saja. Salah satunya yang paling penting saat melakukan tindakan revolusi adalah memiliki sebuah pasukan. Pollen kebingungan, dia merasa tidak mungkin ada seseorang makhluk hidup di desa Izia yang mengerti penderitaan mereka. Dia tidak bisa begitu saja merekrut orang-orang dengan ideologi yang berbeda dengannya untuk memintanya bergabung melawan kaum mereka sendiri. Namun dengan mudah Larion tersenyum terkekeh. Terbahak-bahak hingga menggema ke seluruh gua. Jika memang makhluk hidup tidak bisa mereka gunakan, mungkin makhluk yang mati adalah satu-satunya jalan. Di lain sisi. Urfinn sudah tidak bisa menyimpan rahasia tentang kehilangan prajurit yang ia kirim di Gua Falkreth. Keluarga Prajurit itu terus saja mendesak Urfinn untuk berkata yang sebenarnya. Mereka tidak peduli meskipun itu menyakitkan, asalkan itu memang kebenaran yang pahit. Setidaknya itu membuat mereka berhenti berharap, bisa tidur dengan tenang di malam hari. Tidak terbangun dengan memori-memori dan harapan anggota keluarga mereka yang tanpa kabar. Urfinn bingung, karena sejujurnya dia juga sama-sama tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Urfinn merasa frustasi, didesak terus menerus hingga akhirnya. Dia memanggil Aalina, memintanya untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan. Karena, kemungkinan terburuk yang mereka tidak inginkan sangat besar sudah terjadi. Aalina awalnya ingin berusaha mencari Larion sendiri. Dengan pengetahuannya tentang seluk beluk hutan Izia, membuatnya mudah untuk menemukan Larion. Namun Urfinn menentangnya, berkata bahwa dia tidak boleh beranggapan se naif itu. Semua kemungkinan bisa saja menjadi benar untuk saat ini. Dan Aalina, terlalu berbahaya bila pergi mencari Larion sendirian, Mungkin saja, kakak yang selama ini dia kenal sejak kecil benar-benar menjadi sosok yang berbeda sekarang. Aalina mengumpulkan pasukan. Bersiap untuk pergi mengikuti aba-aba Aalina. Namun mereka tidak boleh bergerak sembarangan, akan menimbulkan banyak huru-hara dan ketidak tertiban dalam hutan Izia bila ketahuan. Menunggu waktu yang tepat, untuk langsung segera dilancarkan. Sementara Larion, juga menunggu saat yang tepat. Mendengar dari Pollen yang masih menjadi prajurit Izia. Dia tahu bahwa kawanan prajurit akan datang ke gua Falkreth menemui dirinya. Konflik sudah tidak bisa dihindari lagi. Salah satu dari mereka pasti akan menemukan kebenaran yang mereka cari. “Aalina, salah satu prajurit telah berada di sana. Dan dia hilang dari jangkauan kita. Posisi terakhirnya adalah di gua Falkreth.” Lapor salah satu prajurit. Ini salah satu kesempatan yang baik dan tepat. Aalina memanggil semua pasukan yang berhasil dikumpulkannya. Tak lupa bersama ayahnya yang memimpin operasi ini. Meskipun Aalina adalah orang yang akan menuntun mereka. “Ayo semuanya, ini saatnya.” Balas Aalina kepada prajurit yang lain. Mereka semua berjalan berbaris dengan rapi. Mengenakan pisau di samping baju kain mereka. Sementara sebuah bilah sabit ditaruh di belakang punggung mereka. Langsung menyerbu gua Falkreth. Aalina dan pasukannya berada di depan gua Falkreth. Nampak sepi dan kosong, seperti tak berpenghuni. “Apa ini benar-benar tempat dia bersembunyi?” tanya Gert kepada Aalina yang ada di depannya. Aalina tidak menjawab, kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di dalam gua. “Aku percaya padamu Aalina. Dan kalian semua, ingat. Misi utama kita adalah menyelamatkan para prajurit dan mencari Larion. Jangan sekali melakukan tindakan-tindakan di luar perintahku” Seru Urfinn kepada semua pasukannya. Dia tidak ingin sesuatu yang berada di luar kehendaknya terjadi di luar kontrol. Hingga akhirnya, mereka memasuki Gua. Urfinn dan pasukannya melihat, banyak sekali batuan berwarna merah gelap ditumpuk dengan cara yang sangat tidak rapi. Mereka juga melihat salah satu meja dengan buku dan tulisan-tulisan aneh diatasnya. Hingga akhirnya sosok pria, mengenakan jubah hitam keluar dari dalam gua itu, membawa obor menyala memperlihatkan sebagian besar kepalanya. “Ayah, Aalina, ehh… Kenapa kalian semua ada disini?” ucap Larion kepada kedua keluarganya itu. Mereka berdua kaget, melihat penampilan Larion yang berubah dengan drastis. Terlihat menyedihkan dan membuat orang yang melihatnya merasa bersimpati padanya. “Larion, kenapa kau disini?” tanya Aalina kepada kakaknya itu sembari mendekatinya “Aku… Sedang melakukan penelitian disini  lihat” Larion memperlihatkan sebongkah Armanites dari tangannya. “Ini adalah Armanites. Batuan yang sangat sakti membuatku bisa melakukan yang tidak mungkin!” jelas Larion kegirangan. Namun, baik Gert, Larion, maupun Urfinn tidak mengerti maksud Larion. Salah satu prajurit berteriak, mereka melihat mayat rekannya berada di pojokan dinding gua. Dengan kondisi yang mengenaskan. Secara refleks, para prajurit langsung mengangkat s*****a mereka. Berjaga-jaga, Larion memiliki tingkat kecurigaan yang sangat besar. “Lars… kenapa ada prajurit Izia disini?” tanya Urfinn sembari ikut mendekati anak sulungnya itu. “Itu adalah bukti pencapaianku ayah!” riba-tiba prajurit yang mati di dinding gua itu bangun. Menyerang prajurit Izia yang lain. Mereka pun panik. Bagaimana orang mati bisa bangun dan mengancam mereka. Tidak hanya satu, banyak mayat prajurit Izia muncul dari sana. Menyerang prajurit-prajurit lain. Tidak ada pilihan, prajurit Izia menyerang balik. “Lihat ayah, mungkin ini sedikit di luar ekspektasiku. Tapi aku bisa membangkitkan ibu kembali dengan ini” ucap Larion penuh dengan keyakinan. Tidak bisa berkata-kata. Mata Urfinn menutup, air mata turun membasahi pipinya yang keras. Menjadi lembut dan berminyak. Ia tidak menyangka, kematian ibunya benar-benar membuatnya menjadi orang yang seperti ini. Buta akan nurani. Ia mengangkat kepalanya. Mencoba memeluk Larion, dan berkata “Kau tidak perlu melakukan ini semua nak. Sudah cukup, hentikan ini semua. Itu bukan salahmu.” Tak bisa berlama-lama Larion langsung melaju mundur menghindari pelukan Urfinn. “Tidak semudah itu ayah. Aku sudah bergerak terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang.” Jubah Larion terangkat, membuka tubuhnya yang penuh luka dan kurus kering. Terkena efek radiasi Armanites. Aalina dan Urfinn jatuh ke tanah, tak kuasa menahan nasib yang diderita keluarganya sendiri. Namun, tiba-tiba tubuh Larion berubah menjadi besar. Tumbuh sisik-sisik ular dari perutnya, hingga lengannya berubah membentuk oto yang sangat kentara. Terlihat menakutkan. Hampir tidak seperti manusia. Sementara prajurit yang lain, masih sibuk melawan pasukan kematian Larion. “Kau hanya bisa membunuhku sekarang ayah” Urfinn mengelap keringat dan air mata di pipinya, sementara Aalina menarik taki busur panahnya dalam-dalam. Konflik sudah tak bisa dihentikan. Larion, bukanlah sosok yang dia kenal sebelumnya. Dia benar-benar berubah. “Baiklah Lars. Jika itu maumu.” Urfinn memanjangkan cakarnya panjang-panjang. Berusaha menyerang Larion hingga melompat. Pertempuran sudah terjadi. Pertempuran sengit terjadi cukup lama. Dan pihak Larion terlihat kalah, banyak dari prajurit kematiannya yang sudah habis. Tersisa tinggal Larion seorang yang menyerang sendirian. “Kau sudah tak memiliki apa-apa nak. Menyerahlah.” Ucap Urfinn memberi Larion kesempatan terakhir. “Apa kau yakin?” Dari tengah-tengah kawanan prajurit Izia. Seorang Prajurit yang memakai helm tertutup wajahnya mengeluarkan sihir pasir. Menyerang sesama kawanannya. Mereka semua tidak bisa mengantisipasi serangan itu. Banyak korban berjatuhan. Dia menciptakan sebuah pusaran pasir, menyerap energi-energi sihir pasukan Izia yang tidak peka terhadap elemen sihir pasir hingga habis membuat mereka kering kerontang. Seperti pohon yang lama tak diguyur hujan. Dia bisa melakukan itu dengan sangat cepat, menjebak mereka dalam satu tempat dengan are pusaran yang sangat luas. Rak bisa berkutik, ataupun kabur kemana-mana. Prajurit yang berkhianat itu adalah Pollen yang menyelinap bersama mereka. “Apa yang terjadi?” kata Urfinn kaget melihat prajuritnya yang tinggal berjumlah separuh. Namun tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti. Mereka semua bingung, tak karuan. Prajurit-prajurit yang mati terkena serangan Pollen itu tiba-tiba bangun. Bergerak dengan sangat cepat dan kulat. Sama seperti Monster yang mereka serang tadi. Urfinn tidak mengira Larion bisa melakukan hal secepat itu. Dia mengira sesuatu yang sangat buruk akan datang kepada dia dan pasukan yang Aalina bawa. Keadaan dengan cepat berbalik, prajurit yang bangkit dari kematian itu menyerang prajurit-prajurit Izia yang tersisa. Mungkin secara kemampuan prajurit Izia masih bisa melawan prajurit kematian. Namun mereka kalah jumlah, kecepatan dan ketangkasan mereka jauh melebihi prajurit Izia. Mereka hanya bisa menghindar dan terpojok oleh serangan Prajurit itu. Sementara Larion, dengan wujud mengerikannya masih bertarung dengan Urfinn susah payah. Sayatan kulit di kedua belah pihak terlihat dengan kentara. Membuat mereka benar-benar bertarung dengan serius. “Hentikan ini, Larion! Apa yang kau mau!” Seru Urfinn kesal. “Aku tidak ingin apa-apa ayah. Aku hanya ingin kalian semua lenyap di sini.” Balas Larion dengan meringis. “Baiklah kalau begitu yang kau mau nak”. Urfinn melepas armornya, membuat Aalina bingung apa yang sedang dilakukan ayahnya itu. Urfinn hanya menjawab dengan tersenyum. Ia memerintahkan semua orang di sana untuk kabur dari gua. Meninggalkannya sendirian. Aalina tentu saja tidak bisa menerima ucapan ayahnya itu begitu saja, ia meraung-raung meminta ayahnya itu membatalkan perintahnya. Namun terlambat, Gert menarik Aalina keluar dan kabur dari gua bersama prajurit lainnya. Sementara dengan cakar besi, Urfinn menghadang para Prajurit kematian yang menghalau pasukannya. Larion yang melihat itu tersenyum, apakah mungkin Urfinn sudah putus asa untuk mengalahkannya. “Tidak nak, ini bukan demi Aalina, ibumu, atau pasukan-pasukan itu. Ini tentang kita semua.” Ucap Urfinn sembari cahaya keluar dari tubuhnya. Larion tidak tahu apa itu, ia langsung saja melanjutkan serangannya melawan Urfinn. Suara keras dari dalam gua terdengar berisik. Batu-batuan Gua bergelinjang menggetar dengan sangat heboh. Aalina tak kuasa mendengar apa yang terjadi, Gert menahannya untuk masuk ke dalam gua melihat apa yang terjadi. Karena tentu saja sangatlah berbahaya. Dan tak lama. Cahayq keluar dengan sangat berkilau dari sela-sela gua. Membuatnya tetap silau saat dilihat langsung oleh mata. Aalina mulai menangis berderu-deru, Gua itu meledak, menghancurkan sisi masuknya. Menjebak Larion dan Urfinn secara bersamaan menahan mereka. Gert pun langsung menarik pasukan dan Aalina kembali mundur, karena mereka berada di titik yang cukup berbahaya. Mudah untuk terkena erosi. Mereka pun, pulang dengan kemenangan yang tak mereka kira. Beberapa hari berlalu, prajurit dikirim ke gua Falkreth lagi, memeriksa apa saja yang tersisa. Di sana mereka menemukan mayat para prajurit Izia yang masih normal, mayat yang berubah wujud, Urfinn yang terbakar akibat sihir pamungkas yang ia lakukan. Mereka membawa mayat Urfinn ke dalam desa memberinya penghormatan yang semestinya ia dapat. Dan terakhir adalah Larion, terbaring di sana tak berdaya. Mereka pun memutuskan untuk menyegel gua itu, dari berbagai akses, mengurung Larion sendirian tanpa diberi kesempatan untuk bertahan hidup. Namun sedikit yang mereka tahu, itu adalah rencana Larion selama ini
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN