Pintu gerbang terbuka, Alfa lanjut menginjak gas pelan-pelan. Belum selesai Alfa melepas seatbelt-nya, sudah ada satpam yang menunggunya turun dari mobil seraya membawakan payung. Kebetulan, jarak dari tempat Alfa memarkirkan mobil ke rumah bisa dibilang lumayan. Meski hanya seratus meter, tapi tetap saja bisa membuat badan Alfa basah kuyup di tengah hujan sederas ini.
"Makasih, Pak." ujar Alfa sopan saat mengambil satu payung yang disiapkan satpam rumah.
Sambil membawa tas kerja dan sekeresek serabi yang tadi dia beli itu, Alfa berjalan pelan menuju rumah. Di sana juga sudah ada asisten rumah tangga yang membawakan handuk dan sandal ganti. Alfa melakukan hal seperti biasa, melepas sepatu dan kaos kakinya di depan rumah lalu memakai sandal yang sudah disiapkan kemudian membungkus bahunya menggunakan handuk, baru Alfa boleh masuk rumah. Semua penghuni rumah melakukan itu setiap pulang dalam kondisi hujan.
"Mbak, ini serabi pesanan Mama. Kalau dingin, tolong dipanaskan sebentar ya." sekeresek serabi tadi diberikan kepada salah satu asisten rumah tangga yang menunggunya masuk.
"Iya, Den." angguk sang asisten rumah tangga.
Alfa langsung masuk rumah, dan dia disambut oleh riuhnya kedua perempuan di rumah yang tak lain dan tak bukan adalah Laila-mamanya, dan Frida-kakaknya. Kedua perempuan itu sedang menonton sinetron di ruang televisi. Namun begitulah perempuan, ikut bicara dan memberikan komentar setiap ada hal yang menyita perhatian. Seperti sekarang ini, mereka berdua ikut ribut ketika melihat salah satu tokoh di dalam televisi sedang berantem adu kemampuan. Melihat hal ini, Alfa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Ayah, mau jajan." seorang lelaki kecil berlari dan memeluk kaki Alfa yang sedikit basah terkena cipratan air hujan.
Pandangan Alfa kini beralih ke anak kecil berusia empat tahun yang barusan berlari ke arahnya. Dia tersenyum dan segera berjongkok agar bisa lebih sejajar dengan anak kecil itu. Alfa mengusap kepala anak berkulit putih nan tampan itu sembari tersenyum.
"Ayah lupa enggak jajan, Nak. Di luar hujan soalnya." kata Alfa pelan.
Hal yang selalu ditagih oleh balita itu adalah jajanan yang dibeli Alfa setiap pulang kerja. Bukan jajanan yang ada di rumah. Dan sekarang, jawaban Alfa membuatnya terlihat sedih.
"Tapi Ayah punya jajan di kamar, mau ke kamar sama Ayah?" tawar Alfa.
"Eum..." angguknya tanpa ragu.
"Ayo kita ke kamar sekarang."
Meski Alfa harus membawa tas kerjanya, tapi bukan sebuah halangan bagi Alfa buat menggendong anak kecil yang memanggilnya ayah. Dalam gendongan Alfa, anak itu terlihat ceria dan tampak mengoceh tentang robot yang dia tonton di kaset tadi.
Usai menaiki tangga dan berjalan melewati beberapa ruangan, sampailah mereka di kamar Alfa. Perlahan, lelaki itu menurunkan anak kecil dalam gendongannya ke ranjang. Alfa memberikan beberapa jajanan yang boleh dikonsumsi anak kecil dan tidak merusak perkembangan otaknya.
"Ini Ayah kasih jajanannya, tapi Faldo janji jangan nakal di kamar. Ayah mau mandi dulu, oke?"
"Eum... Janji." angguknya lagi seraya tersenyum melihat banyak sekali jajanan yang diberikan Alfa.
Kecupan singkat Alfa berikan pada Faldo. Dia langsung membuka kemeja dan celananya lalu masuk ke kamar mandinya meninggalkan Faldo menikmati jajanannya sendirian di kamar.
Di atas ranjang, Faldo memilih jajan yang mana dulu yang akan dia makan. Matanya berbinar-binar ketika dia melihat itu. Bibirnya juga tersenyum, seolah-olah Faldo hidup hanya untuk makan jajanan.
***
Walaupun acara menonton Laila sudah ditemani serabi yang dibeli Alfa di sisi jalan tadi, tidak membuat rutinitas makan malam hilang begitu saja. Tepat pukul tujuh, semua anggota keluarga Thomas sudah berkumpul di meja makan. Ada lima orang sekaligus Faldo di sana, jadi ada empat orang dewasa.
Menu makan malam tidak beda jauh dari makanan rumahan yang dimasak oleh asisten rumah tangga. Alfa hidup di keluarga yang tidak memiliki riwayat bekerja di bidang medis. Dari zaman kakek dan nenek buyutnya pun, baru Alfa seorang yang menjadi dokter. Tidak ada yang menjadi perawat, bidan, apoteker, psikiater atau apa pun itu yang berkaitan dengan profesi yang bekerja sebagai penolong orang sakit.
Roni, lelaki berusia lima puluh delapan tahun itu masih bekerja di perusahaan yang berbasis elektronik sebagai direktur eksekutif. Laila, seorang perempuan yang menyukai seni lukis sehingga memiliki rumah galeri yang menampung karya-karya apik dari beberapa seniman Indonesia. Sedangkan Frida, wanita itu sudah pernah menikah enam tahun lalu dengan seorang pengacara namun pernikahan mereka berakhir di meja hijau akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Frida setelah satu tahun menikah. Frida menggugat cerai mantan suaminya sebelum tahu dirinya hamil, dan setelah melahirkan mereka resmi bercerai kemudian Frida kembali ke keluarganya dan membesarkan Faldo seorang diri.
Benar sekali. Faldo memang putra Frida dengan mantan suaminya. Namun, karena kasihan kepada Faldo yang sedari lahir tidak merasakan kasih sayang ayahnya, akhirnya Alfa memperbolehkan Faldo memanggilnya ayah. Seperti tadi, setiap Alfa pulang kerja pasti Faldo berlari ke arahnya dan menagih jajan. Sosok Alfa, sangat penting dalam hidup Faldo.
"Fa, kamu ingat Tante Nita?" Laila membuka suara di sela-sela acara makan malam mereka.
Keluarga Thomas terlihat cukup harmonis. Selama ini, Roni tidak pernah mengekang atau melarang putra putrinya memilih apa yang mereka mau dan inginkan. Contohnya seperti Frida, Roni tidak pernah menyalahkan Frida atas kesalahan putrinya yang memilih pasangan. Saat mendengar putrinya akan bercerai, Roni sangat mendukung Frida dan mengatakan pada putri sulungnya bahwa dia akan dengan senang hati menerima Frida kembali ke rumah. Begitu pula dengan pilihan Alfa yang ingin menjadi dokter, Roni tidak pernah melarangnya sama sekali. Bagi Roni, selama jalan yang dipilih kedua buah hatinya membuat mereka senang, Roni akan pasti mendukungnya. Namun dampaknya, setelah kasus perceraian Frida kala itu, Roni jadi sedikit cemas kalau nanti Alfa memilih pasangan yang salah. Meski begitu, Roni tidak bisa mengatakan kekhawatirannya pada Alfa.
"Kenapa sama Tante Nita, Ma?" sahut Alfa seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
"Anaknya Tante Nita yang sekolah hukum di Amsterdam katanya baru pulang kemarin. Dia cantik deh, dan katanya sudah bisa langsung kerja di HBT." jelas Laila sambil sesekali melirik ke arah Alfa.
"Terus hubungannya sama aku apa, Ma?"
Lelaki itu hanya tersenyum di satu sudut bibirnya. Alfa bukannya tidak tahu ke mana arah pembicaraan Laila. Hanya saja, Alfa terlalu malas kalau mamanya sudah membahas tentang wanita seperti ini. Tujuannya pasti tidak lain dan tidak bukan adalah berencana menjodohkannya dengan wanita itu.
"Ya, siapa tahu kamu ada waktu luang buat makan malam sama anaknya Tante Nita. Nanti Mama bisa bilang ke Tante Nita buat ngatur jadwal anaknya."
"Aku juga sibuk di rumah sakit, Ma. Enggak ada waktu makan malam sama orang." tak segan-segan Alfa langsung menolak penawaran yang diberikan Laila.
Wanita paruh baya itu menatap putranya. Dia padahal sudah ingin melihat Alfa meminang wanita dan menikah. Tapi sampai sekarang, Alfa belum juga membawa perempuan pulang untuk diperkenalkan dengan keluarga setelah kejadian enam tahun lalu.
"Apa kamu masih mengharap Michele kembali?"
Pertanyaan Laila barusan tidak hanya menghentikan pergerakan Alfa saja, tapi juga Roni dan Frida. Tak menyangka kalau tiba-tiba Laila membawa nama itu lagi di malam ini.
Dalam hati, Roni sebenarnya mengutuk istrinya yang tidak bisa diam tentang jodoh. Padahal siapa yang tahu jodoh kapan datang. Tidak akan ada yang tahu.
"Siapa Michele?" dengan polosnya, Faldo malah bertanya di tengah-tengah bisunya semua orang.
Frida menatap putranya. Wanita itu tersenyum pada putranya lalu meminta Faldo menghabiskan susunya.
"Faldo pasti ngantuk ya? Ayo ke kamar." ajak Frida tanpa menghiraukan penolakan Faldo .
Kini tersisa Alfa dan kedua orang tuanya saja di sana. Suasana berubah menjadi sangat canggung sekarang. Laila juga sedikit merasa bersalah, namun apa yang sudah terucap tak bisa ditarik dan setiap yang didengar tidak bisa lagi dikeluarkan dari telinga.
"Aku selesai."
Tanpa kata lagi, Alfa meninggalkan ruang makan begitu saja. Bahkan makanannya juga masih tersisa setengah. Nafsu makannya hilang karena mamanya.
"Mama sih, kenapa harus bahas Michele segala? Lihat tuh, Alfa gak habis makannya. Enggak kasihan banget sama anak sendiri, habis capek di rumah sakit juga dihancurin nafsu makannya." gerutu Roni menegur kesalahan Laila.
Karena sudah terlanjur kesal pada istrinya, Roni juga ikut pergi dari meja makan menuju ruang kerjanya. Hanya tinggal Laila beserta semua makanan saja di sana.
Di dalam kamarnya, Alfa mengingat masa lalunya tujuh tahun lalu. Dia tersenyum sinis lalu membaringkan tubuhnya ke ranjang berbantalkan kedua tangannya. Pandangan Alfa lurus menatap langit-langit kamarnya.
"Andai saja aku lebih berani buat mengungkapkan perasaanku ke suster Brenda, pasti aku enggak akan diserbu pertanyaan kapan nikah lagi sama Mama sama orang-orang tak tahu diri di luaran sana." desah Alfa mengingat mantan perempuan yang dia sukai dan sudah menikah dengan lelaki lain yang juga teman sejawatnya di rumah sakit.
Sangat diakui oleh Alfa setelah dia tahu Brenda akhirnya menikah dengan Ricky, bahwa dirinya ternyata begitu pengecut. Tapi Alfa juga kadang berpikir, kalau dia lebih berani buat mengungkap perasaannya, mungkinkah dulu Brenda menerima hatinya?
Saat berada di rumah, Alfa kadang merasa nyaman tapi juga kadang sesak melandanya setiap kali Laila mendesaknya untuk segera menikah.
"Hah... Aku hanya ingin lebih mencintai diriku sendiri daripada mencintai orang lain." Alfa memilih memejamkan matanya berharap rasa kantuk akan menyapanya.
Hari ini, bisa dibilang hari yang cukup melelahkan bagi Alfa. Tadi, dia ada dua operasi yang cukup serius dan menegangkan. Walau kata orang, itu belum apa-apa kalau dibandingkan dengan operasi yang ditangani oleh Marsel. Seluruh rumah sakit mengakui kemampuan Marsel, dan bahkan Marsel memiliki predikat sebagai dokter bedah terbaik se-Jakarta. Hal itu sering membuat Alfa iri, tapi Alfa juga tidak bisa sehebat Marsel. Dia tidak berani mengambil lebih besar risiko untuk operasi yang tingkat keberhasilannya kecil. Sangat berbeda jauh dengan Marsel.
"Tapi setidaknya, aku masih bisa mencari nafkah dengan kemampuanku yang hanya segini."
Entahlah, Alfa merasa saat ini emosinya sedang mudah berubah-ubah. Sekali saja dia emosi karena satu hal, bisa merembet ke mana-mana. Seperti barusan, dari perbincangan di meja makan sampai ke rasa irinya pada Marsel.
"Sadarlah Alfa, aku enggak boleh punya rasa iri berlebihan." tangan kanan Alfa sampai menepuk pipinya sendiri cukup keras.
Kantuk mulai menyapa, Alfa segera memejamkan matanya dan besok dia harus kembali bekerja. Lelah yang dia dapatkan menjadi pemicu utamanya supaya bisa cepat tertidur.
***
Sudah satu jam Becca mendengar cerita Zulla tentang pertemuan secara tak sengaja antara gadis itu dengan Alfa di tukang serabi tadi. Becca bahkan merasakan ponselnya sudah sedikit panas meski tidak terasa.
Mendengar teman baiknya senang, tentu saja Becca ikut senang. Baru tadi pagi dia mendengar cerita Zulla yang penuh kekesalan. Sekarang sudah ganti jadi suara ceria.
"Wah... Kayaknya Tuhan memang menginginkan lo sama dokter itu bersatu deh. Buktinya kalian ketemu lagi." komentar Becca.
"Kayaknya juga gitu. Gue mau berharap kalau nanti bisa ketemu lagi sama Om dokter." sahut Zulla di seberang sana.
Becca menengadahkan kedua tangannya lalu mengusap ke mukanya seraya mengucapkan amin. Padahal Becca tahu kalau Zulla juga tidak akan bisa melihatnya. Tapi memang Becca ingin saja melakukannya.
"Pokoknya, gue doain yang terbaik buat lo sama dokter itu. Kalau nanti lo enggak sengaja ketemu lagi, jangan lupa cerita ke gue." tuntut Becca yang tidak ingin ketinggalan cerita Zulla dengan dokter pujaannya.
"Gue pasti cerita sama lo. Mau sama siapa lagi gue cerita? Enggak punya temen lain gue selain lo, dan gue enggak mau cerita sama Vanko." ternyata, Zulla masih teguh pada pendiriannya yang tidak mau menceritakan perasaannya pada Vanko.
Apa jangan-jangan Zulla tahu kalau Vanko suka sama dia? Lagian apa sih alasan Zulla enggak mau cerita sama Vanko? Batin Becca.
Mereka sama-sama diam, keheningan melanda. Keduanya saling bertelepon tapi lebih fokus ke pikiran masing-masing. Tiba-tiba, Becca melihat ada panggilan masuk dari Vanko.
"Zul, gue tutup ya. Ini Vanko nelpon gue lagi." pamit Becca ingin menerima panggilan Vanko.
Ini sudah yang keempat kalinya Vanko berusaha menghubungi Becca, dan yang ketiga tadi ditolak oleh Becca. Tapi sekarang, gadis itu tidak bisa menolak panggilan Vanko lagi.
"Cis... Di sekolah udah ketemu juga, masih aja kangen hahaha..." goda Zulla.
"Wajar kali, namanya juga pacar. Wle..." lagi, Becca melakukan tindakan yang tidak bisa dilihat Zulla.
"Ya udah thanks ya, bye..."
Sambungan telepon Zulla dan Becca berakhir. Kini Becca langsung menerima panggilan dari Vanko. Lelaki itu tidak rutin menelepon Becca di setiap malam. Kalau ada maunya saja atau kalau ada yang dibicarakan dan berhubungan dengan Zulla, baru Vanko menelepon Becca.
"Hallo... Sorry, tadi gue telfonan sama Zulla." ujar Becca seketika.
"Oh... Kalian lagi ngobrolin apa tadi?"
Sesak bagi Becca, dia hanya tersenyum miris. Seharusnya, namanya orang menelepon pacarnya itu menanyakan kabarnya bukan tentang perempuan lain. Tapi Becca mencoba tersenyum saja dan menegarkan hatinya.
"Oh... Enggak, cuma obrolan biasa doang." alibi Becca.
Seperti yang diminta Zulla. Becca tidak akan pernah membicarakan tentang Zulla yang menyukai lelaki berprofesi sebagai dokter.
"Lo ada apa nelfon gue?" Becca langsung saja ke intinya.
Gadis itu bangun dari baringannya lalu memilih duduk sambil memakan camilan yang disediakan asisten rumah tangga setiap harinya.
"Gimana? Acara dinner sama bonyok lancar?"
Becca melihat ponselnya, memastikan siapa yang meneleponnya. Dan memang benar itu adalah Vanko, tapi tumben sekali Vanko menanyakan hal pribadinya.
"Oh... Lancar, tapi mereka harus langsung balik lagi ke LN." angguk Becca.
Obrolan masih berlanjut. Becca lebih banyak menjawab ketimbang mencoba ikut mengasikkan pembicaraan mereka yang Becca sendiri tidak tahu ke mana arahnya.
***
"Kak, Zul..." panggil Yudha saat baru masuk ke kamar kakaknya.
Saat sedang asik tersenyum memikirkan Alfa, tiba-tiba Zulla dikagetkan oleh kedatangan Yudha yang tiba-tiba. Seketika, gadis itu berusaha menetralkan perasaannya agar tidak ketahuan oleh Yudha sedang kasmaran.
"Yudha, kamu tuh ya. Udah dibilangin kalau mau masuk itu harus ketuk pintu dulu." omel Zulla yang takut kalau Yudha melihatnya sedang senyam-senyum sendiri.
Tapi sepertinya Yudha sudah tahu kalau Zulla sedang bahagia dan tersenyum sendiri. Remaja lelaki itu duduk di samping kakaknya sambil membawa buku pelajaran yang Zulla sendiri juga tidak tahu pelajaran apa.
"Tadi dianter pulang siapa? Pacar ya?" goda Yudha.
Mata Zulla melebar, dia melotot ke arah adiknya. Kenapa Yudha bisa tahu kalau tadi dia pulang tidak naik taksi?
"Dianter siapa? Orang aku naik taksi." Zulla mengelak tapi Yudha sudah terlanjur tidak percaya.
"Jangan bohong, atau mau aku kasih tahu Ayah kalau Kak Zulla udah punya pacar?"
Sungguh, Zulla sport jantung rasanya. Padahal dia kira kalau tidak akan ketahuan oleh siapa-siapa tapi ternyata tidak. Yudha sudah mengetahuinya. Mau menutupi bagaimanapun juga, Yudha tidak akan menyerah menggodanya.
"Dia bukan pacar, tapi orang yang aku suka. Awas aja kalau berani bilang ke Ayah atau Bunda, aku enggak akan mau lagi ngasih tahu cara ngerjain soal nanti." ancam Zulla seraya merebut buku yang dibawa Yudha dan melihat pelajaran apa yang ingin ditanyakan Yudha.
Ancaman Zulla barusan hanya mendapat anggukan dari Yudha. Bukan karena Yudha takut kalau Zulla tidak lagi mau mengajarinya, tapi karena Yudha paham bahwa kakaknya juga memiliki privasi.
"Tahu, tahu, aku tahu. Aku juga enggak akan ngasih tahu Ayah sama Bunda." angguk Yudha.
Selama ini, Yudha sering ketinggalan pelajaran setiap kali lelaki itu punya jadwal lomba. Tapi meski ketinggalan, nilai-nilai Yudha bisa dibilang bagus-bagus semua. Para guru juga sangat bisa memaklumi Yudha. Bahkan dari kemenangan Yudha, hal itu bisa menambah nilai plus untuk Yudha sendiri.
Setiap kali ada pelajaran yang tidak dimengerti oleh Yudha, maka dia akan bertanya pada sang kakak. Dan bagi Yudha, Zulla sudah seperti guru les pribadinya sendiri. Harus Yudha akui, kalau dia beruntung bisa memiliki kakak yang super pandai.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk dari luar terdengar, Zulla langsung mempersilakan orang di luar masuk. Alexa memasuki kamar anak gadisnya sambil membawa dua piring buah-buahan yang sudah dipotong-potong.
"Eh... Kak Yudha di sini, ini Bunda bawain buah buat temen kalian belajar."
Alexa begitu perhatian kepada semua putra putrinya. Meski dia disibukkan oleh kedua buah hatinya yang masih batita, Alexa tidak lantas lupa mengurus Zulla dan Yudha. Setiap malam, ibu empat anak itu selalu mengantar makanan ke kamar Zulla dan Yudha untuk teman belajar.
"Wah... Makasih ya, Bun. Padahal Bunda bisa panggil aku Yudha aja buat ngambil ke bawah." Zulla mengambil satu piring di tangan kiri Alexa.
Tindakan Zulla barusan diikuti oleh Yudha. Tak enak dan kasihan juga kalau Alexa harus membawanya terlalu lama.
"Enggak apa-apa, Bunda mau sekalian mastiin kalian serius belajar." sahutnya sembari tersenyum dan mengusap kepala kedua anak-anaknya.
"Kita pasti belajar, Bun. Tenang aja." bangga Yudha yang tak pernah melewatkan malamnya tanpa belajar.
Zulla tersenyum, senang sekali dia masih diperhatikan oleh Alexa. Padahal awalnya, Zulla sedikit takut saat mendengar Alexa hamil yang pertama. Takut bundanya lupa padanya dan Yudha, tapi tidak. Alexa masih tetap menyayanginya dan Yudha. Rasanya begitu nyaman berada di rumah.
***
Next...