6. Meredam

1365 Kata
Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Zulla membuka kotak P3K milik dokter yang sudah menolong serta mengobati lukanya waktu di rumah sakit ketika dulu. Sekarang, dia tidak lagi ke rumah sakit karena tugas sekolahnya yang semakin banyak dan kegiatan ekstrakurikuler semakin padat. Demi mendapatkan nilai bagus, Zulla tidak bisa meninggalkan ekstrakurikuler begitu saja seperti dulu. Dia sudah mendapatkan peringatan dari gugu pembimbingnya agar tidak meninggalkan ekstrakurikuler begitu saja. Kalau Zulla mengulangi kesalahan lagi, ancamannya walinya akan dipanggil ke sekolah. Dan tentu saja Zulla tidak mau kalau Erika sampai tahu. Di tangan gadis remaja itu ada sesuatu yang membuatnya penasaran sekaligus berpikir. Setiap Zulla membuka kotak itu, pasti tujuannya hanya untuk melihat sesuatu tersebut. "Apa ini sangat berharga?" Zulla jadi bermonolog sendiri seraya menatap ke arah sesuatu yang dia pegang. Beberapa kali Zulla membolak-balik sesuatu tersebut. Mencoba memikirkan arti sesuatu itu untuk sang dokter. "Ah... Pasti tidak penting, soalnya ditaruh di kotak P3K. Kalau ini berharga, pasti disimpan di tempat yang aman. Bukan sembarangan begini." pikir Zulla. Meski sebenarnya Zulla berpikir demikian, dalam hatinya masih bertanya-tanya tentang kebenaran yang tidak akan pernah dia dapatkan selain bertanya langsung kepada sang pemilik barang tersebut. "Baiklah, kalau begitu gue bakal menyimpan kotak P3K milik dokter itu sekaligus benda yang membuat gue terus bertanya-tanya ini." desahnya pelan, lalu dia masukkan ke dalam salah satu laci yang ada di meja kamarnya. Sesuatu di atas meja belajar Zulla kini berganti menjadi buku-buku pelajaran yang akan dia pelajari malam ini. Besok di kelas Zulla ada ulangan, jadi sebisa mungkin gadis manis itu harus belajar dan mendapatkan nilai terbaik. Meski selama ini, Zulla sering kali unggul dalam semua pelajaran. "Ayah... Aku janji, aku akan menjadi anak baik. Aku tidak akan mendapatkan nilai jelek sekali pun." tekadnya penuh antusias sebelum mulai membuka buku paket setebal dua jari tersebut. Padahal tanpa Zulla sadari, seseorang yang sangat dia rindukan sedari lama sudah berada di dekatnya sejak beberapa hari lalu. Hanya saja, Zulla tidak tahu menahu tentang Marsel di mana. Lagi pula, Jakarta luas. Mana bisa dia menghabiskan waktunya hanya untuk mencari Marsel setelah tanpa adanya petunjuk yang jelas.   ***   "Lo sudah belajar?" Vanko mendekatkan kepalanya lebih dekat ke wajah Zulla, sampai gadis remaja itu sedikit bingung dan menjauhkan sedikit badannya dari Vanko. "Sudah, kenapa?" tanya Zulla balik. Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan dari Zulla barusan, Vanko langsung duduk tegap seperti semula seraya menggelengkan kepalanya. Tangannya pun masih terus memainkan bolpoin yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya seperti seorang drummer yang sedang memainkan stick drumnya secara lihai. "Enggak, cuma tanya saja. Buat jaga-jaga, kalau gue tidak bisa ‘kan bisa nyontek ke lo." Cengir Vanko yang membuat Zulla kesal. "Gue enggak akan memberikan contekan ke lo." ancamnya tak main-main. Bisa Zulla lihat, kepala Vanko mengangguk beberapa kali dengan gaya santainya. Seolah semua tidak jadi masalah bagi Vanko meski Zulla menolak apa yang dia katakan tadi kepada Zulla. Tentunya, hal ini membuat sedikit merasa aneh. Kenapa lelaki di sebelahnya itu bisa berubah semudah itu. Padahal tadi Zulla melihat keseriusan di wajah Vanko kalau lelaki sangat ingin mendapakan contekan darinya walau hanya satu jawaban. "Kalau begitu, gue akan berusaha keras untuk bisa mendapatkan nilai bagus. Kalau bisa, gue akan mengalahkan nilai lo di kelas ini." balasnya penuh semangat 45. "Oke, kalau nanti nilai gue lebih bagus dari lo. Wajib hukumnya lo traktir gue martabak manis." raut wajah Zulla sudah tidak terbaca bagi Vanko sekarang. Tak lagi berkata-kata, tangan Vanko langsung terulur mengarah ke Zulla. Membuat gadis itu menjabat tangannya. Mereka akan membuat kesepakatan di sela-sela keributan kelas yang mengeluhkan tentang ulangan. "Kalau nilai gue lebih bagus dari nilai lo, gue mau ditraktir es doger." Wajah Vanko tampak berbinar-binar ketika mengatakan es doger. "Es doger doang? Kecil buat gue." kekeh Zulla pelan seraya menjentikkan kuku jarinya di bagian kelingking yang belum kena razia guru BP. "Deal..." lanjutnya sembari menganggukkan kepalanya. "Deal..." Vanko ikut menyahut. Jabatan tangan mereka sudah terlepas. Zulla kembali membuka buku paketnya agar tidak lupa apa saja yang sudah dia pelajari semalam. Sedangkan Vanko sendiri, dia lebih asik menggambar di sampul buku tulisnya bagian dalam. Hal yang suka dilakukan oleh murid laki-laki seperti dirinya. Tak berselang lama, bel masuk sudah berbunyi. Mereka siap-siap dari segalanya, kebetulan ulangan ada di jam pertama. Tentunya, hal itu akan membuat para murid semakin waspada dan deg-degan, tanpa terkecuali Zulla dan Vanko. Terlebih lagi, kelas mereka selalu mendapatkan jadwal pertama untuk ulangan, jadi tidak ada bocoran dari kelas lain. Yang ada, kelas lain yang meminta bocoran kepada kelasnya setiap kali ada ulangan.   ***   "Wah... Kalian yang taruhan tapi gue yang deg-degan. Kira-kira gue ikutan ditraktir apa enggak nih?" kedua mata Becca sudah berkedip berulang kali memandang Zulla dan Vanko yang ada di sisi kanan dan kirinya. Ketiga remaja itu sedang berjalan di lorong sekolah menuju parkiran. Tempat di mana para sopir keluarga mereka menjemput. Ketiganya sama-sama keturunan dari garis orang berada. Jadi tak heran kalau selalu diantar-jemput setiap harinya. "Traktir enggak, ya?" Zulla malah saling pandang dengan Vanko yang juga balas memandangnya. Becca keluar dari barisan, membiarkan Zulla dan Vanko berjalan beriringan. Kali ini Becca ganti berjalan mundur sambil memandang kedua teman baiknya. Walau Vanko sendiri lebih dekat dengan Zulla ketimbang dengan Becca. "Traktir dong, enggak mahal kok. Gue cuma pengen burger muehehe..." cengirnya, kedua jari tangannya sudah terangkat ke atas membentuk huruf V. "Huu... Enak aja lo." balas Zulla dan Vanko bersamaan. "Piss..." cengirnya lagi dan langsung membalikkan badan, tak lagi berjalan mundur tapi Becca masih berjalan di depan Zulla dan Vanko. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka bertiga. Semuanya diam dan bergelut dengan pikiran masing-masing. Bruk! "Ups... Sorry, gue memang sengaja." Sherly membekap mulutnya. Bola mata gadis berambut panjang yang berdiri di samping Zulla itu memutar diiringi senyuman meremehkan. Mendengar ada suara Sherly, Becca segera membalikkan badan dan melihat apa yang terjadi. Teman Zulla sejak SD itu kaget saat melihat Vanko sedang membantu Zulla berdiri. Perlahan, Becca mendekati Zulla dan Vanko. "Mata lo minus ya?! Atau udah tidak berfungsi?!" sentak Vanko tidak takut, dia berhasil membantu Zulla berdiri. Di wajah Sherly masih tercetak jelas senyuman sinis menatap Zulla bersama kedua temannya. Kedua tangannya sudah menyilang di depan d**a. "Gue sengaja! Biar anak tidak punya orang tua ini sadar diri, dia tidak pantas di sini!" sentak Sherly balik. Beberapa murid lain hanya melirik sekilas ke arah geng Sherly dan Zulla tanpa ada minat membantu atau ikut campur. Sebagian ada yang kasihan kepada Zulla karena terus diganggu Sherly dari SD. Sebagiannya lagi ada yang suka dengan tindakan Sherly. "Jaga ya omongan lo! Gue punya orang tua!" Semuanya kaget sendiri mendengar sentakan Zulla barusan. Melihat Zulla membalas kata-kata Sherly itu sudah hal biasa, tapi kalau membentak sekeras ini baru mereka lihat. Biasanya pun kalau membentak tidak akan sekencang ini. Mungkin karena Zulla sudah terlalu muak melihat kelakuan Sherly. Bahkan Sherly sendiri juga kaget barusan. Tapi sebisa mungkin dia biasa saja. Putri sulung Marsel itu langsung berlari dari sana menuju mobil yang selalu dipakai Pak Mus untuk mengantar jemputnya setiap hari. Ternyata sudah ada Yudha yang menunggunya. Gue tidak boleh terlihat marah atau sedih di depan Yudha. Bisa-bisa, nanti dia banyak tanya. Gue harus ceria seperti biasa. Batin Zulla. Walau berat harus memasang wajah palsu, tapi sebisa mungkin Zulla berusaha melakukannya. Ini semua Zulla lakukan agar Yudha tidak bersedih. "Dari mana saja sih, Kak? Lama banget." Yudha sudah menggerutu saat melihat kakaknya datang. Senyuman manis selalu Zulla berikan kepada adik tercintanya. Bersikap tidak terjadi apa-apa. Untung saja, tadi Zulla sudah sempat membersihkan roknya setelah terjatuh. "Sudah, ayo pulang. Oma pasti sudah menunggu." ajaknya sambil membukakan pintu bagian tengah agar adiknya bisa masuk lebih dulu. Mobil yang dikendarai Pak Mus sudah meluncur menuju kediaman Fabiano. Lelaki paruh baya itu ikut senang saat mendengar suara tawa dari kedua bocah yang dia antar-jemput setiap hari. Antara Zulla dan Yudha sendiri, mereka berdua saling bercerita apa saja yang menurut mereka lucu dan menyenangkan saat di sekolah. Zulla bercerita bahwa tadi ada temannya yang tidak mengerjakan tugas, lalu dihukum oleh guru berdiri di depan tapi dia malah mengantuk lalu terjatuh. Hal itu menimbulkan tawa seisi kelas karena dianggap hal lucu. Berbeda dengan Zulla yang menceritakan tentang taruhannya dengan Vanko. Mendengarnya pun, Yudha tampak antusias sambil menyahuti apa saja yang dikatakan oleh sang kakak. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN