Dari pantulan cermin kamar, gadis kecil yang sudah beranjak menjadi gadis remaja itu kini sedang memandangi dirinya sedang memakai seragam putih biru khas anak SMP. Ini hari pertamanya masuk sekolah usai MOS yang dilaksanakan seminggu lalu.
Berulang kali Zulla menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri, memastikan kalau penampilannya sudah rapi. Zulla masih bersekolah di sekolahan swasta yang satu yayasan dengan sekolah SD-nya. Jadi tempat yang dituju masih sama seperti hari-hari kemarin.
Ayah... Aku sudah besar. Ujarnya lirih dalam hati.
Gadis ini merindukan Marsel, sosok ayah yang selalu hangat padanya. Sehari tidak melihat Marsel saja, rasanya Zulla sangat rindu. Apalagi ini sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Selama ini tidak ada kabar sama sekali dari Marsel maupun Alexa.
Bunda ke mana? Tanya Zulla lagi masih dalam hati.
Tiga kali masuk sekolah di hari pertama, Zulla tidak merasakan adanya seorang Ibu. Saat TK-SD, Airin sudah meninggal. Dan saat masuk SMP, tidak ada Alexa di sisinya. Lebih parahnya lagi, Marsel juga tidak ada. Hanya ada Erika di samping Zulla. Setidaknya masa TK-SD, Zulla masih sedikit beruntung karena Marsel ada bersamanya. Ikut mengantarnya ke sekolahan saat dia memakai seragam baru. Tapi sekarang, Marsel pun tidak ada juga.
Dada Zulla kembali naik, mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk ke sekian kali. Sudah dari beberapa hari lalu Zulla memantapkan hati agar tidak terlihat sedih. Apalagi di depan Yudha. Gadis remaja ini tidak mau terlihat lemah di depan adik laki-lakinya, walau sebenarnya memang dia lemah.
"Zulla kuat! Zulla bukan orang lemah! Zulla anak pintar! Tidak boleh sedih!"
Ini yang selalu dilakukan Zulla setiap kali dia merasa lemah seperti barusan. Sebagai anak pertama, Zulla ingin terlihat baik-baik saja. Karena dialah tempat bertumpu adiknya. Zulla tidak mau Yudha melihatnya dalam kondisi terpuruk meski dia sedang mengalaminya.
Jemari lentik itu meraih tas ransel sekolah yang ada di atas ranjang. Itu adalah hadiah dari Rafli saat Zulla dinyatakan lulus dengan nilai terbaik. Benar, selama ini Rafli masih sangat perhatian pada Zulla. Bahkan Karin juga tidak cemburu melihat suaminya memberi perhatian lebih untuk kedua keponakan Rafli.
"Kak Zulla...! Ayo cepat sarapan, nanti keburu telat!" teriakan Yudha menggema di lantai bawah, terdengar jelas sampai ke lantai dua.
"Sebentar!" sahut gadis itu sambil berjalan menuju arah tangga.
Sebelum menuruni tangga penghubung ke lantai dasar, kepala Zulla menoleh sebentar ke arah pintu kamar Marsel. Pintu itu jarang terbuka, selain saat asisten rumah tangga membersihkan debu yang ada di dalam. Tidak ada suara lagi dari dalam. Tidak ada Zulla yang bercanda dengan Marsel dan Alexa di dalam sana bersama Yudha. Terasa begitu sepi.
"Kak Zulla...!" suara anak kelas 4 SD dari arah meja makan sana kembali terdengar memanggil sang kakak dengan nada sedikit kesal.
"Iya! Ini mau turun!" Zulla kembali menyahut agar Yudha tidak ngambek padanya.
Tak ingin membuat adiknya kembali berteriak, Zulla segera menuruni anak tangga kediaman Fabiano secara cepat. Dilihatnya ada sang oma dan Yudha di meja makan.
"Yang mau jadi anak SMP, lama banget dandanya." goda Erika.
"Iya dong, Oma. ‘Kan harus cantik." cengirnya.
Palsu, ini sebuah senyuman palsu. Suasana hati Zulla tidak sebahagia ini, yang ada malah kebalikannya. Semua yang terlihat hanyalah topeng belaka, bukan kenyataan. Dia menginginkan Marsel ada di sampingnya serta ikut mengantarnya ke sekolah di hari pertama. Agar tidak ada lagi teman-temannya yang meledek kalau dia tidak memiliki Ayah. Zulla merindukan Marsel, bagaimana rupa Ayahnya itu sekarang.
Apa Ayah akan selamanya tidak pernah pulang? Hati Zulla kembali bertanya, andai Marsel bisa mendengar pertanyaannya sekarang.
"Oma sudah masak makanan kesukaan kamu, sarapan yang banyak ya." Erika menaruh beberapa sendok cumi-cumi cabai hijau di piring Zulla.
Inilah yang membuat Alexa bisa menjadi ibunya, karena makanan kesukaan Zulla sendiri. Dulu sewaktu kecil, Erika setiap hari memasak cumi-cumi cabai hijau agar Zulla mau makan. Walau rasanya pedas karena diberi cabai, Zulla sangat menyukainya. Tentunya ini selain martabak manis, karena itu juga makanan kesukaan Zulla sedari kecil.
"Terima kasih, Oma." agar tidak membuat Erika khawatir, Zulla makan seperti biasa seolah tidak ada apa-apa.
Beberapa kali Erika melihat kedua cucunya yang makan sangat lahap. Dia sedih, sekaligus senang dalam waktu bersamaan. Kenapa Marsel bisa setega ini kepada kedua buah hatinya, meninggalkan mereka cukup lama dan tak pernah memberi kabar. Senang karena ternyata, Zulla bisa bersikap dewasa hingga membuat Yudha tidak terlalu memikirkan Marsel dan Alexa.
"Nanti siang mau dimasakkan apa sama Oma?" tawar Erika, sebagai bentuk terima kasihnya karena Zulla dan Yudha jarang sekali rewel.
"Fried chicken." sahut Yudha sambil membayangkan dia terkena hujan ayam goreng tepung.
"Terserah Oma saja." kalau ini adalah jawaban Zulla.
Marsel, kamu di mana? Kamu tidak merindukan mereka? Lihat, anak-anakmu sudah besar. Mereka sudah bisa berpikir dewasa. Tangis Erika dalam batin.
Padahal tanpa Erika ketahui, Zulla tidak sekuat yang dia lihat. Sering sekali anak gadis itu menangis seorang diri sambil memeluk pigura foto Marsel sembari memanggil-manggil nama Ayahnya. Mungkin saja Zulla terlalu pandai menutupi semuanya dari Erika dan Yudha.
***
"Sayang ya, kita tidak satu kelas." Becca tampak sedih saat tahu dia tidak satu kelas dengan Zulla.
"Tapi ‘kan kita masih bisa berteman, kelas kita juga tidak terlalu jauh." Zulla tidak masalah meski tidak satu kelas dengan Becca.
Mereka berdua sedang berjalan menuju ruang kelas mereka masing-masing. Hanya bedanya, kini mereka sudah sampai di kelas Becca. Sedangkan kelas Zulla masih sedikit jauh dari sini.
"Ya sudah deh, pokoknya kalau ke kantin kita harus bareng." pinta Becca serius.
"Iya... Ya sudah, gue ke kelas dulu." Zulla melambaikan tangannya sambil berjalan menuju arah kelasnya setelah mengucapkan kata dadah.
Kelas mereka satu arah, hanya saja kelas Zulla berada di paling ujung dan harus belok ke kanan sedikit baru sampai. Becca langsung masuk ke kelasnya dan mencari tempat duduk yang masih belum diisi. Suasana kelas, bagi Becca sangat asing karena memang itu pertama kalinya dia sekolah lagi dengan orang-orang baru meski beberapa di antara mereka ada yang sudah dia kenal.
Sepanjang jalan, Zulla terus menahan sedih. Tapi sebisa mungkin dia tidak memperlihatkan hal ini kepada orang lain. Apalagi kepada murid lain yang dari zaman SD mula sudah sering meledeknya. Ditambah karena sekolah ini yayasan, banyak anak yang dari SD melanjutkan ke SMP yang sama. Jadi sebagian besar, mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Meski ada beberapa yang baru.
"Gue bisa." ujar Zulla lirih.
Bruk!
"Aw... Sakit..." lirih Zulla saat dia merasa punggungnya tidak sengaja ditabrak orang dari belakang cukup kencang.
Kedua manusia tadi sama-sama jatuh dan saling mengaduh, hingga membuat beberapa siswa-siswi di sekitar sana menoleh ke arah Zulla dan berbisik tetangga entah apa yang mereka bisikan.
"Lo kalau jalan lihat-lihat dong!" sengak Zulla sambil berdiri dan membersihkan rok seragamnya yang kotor akibat kena debu. Padahal ini pertama kalinya dipakai.
"Sorry, gue beneran enggak sengaja. Bukan maksud gue juga buat nabrak lo." ujarnya penuh dengan nada penyesalan.
"Ish... Lo anak baru?" tanya Zulla.
Zulla bertanya demikian karena orang yang menabraknya itu memakai seragam SD namun berbeda dengan seragam sekolah Vertusa, sekolah Zulla selama ini.
"Iya, gue anak baru. Gue lagi cari ruang guru." sahutnya.
"Lo salah alamat kalau cari ruang guru ke sini.” Kata Zulla sinis namun memberikan harapan kepada murid baru tersebut.
“Terus di mana?” bola mata lelaki tadi berbinar-binar, merasa bahwa gadis yang tak sengaja dia tabrak akan menunjukkan jalan padanya.
“Cari aja di playstore atau appstore.”
Gubrak!
“Ish... Gue serius.” Tanpa malu karena sudah tidak sengaja menabrak, lelaki tadi masih memohon agar Zulla akan memberi tahunya.
Tampak jelas kalau wajah Zulla kesal, namun hati kecilnya mendorongnya agar berbuat baik meski kepada orang yang sudah menabraknya walau anak lelaki itu bilang tidak sengaja.
“Di sana tempatnya." tunjuk Zulla ke arah ruang guru yang ada di posisi cukup jauh dari ruang kelasnya.
"Hah... Berarti tadi gue dikerjain dong. Kalau begitu thanks ya sudah kasih tahu, sekali lagi gue minta maaf. Gue tidak sengaja." ujarnya panjang lebar sambil berjalan menjauh.
Lelaki yang tidak sengaja menabrak Zulla tadi kembali pergi menuju ruang guru yang sebenarnya. Kepala Zulla hanya menggeleng-geleng tak paham, masih ada saja di jaman sekarang orang jahil. Kasihan juga orang itu kalau dikerjai begini. Waktunya terbuang sia-sia.
"Semoga dia enggak nyasar deh." desah Zulla lalu masuk ke dalam kelasnya.
Sebenarnya Zulla tidak takut berada di kelas ini, hanya merasa tidak nyaman saja. Pasalnya, di kelas ini mayoritasnya adalah orang-orang yang suka meledeknya tidak punya Ayah dari semasa SD mula. Jadi Zulla sedikit risi, dia tidak ingin mendengar kata-kata kurang mengenakan dari mereka.
"Itu sudah ada orangnya." ujar seorang gadis ketika Zulla akan duduk di bangku yang masih kosong.
"Tapi kosong, enggak ada tas siapa-siapa di sini." Zulla tidak takut, meski nanti dia dikeroyok.
Bruk!
"Ini tas gue." gadis tadi menjatuhkan tasnya di bangku yang akan diduduki Zulla.
"Sudah sana lo, duduk di depan guru. Itu bangku khusus buat lo." Titahnya seraya mendorong tubuh Zulla sedikit kasar lalu tak lama gadis itu lanjut berjalan seraya menatap sinis ke arah Zulla.
Bahu Zulla yang tadi tidak sengaja ditabrak, terasa sakit saat didorong paksa oleh beberapa teman sekelasnya agar duduk di bangku depan guru.
"Gue bisa jalan sendiri!" teriak Zulla sambil mendorong balik ketiga temannya yang tadi mendorongnya.
"Ups... Anak tidak jelas marah." kekeh teman sekelas Zulla.
Kring... Kring... Kring...
Bel bunyi masuk kelas menggema, membuat anak-anak yang berada di luar kelas langsung masuk agar tidak dihukum oleh guru. Semuanya juga duduk di kursinya masing-masing.
Tidak masalah meski Zulla harus duduk di depan meja guru. Lagi pula, dia termasuk siswi yang pintar. Saat ulangan juga tidak pernah menyontek. Jadi bukan petaka besar baginya.
Seorang guru perempuan paruh baya sudah masuk ke kelas yang ditempati Zulla. Tapi ternyata, guru itu tidak sendirian. Beliau bersama murid baru yang tadi menabrak Zulla.
"Selamat pagi, saya akan memperkenalkan diri sebagai wali kelas kalian. Nama saya Julia, kalian bisa memanggil saya Bu Julia atau Madam Julia. Saya mengajar Bahasa Inggris di sekolah ini." ujar perempuan bernama Julia itu.
"Dan satu lagi, kalian ketambahan murid baru. Dia adalah pindahan dari Medan. Silakan memperkenalkan diri." Julia mempersilakan murid barunya untuk memperkenalkan diri.
Banyak para siswi yang terpana dengan ketampanan murid baru tersebut. Bahkan ada yang mulutnya sampai menganga lebar. Hanya Zulla yang tidak terpesona, karena kesan di pertemuan pertama mereka yang kurang baik.
Jika dilihat-lihat memang lelaki itu tampan, memiliki dagu runcing dan bola mata yang indah. Tak hanya itu, kulitnya juga putih, hidung mancung dan bulu matanya lentik seperti tanam bulu mata.
"Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, namaku Stevanko Sean. Kalian bisa memanggilku Vanko. Terima kasih." ucapnya diiringi senyuman yang begitu manis.
Banyak kaum hawa yang berbisik-bisik dan mengatakan kalau Vanko tampannya keterlaluan.
"Kalau begitu kamu bisa duduk di sebelah Sherly." ujar Julia seraya menunjuk ke arah gadis yang tadi menyuruh Zulla duduk di depan guru.
Gadis cantik itu jelas senang karena Julia meminta Vanko duduk bersamanya.
"Saya duduk di sini saja, Bu. Biar jelas." Vanko malah berjalan mengarah ke bangku kosong di dekat Zulla.
Murid baru itu tersenyum pada Zulla sekilas dan langsung duduk begitu saja. Hal ini membuat Sherly naik pitam, dia mengepalkan tangannya kuat-kuat karena di babak awal sudah merasa dikalahkan oleh Zulla.
"Ya sudah kalau begitu, kita mulai pelajarannya." Julia duduk di bangku guru dan mulai membuka buku paket di halaman awal.
"Hallo... Boleh kenalan? Nama lo siapa?" Vanko mengulurkan tangannya mengarah ke Zulla.
"Lo bisa panggil gue, Zulla. Ngomong-ngomong, kenapa lo tidak mau duduk sama Sherly? Dia salah satu murid paling cantik loh di sekolah ini." heran Zulla sekaligus penasaran.
"Gue maunya sama lo. Lagi pula, orang yang pertama baik sama gue di sekolah ini lo." jujurnya.
Kepala Zulla mengangguk, tidak apa-apa batinnya. Hitung-hitung menambah teman. Jika dilihat, Vanko juga anak baik.
Ayah... Aku punya teman baru yang baik sama aku di hari pertama aku masuk sekolah SMP. Batin Zulla sedikit merasa senang.
***
Next...