Semua rak yang ada di toko aksesoris itu penuh dari ujung ke ujung. Di sana ada peralatan sekolah lengkap, kotak kado, mainan, bunga pajangan, tas, boneka dan masih banyak lagi macamnya. Banyak orang juga yang datang mencari sesuatu ke sana. Termasuk Becca dan Vanko yang mencari kado untuk Zulla di ulang tahun ke tujuh belasnya.
Sepulang sekolah, Vanko begitu antusias mengajak Becca mencari kado untuk Zulla. Acara ulang tahun akan diadakan besok, tapi Vanko sudah ribut dari semalam agar Becca bisa menemaninya mencari sesuatu yang mungkin terlihat berharga dan disukai Zulla.
Tanpa Becca sangka, ternyata Vanko membelikan Zulla gelang perak bertuliskan inisial nama Zulla. Sedangkan Becca, gadis itu masih bingung mau memberikan apa kepada teman gadisnya.
Tak bisa dibohongi lagi, Becca jelas cemburu dan iri. Di ulang tahunnya yang keenam belas tahun lalu saja, Vanko tidak seheboh ini. Tapi seingat Becca, kekasihnya itu memang selalu heboh setiap kali mendekati tanggal kelahiran Zulla.
Dari awal memang gue enggak pernah jadi yang spesial buat Vanko. Enggak apa-apa kok iri sebentar, asal jangan berkepanjangan. Sebisa mungkin Becca menghibur hatinya sendiri.
Rambut keriting Becca bergoyang mengikuti ke mana kakinya melangkah. Dia hanya ingin memberikan kado yang tidak memalukan untuk Zulla dan tidak berlebihan juga.
Saat sedang berjalan terus, Becca kini melihat ada sebuah alat musik lucu yang menyita perhatiannya. Jemari lentiknya meraih kalimba yang tersedia dalam beberapa bentuk. Ada yang persegi panjang, berbentuk hati, berbentuk kepala boneka dan lain-lainnya.
"Itu apaan, Bec?" bingung Vanko yang tidak tahu apa yang dipegang Becca sekarang.
"Oh... Ini? Kalimba, alat musik yang sering dimainkan orang Eropa sama orang Amerika dan asalnya dari Afrika Selatan. Pas dulu gue ke Los Angeles sama bonyok, gue enggak sengaja lihat ada musisi jalanan yang mainin alat ini." jelas Becca seraya menunjukkan kalimba di tangannya beberapa kali.
Ini pertama kalinya Vanko melihat alat musik seperti itu. Dia hanya mengangguk mendengar penjelasan Becca. Sedangkan kekasihnya lanjut memilih alat musik kalimba yang mungkin akan dia beli. Karena memang ada beberapa model di sana.
Sambil menunggu Becca memutuskan mau yang mana, Vanko kembali melihat-lihat ke sekitar. Saat melihat ke jendela, ternyata hari sudah mulai gelap.
"Ayo pulang, gue pilih yang ini aja." Becca akhirnya memperlihatkan kalimba yang akan dia beli, tak lupa Becca juga mengambil salah satu kodak kado di sekitar sana.
Vanko mengangguk, mereka berjalan menuju kasir. Rasa hangat membalut tangan kiri Becca saat Vanko menggenggam jemarinya. Becca tak tahu, entah ini hanya kebiasaan atau memang Vanko suka menggenggam tangannya. Sampai akhirnya mereka tiba di kasir dan Becca harus membayar barang belanjaannya.
***
Tok! Tok! Tok! Tok!
"Argh...!"
Mendengar adiknya mengerang usai memasang tenda, membuat Zulla terkikik. Jumat sore, Zulla berangkat ke bukit bersama teman-temannya buat berkemah. Bukan tanpa alasan, tapi ini dalam bentuk merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas. Pestanya sudah berlangsung malam jumat semalam, dan sekarang mereka ingin berpesta lagi di alam bebas.
Dalam kemah hari ini, Zulla mengajak Becca, Vanko dan Lingga tentunya. Tak lupa, Yudha juga ikut. Terus Tara, teman baik Zulla di tempat les juga diajak. Mereka berenam, dan ada dua tenda saja di sana.
Langit sudah mulai gelap, kedua tenda sudah berhasil didirikan. Di sana tidak hanya mereka berenam saja, tapi juga ada orang lainnya yang juga kamping di sekitaran sana meski jaraknya tidak terlalu berdekatan.
Ketiga lelaki sudah pasti bertugas mendirikan tenda dan berhasil. Sementara Zulla, Becca dan Tara, mereka bertugas menyiapkan makanan dan minuman serta membuat tumpukan kayu buat api unggun nanti malam.
Setelah beristirahat sebentar, mereka memutar musik dari box musik yang mereka bawa. Acara bakar-bakar sudah dimulai. Semua perlengkapan memang siap dari rumah, semacam bumbu makanan dan buah-buahan yang telah dipotong-potong.
"Gue ambil cool box dulu di mobil ya." pamit Vanko yang berencana kembali ke mobilnya buat mengambil persediaan minuman bersoda dan seafood yang mereka bawa.
Mereka tak tahu juga, udara di bukit terbilang dingin. Tapi kenapa mereka membawa minuman dalam cool box segala? Zulla dan yang lainnya juga tak tahu jawaban serta alasannya.
Vanko tidak sendiri, dia pergi bersama Yudha dan kini tinggal Lingga serta ketiga gadis saja di sana. Angin berembus pelan, tapi tetap saja mampu membuat mereka sedikit kedinginan. Sementara kedua lelaki lainnya mengambil cool box, Lingga sedang berusaha menyalakan api unggun agar suasana jadi hangat.
Ini bukan kamping pertama Zulla. Gadis itu pernah melakukannya beberapa kali bersama keluarganya. Dan itu berawal ketika adik keduanya baru berumur enam bulan.
Tak lama, Vanko dan Yudha kembali sambil membawa dua cool box berukuran kecil. Mereka berdua segera mengambil beberapa seafood lalu merendamnya ke dalam bumbu dan membakar di atas pemanggang barbekyu.
Zulla melihat, Becca cukup akrab dengan Tara. Mereka bekerja sama untuk membawa beberapa piring dan gelas untuk tempat mereka makan malam ini.
"Wah... Belum juga sehari, kalian udah akrab aja." celetuk Zulla yang senang melihat mereka berdua bisa akrab.
"Haha... Biasa aja, ya masa gue mau bertengkar sama orang yang belum gue kenal banget." kekeh Becca.
Tara mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh Becca. Awalnya, Zulla mengizinkan Tara mengajak pacarnya, tapi kata Tara, pacarnya sibuk kuliah.
"Eh Zul, pacar gue mau ke sini katanya. Dia lagi di perjalanan." tiba-tiba, Tara memberi tahu akan hal ini.
"Oh... Boleh, udah sampai mana dia?"
"Udah sampai parkiran katanya, tinggal ke sini aja."
Kalau tambah personel, pasti acaranya semakin seru. Zulla suka, apalagi kalau ada tambahan laki-laki jadi yang menjaga perempuan pun bertambah.
"Wah... Pacar lo enak banget, dateng-dateng langsung makan dia ckckck..." Becca menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap Tara.
Kata-kata Becca barusan hanya membuat Tara tersenyum kikuk. Tapi Tara juga tidak tahu, kalau ternyata pacarnya bakal menyusulnya ke sini.
"Becca mulai sinis sama orang baru." komentar Zulla yang begitu paham akan sifat Becca pada orang baru.
Sindiran halus Zulla barusan membuat Becca tertawa. Sampai-sampai suara tawa Becca dan Zulla harus terhenti oleh suara erangan frustrasi dari Lingga. Lelaki itu belum berhasil membuat api unggun. Kayunya belum terbakar sedikitpun.
"Argh... Gimana sih caranya? Kenapa enggak mau hidup juga." erang Lingga yang tak paham kenapa dia berulang kali gagal menyalakan api unggun.
Mereka pikir, Lingga bisa menyalakan api unggun. Tapi ternyata dia juga kesulitan. Zulla menggeram mendengar hal itu dan mengabaikan Lingga.
"Hallo... Sorry, gue datang tiba-tiba begini." sampai akhirnya, kekasih Tara mengalihkan pandangan mereka.
Seorang mahasiswa datang, yang diketahui Zulla sebagai pacarnya Tara. Lelaki bertubuh kurus dan tinggi itu memperkenalkan diri bernama Johan. Saat akan mau bergabung, Johan melihat kalau api unggun di sana masih belum nyala. Dan akhirnya, Johan memutuskan untuk membantu menyalakan api unggunnya.
Berkat bantuan dari Johan, api unggun itu akhirnya menyala. Mereka lanjut bercerita sambil menyantap makanan yang sudah dibakar.
"Jadi Kak Johan ini udah kuliah semester empat?" tanya Zulla lebih memperjelas.
"Ya, gue kuliah di kampus deket sekolahnya Tara. Dan kita ketemu di sekitaran sana setahun lalu." jelasnya.
"Wah... Hebat juga Tara bisa ngegaet cowok kuliahan."
Becca memberikan tepuk tangan kecil untuk Tara, padahal hal seperti ini tidak perlu juga mendapat tepuk tangan.
"Hahaha... Iya, dan pas mau ngedapetin dia itu susah banget. Gue pernah ditolak lima kali." ujar Johan seraya menunjukkan kelima jarinya pada Becca.
Dalam hati, Zulla sedikit iri pada Tara. Meski pacarnya bukan seorang murid satu sekolah dengannya, tapi setidaknya Tara bisa merasakan pacaran di masa-masa berseragam putih abu-abu.
Duh... Kapan Om dokter peka sama perasaan gue ya? Desah Zulla dalam hati.
"Ini kado dari gue, happy birthday ya. Doanya gue kasih dalem hati aja." Tara memberikan kado ulang tahun pada Zulla.
Saat pesta ulang tahun semalam, Tara memang berhalangan hadir. Jadi baru sekarang Tara punya kesempatan buat memberikan kado untuk teman baiknya di tempat les.
"Wah... Thanks ya. Gue buka boleh?"
Tara mengangguk, membolehkan Zulla membukanya. Zulla sangat antusias saat akan membukanya, dan ketika dilihat ternyata kotak kado itu berisi stetoskop.
"Huwahhh... Makasih ya Tar, suka gue sama kadonya." Zulla benar-benar menyukai kado itu.
Bukan hanya kado dari Tara saja, tapi Zulla tentunya juga menyukai kado dari semua teman-temannya. Hanya saja, ada yang dia spesialkan. Seperti kado dari Becca, dari Vanko dan dari Tara kali ini.
"Gue tahu cita-cita lo jadi dokter, jadi gue cuma kepikiran buat beliin itu aja buat lo." cengir Tara kikuk.
"Ya ampun, jangan repot-repot kali. Gue suka kok."
"Oke, karena alasan kita kamping di sini buat merayakan ulang tahunnya Zulla. Jadi ayo kita beri ucapan selamat sekali lagi buat dia." ajak Becca mengangkat kaleng minuman bersodanya.
"Cheers..." ajak Becca agar semua orang ikut bersulang untuk ulang tahun Zulla.
Sedikit lucu juga, yang mereka minum bukan alkohol tapi ada sesi bersulang segala. Tapi pada akhirnya, mereka menyatukan minuman bersoda dan berteriak bersama.
"Cheers! Happy swit sepentin, Zulla!" seru mereka bersamaan lalu saling meminum cola yang juga disiapkan dari rumah.
Semuanya sudah dipersiapkan oleh Alexa. Saat tahu anak gadisnya izin kepadanya dan Marsel untuk kamping di bukit bersama teman-temannya, Alexa menyicil buat menyiapkan keperluan dan kebutuhan putrinya selama di tempat kamping agar tidak kesusahan. Mungkin terdengar memanjakan, tapi begitulah cara Alexa menunjukkan kasih sayangnya pada anak-anaknya.
"Oh iya, kenapa kita enggak nyanyi-nyanyi aja?" usul Lingga.
"Ide bagus tuh, Zulla sama Tara 'kan les musik. Jadi udah pasti suara kalian bagus." angguk Vanko menyetujui ide dari Lingga barusan.
"Bener, kebetulan tadi gue bawa gitar." Lingga masuk ke tenda buat mengambil gitarnya.
"Wah... Lingga emang terniat buat dengerin suara lo, Zul. Dia sampe bawa gitar segala." Becca menggeleng beberapa kali tak menyangka kalau Lingga memang sangat penasaran mendengar Zulla bernyanyi.
Ekor mata Vanko melirik Zulla. Dia juga ingin sekali mendengar suara Zulla saat dipakai bernyanyi. Meski Vanko sudah beberapa kali mendengar, tapi tetap saja dia ingin mendengarnya lagi.
Lingga kembali sambil membawa tas gitarnya. Dia membukanya dan memberikan kepada Zulla. Beberapa di antara mereka saling mengobrolkan ini dan itu. Yudha sendiri, dia sedang memberi laporan pada Marsel dan Alexa di obrolan grup keluarga.
Perbincangan mereka tiba-tiba terhenti saat semuanya mendengar suara minta tolong dari arah atas. Suara itu memang samar-samar, tapi mereka yakin kalau itu suara orang. Kini, bertambah jadi suara langkah kaki yang cukup cepat.
Tolongg...!
Lagi, suara itu kembali terdengar. Tak lama, seorang gadis berbalut kaos panjang dan jeans hitam tampak berlari ketakutan sambil sesekali melihat ke belakang.
"Eh, itu orang 'kan?" Zulla menepuk bahu Becca yang duduk di dekatnya.
Mereka semua memerhatikan gadis itu. Dari perawakannya, Zulla seperti mengenal siapa dia tapi kurang yakin juga. Karena gadis itu memakai kaos putih, jadi mereka bisa melihat jelas ke mana arah gadis tersebut.
Mata Zulla melebar, dia lebih memperjelas lagi pandangannya. Untungnya, mata Zulla tidak minus jadi dia masih bisa melihat dengan jelas dalam jarak jauh meski malam. Kini matanya mengerjap beberapa kali guna meyakinkan siapa yang dia lihat.
Tolonggg...!
"Eh... Kira-kira dia kenapa ya?" bingung Becca.
"Tara." panggil Zulla tiba-tiba.
Wajah Zulla menunjukkan raut kekagetannya dan itu semakin membuat mereka yang di sana ikut kaget. Yudha ikut memerhatikan siapa yang sedang berlari.
"Itu bukannya nenek lampir?" tanyanya tiba-tiba.
Gadis berkaos putih itu semakin dekat dengan tenda milik Zulla berdiri. Wajahnya tampak ketakutan dan kaos bagian belakangnya ada yang sobek.
"Bener, itu Gladys, Tar." angguk Zulla membenarkan pertanyaan Yudha.
Sementara teman-teman Zulla yang di sekolah bingung dan bertanya-tanya.
Siapa Gladys?
Tak lama, mereka juga melihat seorang lelaki berlari kencang. Sepertinya lelaki itu mengejar Gladys maka dari itu, gadis yang sering kali menjahati Zulla dan Yudha itu berlari menghindar.
"Kayaknya Gladys dikejar cowok itu deh." Tara ikut menyimpulkan.
"Siapa Gladys?" tanya Lingga karena tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Musuhnya Kak Zulla di tempat les musik." sahut Yudha memberi tahu.
"Hua... Berarti dia yang sering jahatin lo itu? Sukurin, nerima balesannya dia sekarang." Becca juga tak senang mengetahui bahwa gadis yang meminta tolong itu adalah orang yang sudah menjahati Zulla.
Bruk!
Aww...!
Mereka sama-sama mendengar kalau Gladys terjatuh dan kepalanya terbentur akar pohon yang menonjol ke tanah. Tak lama, lelaki yang mengejarnya menarik tangannya cukup keras dan menyeretnya tapi Gladys berusaha menahan diri dengan cara berpegangan di akar pohon yang tadi mencium keningnya.
"Ya... Ya... Ya... Bukankah kita harus nolongin dia? Siapa tahu itu orang jahat." Lingga sudah akan berdiri tapi dicegah oleh Yudha.
"Biarin aja, itu cewek juga jahat." Yudha melarang Lingga yang akan menolong Gladys.
"Woy! Lepasin dia!"
Tanpa disangka, Zulla malah berteriak pada lelaki itu. Semua orang kaget melihatnya, mereka takut kalau Zulla akan diapa-apakan juga kalau ikut campur.
"Zul... Lo gila? Kalau kita kena masalah gimana?" Tara takut sendiri.
"Setidaknya kita banyakan, dia sendirian." bisik Zulla pada semua teman-temannya.
Sepertinya lelaki itu tidak menggubris teriakan Zulla dan tetap menyeret Gladys. Karena sudah kepalang tanggung, Zulla berlari mendekat ke arah Gladys.
"Ish... Zulla udah gila apa ya?" gemas Becca, dia ikut berlari mengikuti sahabatnya karena tak ingin Zulla terluka.
Kedua gadis itu langsung diikuti Vanko. Tentunya, lelaki itu mengkhawatirkan keduanya. Dan akhirnya, semua orang berlari ke arah di mana Gladys diseret lelaki itu. Mereka bisa melihat jelas kalau bibir Gladys berdarah. Wajahnya penuh oleh air mata, rambutnya acak-acakan dan kaosnya sobek di beberapa bagian.
"Lo enggak ada urusan sama gue. Jangan ikut campur. Lagi pula, dia ini cewek gue. Gue berhak mau ngelakuin apa aja ke dia." kata lelaki itu penuh kemarahan.
Gladys hanya diam, tapi terlihat jelas kalau dia seperti sedang memohon. Tanpa diduga, Johan mengeluarkan ID card dan mengatakan kalau dia seorang polisi. Akhirnya mau tak mau, lelaki itu melepaskan Gladys.
Zulla mengajak Gladys ke sekitar tendanya. Dia prihatin akan kondisi Gladys sekarang. Gadis yang selalu bersikap angkuh di depannya itu sekarang terlihat mengenaskan dan tak ada wajah antagonis lagi.
"Kenapa sih, kita harus nolongin dia." geram Yudha yang sangat tidak suka pada Gladys.
Lelaki itu masih menyimpan dendam karena kejadian lalu saat Gladys merusakkan rubriknya kala itu. Sampai sekarang, Yudha tidak bisa melupakannya. Tapi pada akhirnya, Yudha diam setelah mendapat pelototan dari Zulla.
Lingga bertanya pada Johan tentang ID card itu, tapi ternyata itu hanya ID card palsu yang dipakai Johan saat menghadapi hal seperti barusan. Padahal, mereka kira kalau Johan memang polisi beneran.
"Thanks udah nolongin gue."
Syok! Zulla, Yudha dan Tara tak menyangka kalau Gladys bisa mengucapkan kata terima kasih juga.
Apa ini sisi lain dari Gladys?
Tanya mereka di dalam hati secara bersamaan tanpa direncanakan.
"Dia beneran cowok lo?" tanya Zulla karena memang penasaran, takut kalau lelaki itu berbohong.
Tanpa suara, Gladys mengangguk. Semuanya kaget mengetahui pengakuan Gladys.
"Wah... Gimana bisa cowok bisa sekasar itu? Terlebih ke pacarnya sendiri?" Becca tak menyangka kalau memang yang dia lihat tadi nyata.
Zulla masuk ke tendanya, tak lama dia keluar lagi dan memberikan baju ganti untuk Gladys. Dia kasihan melihat Gladys yang tubuh belakangnya sedikit terekspos.
"Nih, lo bisa ganti baju di dalam tenda. Baju lo sobek semua." titah Zulla.
Seketika Gladys menoleh ke belakang tapi jelas dia tidak akan bisa melihat bagian belakang tubuhnya. Setelah dibujuk dan dipaksa Zulla, Gladys akhirnya mau menerima pakaian Zulla dan mengganti kaosnya.
"Yud, kamu bawa jaket dua 'kan?" pandangan Zulla kini fokus ke adiknya.
"Aku enggak akan mau minjemin jaketku ke dia." tolak Yudha mentah-mentah yang tahu ke mana arah pembicaraan Zulla.
"Kamu enggak kasihan, Yud?"
"Buat apa kasihan? Dia orang yang udah bikin aku dipanggil sama guru les. Dia yang udah jahatin kita berdua. Buat apa baik sama orang jahat."
Tara tahu, pasti berat buat Yudha membantu Gladys atas apa yang sudah dilakukan Gladys selama ini. Zulla juga tidak bisa menyalahkan Yudha buat menolak.
"Yud, sekarang bukan waktunya buat mikirin masa lalu. Gladys lagi kena musibah. Coba bayangin kalau hal ini terjadi ke aku, ke Bunda, Oma atau Zalle. Gimana kalau enggak ada yang nolongin kita?"
Yudha menggeram, tangannya mengepal dan pada akhirnya dia masuk ke tenda lalu mengambil satu jaketnya lagi dan kembali ke sekitar api unggun. Di waktu yang bersamaan, Gladys juga keluar dari tenda satunya. Mereka saling tatap dalam beberapa detik lalu Gladys menundukkan kepalanya karena malu bertemu dengan Zulla dan Yudha dalam kondisi seperti ini.
"Nih, gue pinjemin jaket buat lo. Jangan ngira gue ngelakuin ini karena gue baik sama lo." Yudha melempar jaketnya begitu saja ke arah Gladys secara kasar.
Karena tindakan Yudha barusan, Zulla menegur adiknya menggunakan pelototan matanya seperti sebelumnya. Setelah Gladys bergabung dengan mereka, suasana jadi sedikit canggung. Niatnya, Gladys ingin pulang tapi tengah malam begini tidak ada taksi lewat. Jadi mau tak mau, Zulla akan mengajak Gladys bermalam di tendanya malam ini. Bahaya juga kalau membiarkan Gladys kembali ke tendanya.
Sungguh, ini kejadian yang tak terduga bagi mereka.
***
Next...