Audya lupa bahwa hari ini ada jadwal untuk mengajar Naura. Harus bagaimana, padahal pulang kerja dirinya harus menggantikan sang ibu berjaga. Ingin izin, tidak enak. Baru beberapa kali pertemuan masa meminta izin. Dan, Audya juga membutuhkan gaji yang dihasilkan. Satu-satunya harapan dia saat ini. Tidak apa deh ke rumah sakit agak telat. Paling dua jam lebih lama dari kemarin. Menaiki angkutan umum menuju arah yang berlawanan dengan rumahnya. Pikirannya memang tidak berada di sini. Melainkan pada rumah sakit. Bagaimana keadaan ayahnya sekarang? Apa sudah mendingan? Atau malah sudah pulang? Ingin menghubungi, sayangnya di antara ayah dan ibunya tidak ada yang memiliki ponsel. Ah, sepertinya Audya harus membelikan satu ponsel untuk mereka. Ponsel jadul yang tentunya lebih mudah digunakan. Ibunya yang hanya lulusan sekolah menengah pertama tidak bisa menhoperasikan benda canggih macam ponsel. Sedang ayahnya, tahu sendiri kan. Geraknya sekarang serba terbatas.
Berjalan cepat menuju rumah besar yang menjadi tujuannya. Berulang kali menyugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang perlu Audya lakukan sekarang hanya menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Tersenyum tipis pada security rumah yang bertugas. Membungkuk menyapa dan memasuki rumah. Menarik nafas dan menarik bibirnya untuk tersenyum. Saat mengajar, semua masalah yang datang harus sementara di lupakan. Huh. Setidaknya tidak mencampurkan urusan pribadi ke dalamnya. Profesional.
"Yey kakak sudah datang. Dari tadi Nau sudah tunggu kakak tahu," ucap Naura semangat. Sampai berdiri dan mendekati Audya. Ah, untung saja Audya datang. Jika tidak, sudah pasti Naura akan kecewa.
Tersenyum dan mengusap rambut hitam milik bocah itu. "Iya dong. Ayo, sekarang mau belajar di mana?" tanya Audya sambil menjongkokkan badannya.
"Kata oma, di belakang saja kak. Sebentar lagi soalnya teman papa mau pada datang." Audya mengangguk. Berjalan di belakang Audya menuju taman belakang dan mendudukkan diri di gazebo yang ada. Selama langkah menuju belakang rumah, Audya tidak berhenti berdecap kagum. Rumah ini benar-benar luar biasa. Di setiap sisi, terasa sekali kemewahannya. Barang yang ada di dalamnya juga luar biasa memanjakan mata. Bolehkah Audya berharap suatu hari nanti dapat memiliki satu yang seperti ini? Atau mimpinya terlalu tinggi dan tidak masuk akal? Tapi, namanya mimpi tidak masalah kan. Mau setinggi apa pun.
Lebih enak di belakang. Bisa merasakan angin sore yang berembus. Asisten rumah tangga datang sambil membawakan makanan dan minuman. Tidak lama, baby sitter Naura juga datang sambil tangannya menenteng peralatan belajar. Hidup Naura, sungguh seperti tuan putri.
"Nah, karena sudah. Ayo kita berdoa dulu. Naura yang pimpin doa." Sesuai dengan keinginan nenek dari Naura, perlahan namun pasti Audya akan menanamkan sedikit demi sedikit ilmu agama pada Naura. Ya sama-sama belajar lah. Masalahnya Audya juga tidak sealim itu.
"Kakak, kalau Nau mau belajar hitung boleh?" Wajah gadis kecil itu memohon. Ah, rasanya Audya ingin mengarahkan tangannya pada pipi itu. Mencubit saking gemasnya. Namun urung karena takut kalau perbuatannya membuat Naura tidak nyaman. Bagaimanapun juga kan Audya di sini bekerja. Sebisa mungkin menjaga kenyamanan Naura yang tidak lain adalah bosnya.
Audya memulai menuliskan angka-angka pada papan tulis yang tadi di bawa baby sitter Naura. "Nah, sekarang penjumlahan. Naura kan kemarin sudah belajar menghitung, sekarang mari kita menjumlahkannya ya. Coba ini angka berapa?" Menunjuk angka berbentuk seperti bebek alias dua. Naura benar-benar belum mengerti. Entah apa yang gurunya ajarkan di sekolah. Sampai angka saja masih belum dapat mengerti. Ah, guru memang seperti itu nasibnya. Jika ada siswa yang tidak tahu apa-apa yang disalahkan guru. Sedangkan jika ada siswa yang sangat berprestasi. Memenangkan perlombaan ini dan itu, nama guru tidak pernah di bawa. Karena pasti yang ditanyakan adalah orang tua.
"Du...a. Iya Naura pintar. Coba ingat lagi ya. Kalau satu yang lurus, kaya huruf i. Kalau yang kaya bebek itu angka dua." Menuliskan lagi angka dari satu sampai sepuluh.
"Iya, Nau ingat. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Benar kan kakak?" tanyanya semangat. Kepala kecilnya bisa juga mengingat deretan angka yang sudah dihafalkan dari kemarin.
Audya bertepuk tangan. "Iya benar. Naura pintar sekali," puji Audya. Biasanya, anak kecil itu paling suka jika dipuji. Akan merasa hebat dan selanjutnya berusaha semaksimal mungkin agar dapat menjawab dan nantinya mendapat pujian lagi.
Naura bersorak senang. Akhirnya bisa juga. "Nau pintar kak?" tanyanya dengan senyum lebar. Audya mengangguk dan mengelus puncak kepala Naura. Semua anak itu pintar.
"Naura itu pintar. Biar tambah pintar, harus belajar dengan giat. Jadi nanti bisa jadi pintar di tambah dengan banget. Pintar banget." Melanjutkan kembali belajarnya. Mulai mengajarkan penjumlahan sederhana antara dua angka. Audya tidak mau terburu. Takutnya malah membuat bocah kecil itu bingung.
Dua jam berlalu. Dua jam yang rasanya berjam-jam. Memang ya, waktu jika ditunggu berjalan dengan sangat lambat. Jika diharapkan tidak cepat berlalu malah sangat cepat menghilang. Audya memberesi barang bawaannya dan juga alat tulis yang digunakan tadi. Bersiap untuk pulang. "Nah, sekarang belajarnya sudah selesai. Ayo kita baca doa setelah belajar. Naura masih ingat?"
Kepala Naura menggeleng. "Enggak kak. Naura lupa," ringisnya.
Audya tersenyum. "Ayo, kita doa bareng-bareng ya."
"Kakak pulang dulu ya." Audya melambaikan tangannya. Keluar dari rumah mendapati beberapa mobil yang terparkir di depan rumah yang halamannya mampu menampung hampir sepuluh mobil.
"Mungkin teman-teman papanya Naura," gumam audya. Melanjutkan langkah dan berjalan menuju halte. Lumayan jauh. Tidak apa lah. Hari sudah malam. Tadi Audya sempat menumpang salat maghrib terlebih dahulu. Dengan Naura yang menjadi imam di belakangnya. Audya, sekarang dalam proses memperbaiki diri. Mulai tahu diri. Setidaknya jika dia miskin harta, jangan sampai miskin akhlak juga. Masih ada yang menjadi pegangan hidup.
Sampai di rumah sakit, langsung menuju ruang di mana ayahnya dirawat. Meringis merasa bersalah saat mendapati ibunya masih duduk sambil menahan kantuk di sana. Jahat sekali Audya ini, membiarkan ibunya menunggu sampai selama ini. Mendekat dan menepuk punggung ibunya pelan. Membangunkannya perlahan. "Ibu, Audya sudah datang. Ibu pulang dulu ya," bisiknya pelan. Mata Dina mengerjap. Menyipit menyesuaikan dengan cahaya terang di sekitarnya.
"Ah kamu sudah pulang kak. Kalau kamu capek, kamu saja yang pulang. Biar malam ini ibu yang jaga. Lagi pula, besok ayah sudah boleh pulang kok."
Audya menggeleng dan memaksa ibunya untuk berdiri. Memaksa dengan pelan. Mendorongnya agar keluar dari ruang ini. "Sudah. Ibu saja yang pulang. Gantian. Audya juga sudah pesankan ibu ojek online. Ayo Audya antar." Berjalan mendahului ibunya. Mengecek apa pengendara yang dimaksud sudah tiba atau belum. Audya tidak akan tega membiarkan ibunya malam-malam menggunakan angkutan. Memilih mengeluarkan uang sekitar tiga kali lipat untuk memesankan ibunya ojek. Tidak masalah. Audya percaya, rezeki itu pasti akan ada lagi.
Kembali memasuki ruang rawat. Untung saja sebelum pulang kantor sempat mengganti pakaian dan sedikit membersihkan tubuh. Jadi tidak selengket kemarin badannya. Mendudukkan diri di kursi di samping brankar. Menatap sendu pada tubuh ayahnya yang terbaring lemah. Dulu, ayahnya tidak setua ini. Tidak sekurus ini. Rambutnya juga masih hitam. Tidak seperti sekarang yang hampir keseluruhannya berwarna putih. Audya merasa, waktu terlalu cepat berlalu. Sampai membuat ayahnya dengan kondisi seperti sekarang. Di mana kakaknya yang secara tidak langsung menjadi penyebab stroke yang ayahnya derita? Ke mana dia? Apa tidak pernah berpikir bahwa perbuatannya sudah menimbulkan efek luar biasa? Dan sekarang ayahnya di rawat inap karena sempat ribut dengan adiknya. Memang ya, kenapa mereka berdua itu tidak memiliki otak sih? Audya tidak habis pikir. Mereka pergi dengan seenak hati setelah berbuat kekacauan.
"Ayah, waktu cepat banget ya berlalunya. Aku masih ingat. Dulu pernah makan es krim diam-diam saat aku sakit. Aku yang merengek, akhirnya bisa mendapatkan keinginannya walau harus sembunyi. Tidak membiarkan ibu tahu karena pasti akan marah. Huh, sampai sekarang ibu tidak tahu loh Yah." Audya tersenyum tipis mengingat kenangannya bertahun silam. Saat itu dirinya hanyalah bocah manja yang keinginannya harus terpenuhi. Makan es krim saat tengah batuk dan pilek. Jelas saja ibunya melarang dengan alasan takut jika makin parah. Ayahnya yang tidak tega, membawa Audya ke mini market dan membelikan satu es krim. Di makan di sana. Rahasia kecil yang sampai saat ini masih tersimpan dengan baik.
"Ayah, walau memang kita enggak sedekat dulu, walau aku enggak pernah mengatakannya pada ayah secara langsung, yang perlu ayah tahu. Aku sayang banget sama ayah. Aku, aku ikut sakit kalau lihat ayah seperti ini. Aku mau ayah sembuh lagi. Kembali lagi seperti dulu. Jangan pikirkan mereka yang enggak peduli sama ayah. Jika pilihan mereka adalah pergi, biarkan saja. Ayah, cepat sembuh ya. Aku sayang sama ayah," gumam Audya. Sejak dirinya beranjak remaja, hubungannya dengan sang ayah makin merenggang. Audya juga tidak tahu alasannya. Padahal sejak kecil, Audya malah cenderung lebih dekat dengan ayahnya.
Mendudukkan diri di atas tikar. Perlahan merebahkan dirinya. Mengistirahatkan tubuh yang sudah seharian ini dipekerjakan. "Selamat malam ayah," gumam Audya. Mulai menjemput mimpinya. Tidak tahu jika yang sedari tadi diajaknya bicara membuka mata. Ayahnya membuka mata dan membiarkan air matanya menetes di sudut mata. Mendengar semua apa yang dibicarakan anak tengahnya. Memilih pura-pura tidur agar Audya leluasa melanjutkan ucapannya.
Tidur meringkuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk kulitnya. Malam ini lebih dingin dari sebelumnya. Memeluk tubuhnya erat berharap dapat sedikit mengurangi dingin yang datang.
***
Setelah semalam kedinginan dan sulit untuk tidur lagi. Audya kesiangan. Ketiduran saat hampir pagi dan bangun saat matahari sudah keluar. Tergesa meninggalkan rumah sakit. Pulang terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Baru kemudian pergi lagi untuk bekerja.
Audya tidak sempat memoles wajahnya. Ya walau hanya dengan bedak dan lipstick. Sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukannya atau akan terlambat saat tiba. Makanan yang dimasakkan ibunya juga dipindahkan ke tempat makan. Akan makan di kantor saja. Bernafas lega begitu bangunan kantor sudah terlihat dari jendela angkutan umum yang dinaikinya.
"Halte depan Bang," ucapnya. Terburu turun saat sudah berhenti.
Audya telat sepuluh menit. Berjalan cepat juga percuma. Mendudukkan diri di kubikelnya. Siap-siap saja telinga ini mendengar cibiran dari karyawan lain. Ada saja ya yang membuat dirinya menjadi bahan pembicaraan.
"Eh, si anak emas baru datang," sindir perempuan yang kubikelnya tepat di samping kanan Audya. Tidak terlalu keras karena mungkin saja takut. Masih ada mbak Mayang di sini.
Benar saja kan. Audya hanya tersenyum membalasnya. Walau mengetahui bahwa tidak bisa terlihat sih. Kan antara satu kubikel dengan kubikel lainnya diberi sekat yang lumayan tinggi. Jika duduk, tidak akan bisa terlihat. Kalau berdiri sih ya masih bisa. Kali ini, Audya memang yang salah. Walau hanya sepuluh menit, tetap saja terlambat. Tidak ada alasan untuk membela diri. Salah ya tetap salah. Sadar diri saja Audya.
Istirahat, Audya menuju dapur sambil membawa kotak makannya. Berencana makan di sana. Semoga saja tidak ada gangguan nanti. Memindahkan satu sendok demi satu sendok nasi beserta lauk ke dalam mulut. Padahal bisa makan di kantin. Tapi Audya memilih memakan masakan yang ibunya buat. Menghargai ibunya yang sudah menyempatkan memasak walau sebenarnya lelah.
"Mbak Audya, dicari mbak Mayang," ucap salah satu office boy memberi tahu. Audya mengangguk dan menghabiskan makannya dengan segera. Perutnya sudah lapar sekali. Jika dibiarkan lebih lama kosong mungkin akan pingsan.
Selesai dengan makannya, menuju kubikel mbak Mayang. Memang masih satu ruang dengan anak buahnya. "Maaf mbak. Mbak Mayang cari saya?" tanya Audya langsung.
Mayang mengangguk. "Iya. Ini, mbak cuman mau ngasih ini. Hak kamu satu bulan bekerja di kantor." Mengulurkan amplop berwarna coklat di hadapan Audya.
Audya mengernyit. "Maksudnya Mbak?" Apa ini seperti apa yang ada di pikiran Audya? Amplop itu berisi uang hasil magangnya satu bulan? Iya?
"Ini apa yah. Bukan gaji sih. Tapi lebih ke apa yah. Ya, anggap saja gaji deh. Ini, diterima ya."
"Beneran mbak?" tanya Audya ragu. Jadi, dia mendapat gaji juga? Tidak dapat dipungkiri jika dirinya bahagia. Audya sedang membutuhkan uang. Benar.
Menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih ya mbak. Oh iya mbak, saya boleh izin sebentar enggak ya?" cicitnya pelan. Hari ini kan ayahnya pulang. Audya harus datang untuk membayarkan biaya perawatannya selama dua hari.
"Sebenarnya kamu kenapa? Tadi pagi juga terlambat kan."
Audya meringis saat tahu jika Mayang juga mengetahuinya yang terlambat datang.
"Itu mbak. Sebenarnya, semalam itu saya jaga di rumah sakit. Ayah lagi sakit jadi gantian buat jaga ayah. Saya kebagian sore sampai pagi mbak. Terus ini, mau bayar biaya rumah sakit ayah dulu. Soalnya hari ini sudah boleh pulang." Mau tidak mau, Audya menceritakannya. Padahal sebenarnya tidak ingin ada yang mengetahui. Apalagi Mayang. Tidak mau dikira memanfaatkan.
"Kenapa tidak bilang saja sama mbak? Kamu pasti capek semalaman di rumah sakit. Kamu bisa izin saja Audya."
"Saya enggak enak lah mbak. Kalau begitu, saya izin sebentar ya mbak."
Belum benar pergi, suara Mayang menghentikannya. "Saya antar," ucapnya.
"Ada apa ini?"