Tanpa terasa, mobil yang dikendarai Pak Mus sudah sampai di area rumah megah yang didiami oleh Zulla, Yudha, beserta Erika. Hanya ada mereka bertiga sebagai tuan rumah di dalamnya dan sebagian adalah para pekerja rumah tangga.
Sambil bercerita, Zulla dan Yudha sambil keluar dari mobil. Tawa mengiringi mereka berdua hingga membuat seseorang yang sudah menantikan mereka merasa sedikit lega.
Zulla menceritakan ulang tentang taruhannya tadi dengan Vanko kepada Yudha. Sama persis seperti apa yang dia ceritakan kepada Becca, tidak ditambahi atau dikurangi.
"Terus yang menang siapa, Kak?" Yudha seperti orang yang digerogoti rasa penasaran sekarang usai mendengar cerita kakaknya.
"Belum tahu dong, ‘kan-"
"Zulla, Yudha..." kata-kata Zulla terhenti seketika setelah dia mendengar ada yang memanggil dirinya dengan adiknya.
Suara berat dari arah lain membuat bibir Zulla berhenti bercerita. Keduanya sama-sama penasaran, siapa yang memanggil mereka barusan. Suara yang sangat mereka kenal namun mereka sam-sama enggan menebaknya.
Kayak kenal sama suaranya, mirip suara Ayah. Batin Zulla sebelum menengok.
Karena sudah termakan rasa penasaran, kedua putra-putri Marsel barusan menoleh ke arah sumber suara. Jantung Zulla berdetak tak karu-karuan. Sedangkan Yudha, hanya diam terpaku seolah belum percaya atas apa yang dia lihat. Bahkan sempat terlintas di pikirkan Yudha, apa yang dia lihat hanyalah bayangan yang akan menghilang begitu saja atau memang nyata.
Ayah... Batin Yudha merasa senang saat melihat Marsel ada di depannya.
Di antara mereka, tidak tahu harus apa. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke dalam pelukan Marsel. Tapi mereka juga tidak tahu, kenapa rasanya begitu berat. Zulla merasa kakinya seolah tertahan secara tiba-tiba, bagaikan ditahan oleh tangan yang sangat berat sehingga dia tidak mampu mengangkat kakinya untuk melangkah.
Tubuh mereka seakan terkunci di sana, tidak maju atau mundur. Hingga akhirnya, Marsel mengalah dan mendekati kedua buah hati yang dia rindukan selama dua tahun setengah.
Bisa Zulla dengar kalau Marsel meminta dirinya dengan sang adik memeluknya serta menanyakan apakah mereka tidak merindukan ayahnya itu. Pertanyaan konyol macam apa itu? Tentu Zulla dan Yudha merindukan Marsel, bahkan sangat merindukan.
Dalam diamnya, air mata Zulla menetes. Gadis itu tak kuasa menahan tangis meski tak bersuara. Walaupun Marsel sudah jelas ada di depannya, Zulla masih merasa belum yakin, apakah itu memang Marsel atau hanya khayalannya saja. Karena Zulla sering sekali berkhayal Marsel akan pulang dan menemuinya dengan cara yang gentlemen.
Kenapa Ayah sendiri? Di mana Bunda? Tanya Yudha dalam hatinya karena tidak menemukan keberadaan Alexa di sekitar sana.
Bibir mungil Zulla mengucapkan Ayah meski lirih. Sungguh, Zulla sebenarnya ingin berlari ke arah Marsel dan langsung menubruk tubuh kekar ayahnya.
Tenggorokan Zulla seolah tercekat, rasanya sangat senang melihat Marsel begitu nyata ada di depannya. Semua ini bukan mimpi, bukan hal yang membuat Zulla ketakutan. Ini bukan mimpi buruk yang menimpa Zulla.
Marsel sudah merentangkan kedua tangannya, mengambil ancang-ancang untuk memeluk Zulla dan Yudha secara bersamaan. Lelaki itu juga kembali mengatakan bahwa dia merindukan kedua buah hatinya yang sudah lama dia tinggalkan ke Bangkok.
Tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama. Hangat. Tubuh Zulla terasa hangat tanpa terkecuali ketika Marsel memeluknya. Pelukan yang sangat Zulla rindukan sejak lama. Bahkan mungkin sejak di hari pertama Marsel pergi tanpa perasaan meninggalkannya begitu saja.
Ayah ke mana saja selama ini? Zulla hanya mampu bertanya dalam hati, padahal ingin sekali dia tanyakan secara langsung agar bisa mendapatkan jawabannya.
Enggak, Ayah sudah jahat. Ayah sudah meninggalkan kami berdua sama Oma tanpa memberi kabar. Lanjut Zulla dalam hati.
Gadis remaja itu tahu, kalau Yudha sudah berlari menjauh. Adiknya itu enggan dipeluk oleh Marsel. Hingga akhirnya, hanya Zulla sendiri yang berada dalam pelukan Marsel.
Tangan Zulla mendorong pelan d**a Marsel, gadis itu ikut berlari memasuki rumah tanpa menghiraukan Marsel lagi. Walau sebenarnya Zulla senang melihat ayahnya kembali, tapi semuanya terlalu tiba-tiba. Zulla belum sempat mempersiapkan nyali untuk memarahi Marsel karena sudah meninggalkannya bersama Yudha begitu saja.
Zulla mendapat pertanyaan tentang Yudha dari Erika saat adiknya berlari kencang menaiki tangga menuju kamarnya. Bahkan pertanyaan Erika juga tidak dihiraukan oleh Zulla. Dia terus berlari menaiki tangga menuju kamarnya menyusul Yudha tanpa memikirkan hal lain lagi.
Gue cuma takut kalau Ayah datang hanya sekilas. Ujar Zulla dalam hati.
Samar-samar, Zulla mendengar Marsel sedang temu kangen bersama Erika di bawah. Tangan Zulla yang akan membuka kenop pintu, dia urungkan dan lebih memilih berdiri di depan pintu kamar. Karena jujur saja, Zulla juga penasaran bagaimana reaksi atau yang akan dikatakan Erika pada Marsel.
"Ayah beneran pulang, ini semua nyata." gumam Zulla pelan agar tidak didengar oleh siapa-siapa.
Deru nafas Zulla ternyata masih memburu. Dia terlalu takut kalau semua ini hanyalah kebohongan belaka.
"Ini bukan halusinasi, semuanya nyata." ujarnya lagi sembari mengusap-usap dadanya supaya lebih tenang.
Pandangan mata Zulla kini mengarah ke pintu kamar Yudha yang tidak jauh dengan kamarnya. Dia tahu, pasti Yudha pun terpukul akan hal ini. Apalagi adiknya itu sering kali bermimpi akan kepulangan Marsel. Bisa jadi, Yudha takut semua ini hanya mimpi belaka seperti apa yang sering datang sebagai bunga tidurnya.
"Ayah beneran pulang, Yud..." gumam Zulla masih sambil memandang pintu kamar Yudha yang tertutup rapat.
Segera Zulla berjalan ke arah pintu kamar Yudha. Gadis itu ingin membujuk adiknya agar mau keluar dan menemui Marsel. Tapi setelah dipanggil beberapa kali, Yudha tak kunjung keluar kamar. Sampai tanpa Zulla sadari, Marsel sudah kembali berdiri di belakangnya.
Marsel mengucapkan maaf kepada Zulla karena dia memang merasa bersalah kepada anak-anaknya. Perlahan, membalikkan badan Zulla dan memeluknya erat. Zulla membalas pelukan Marsel saat ayahnya kembali memeluk tubuh mungilnya, dia senang bisa kembali bertemu dengan Marsel. Gadis itu masih menangis karena saking senangnya. Karena sedari tadi, Zulla memang meneteskan air mata.
Aku kangen sama Ayah... Kata-kata barusan masih dikatakan Zulla di dalam hatinya.
Kecupan lembut dari Marsel membuat air mata Zulla semakin deras menetes. Lama sekali dia tidak mendapatkan pelukan kasih sayang dari Marsel.
Akhirnya di sela-sela isakkannya, Zulla pun mengatakan bahwa dia merindukan Marsel. Dia tidak lagi menutupi perasaan itu dan setelah mengungkapkan isi hatinya, Zulla merasa sedikit lebih lega. Dua tahun dia hanya bisa memendam rasa rindunya, dan sekarang bisa dia ungkapkan.
Lega, itu yang dirasakan Zulla sekarang. Kangen, satu kata yang mampu mewakilkan segalanya. Beban dalam hati dan pundak Zulla seolah sirna. Dia ingin menangis sejadi-jadinya di pelukan Marsel sekarang. Menumpahkan segala isi hatinya selama Marsel tidak ada di samping mereka.
***
Pandangan Zulla tidak lepas dari wajah Marsel. Dia masih memandangi rupa tampan Marsel yang duduk tak jauh darinya. Bukan berarti Zulla menyukai ayahnya sendiri sebagai laki-laki. Hanya saja, Zulla takut ini semua hanya mimpi.
Yudha masih enggan bertemu dengan Marsel. Anak SD itu masih betah marah kepada ayahnya sampai sekarang.
"Kakak kenapa? Dimakan dong nasi sama lauk-pauknya." tegur Marsel yang sadar jika sedari tadi, dia terus dipandang oleh anak gadisnya.
"Aku cuma ingin memastikan saja kalau semua ini bukanlah halusinasi, Ayah." jawab Zulla tanpa ragu dan takut. Memang ini isi hatinya sekarang.
Di meja makan, hanya ada tiga orang. Erika, Marsel dan Zulla. Yudha masih ngambek, tidak mau keluar kamar dari pulang sekolah tadi. Hal itu membuat Erika sedikit cemas dan khawatir, takut cucu laki-lakinya sakit perut atau demam. Hingga akhirnya, dari beberapa menit lalu dia memutuskan untuk membujuk cucunya di kamar agar mau makan.
Jawaban Zulla barusan, membuat Marsel terkekeh. Anak gadisnya sudah benar-benar berubah menjadi anak remaja sekarang. Cara bicaranya saja sudah seperti orang dewasa.
"Yang kamu lihat itu nyata sayang, Ayah benar-benar pulang. Ini bukan halusinasi belaka, Ayah ada di depan kamu." Marsel sengaja mendekatkan wajahnya ke sang putri tercinta.
Barisan gigi rapi milik Zulla terlihat, gadis itu nyengir kuda mendengar tindakan serta jawaban Marsel. Sangat melegakan.
"Aku senang karena ini bukanlah halusinasi. Soalnya, aku sering mimpi, Ayah pulang. Tapi setelah aku bangun tidur, aku sadar kalau apa yang aku alami itu hanyalah mimpi belaka." ceritanya.
Hati Marsel tersayat dan ngilu mendengar penuturan sang anak gadis. Dia yang sudah keterlaluan di sini. Kedua buah hatinya tidak salah dan tidak tahu apa-apa tapi malah ikut terkena imbasnya.
"Ayah minta maaf ya, sayang. Ayah tidak akan begitu lagi nanti. Bagaimanapun juga, Ayah akan selalu berusaha ada di dekat kalian. Menjadi Ayah yang baik dan membanggakan bagi kalian." sekali tarikan, Zulla sudah kembali berada dalam pelukan Marsel.
Kepulangan Marsel, membuat angin segar bagi Zulla. Karena dengan begini, dia tidak harus berpura-pura tegar lagi di depan Yudha. Dia bisa mengekspresikan rasa sedihnya di depan adiknya tanpa harus takut nanti Yudha akan bertanya-tanya.
"Ya sudah, sekarang habiskan makanannya terus nanti temani Ayah buat membujuk Yudha agar tidak marah lagi." kebiasaan Marsel, dia selalu suka mengacak-acak puncak kepala Zulla seperti sekarang ini.
Beberapa kali kepala Zulla mengangguk, dia makan sangat lahap malam ini. Moodboster-nya sudah kembali di sisinya. Jadi tidak ada alasan untuknya bersedih seperti hari-hari kemarin.
Kecuali karena Alexa, dia sebenarnya bertanya-tanya ke mana perginya Alexa. Tapi Zulla tidak ingin mempertanyakan ini kepada Marsel sekarang. Karena setahu Zulla, ayahnya itu sudah bercerai dengan Alexa. Atau dalam kata lain berpisah dan sudah bukan suami istri lagi. Kurang lebih seperti itulah yang Zulla tahu tentang perceraian.
Aku juga kangen sama Bunda. Ujar hati Zulla lirih sekali.
***
Next...