Mata Zulla dan Becca melebar, mereka baru saja mendengar pertanyaan Lingga yang membuat kedua gadis itu malu tujuh turunan. Kalau saja mereka ada di atas tanah, pasti keduanya sudah meliang bagaikan cacing.
Kemarahan dan kekesalan Zulla pada Lingga masih belum sirna. Dan sekarang ditambah akan pertanyaan konyol serta memalukan lelaki itu barusan. Semakin membuat Zulla di puncak emosinya saja.
"Yaaaa!!! Otak lo terbuat dari apa sih?!" sentak Zulla tak kira-kira.
Seluruh orang yang ada di ruang UKS sampai berjingkat kaget mendengar teriakan Zulla. Gadis berambut keriting yang duduk di samping Zulla pun sampai mengusap-usap dadanya karena saking kagetnya. Tak menyangka kalau Becca yang ditanya, tapi Zulla yang berteriak.
Suasana ruang UKS berubah menjadi panas akan kemarahan Zulla. Pendingin ruangan seperti hanya sebuah pajangan tak berfungsi di sana padahal sedari tadi tidak ada yang mematikan dan ada di angka terendah.
Kebingungan melanda Lingga, dia melirik ke kanan ke kiri, ke arah Becca lalu ke arah Vanko karena tidak tahu penyebab Zulla marah padanya. Sepertinya, ini pertama kalinya Lingga peka kalau Zulla marah akan tingkahnya.
"My Prince-"
"My Princess, My Princess! Gue udah bilang jangan panggil gue itu! Lo b***k apa gimana sih?!" lagi-lagi emosi Zulla meledak.
Gadis itu sampai bersungut-sungut dan wajahnya memerah khas orang marah. Ini bukan hanya sekedar emosi sok-sokan agar Lingga berhenti memanggilnya My Princess, tapi memang Zulla marah karena kejadian kemarin.
"Gue salah apa sih? Gue cuma nanya doang ke Becca, masa My Princess marah banget."
Becca meremas rambut keritingnya, dia tidak tahu Lingga itu pura-pura bodoh dan pura-pura tidak peka atau memang bodoh dari lahir. Wajah Zulla kembali masam mendengar Lingga tetap memanggilnya dengan label yang diberikan dari Lingga pada Zulla.
"Ya pertanyaan lo bege!" sentak Becca berusaha menyadarkan Lingga.
"Pertanyaan gue kenapa? Gue nanya karena enggak tahu. Orang cuma nanya, yang sakit itu perut lo atau it-"
Bugh!
"Argh...! Sakit bege!" Lingga menjerit ketika ada benda keras yang menyapa bibirnya.
Mulut Zulla dan Becca dibuat menganga akan tindakan Vanko. Lelaki itu memukul mulut Lingga menggunakan buku paket sains yang cukup tebal. Sudah dipastikan, bibir Lingga pasti nyeri sekali. Sampai akhirnya, mereka semakin dibuat kaget saat gusi Lingga berdarah.
"b**o banget sih lo! Ya perutnya lah yang sakit." kali ini ganti Vanko yang gemas.
Pertanyaan Lingga memang tidak senonoh. Hal yang membuat Zulla dan Becca marah serta malu karena Lingga bertanya, apanya Becca yang sakit? Perut atau bagian di bawah perut Becca? Pantas saja kedua gadis itu sangat emosi.
"Ish... Gara-gara lo, gue jadi pendarahan b**o!" teriak Lingga dengan suara teriakannya sambil berjalan menuju toilet yang ada di samping ruang UKS.
Lagi-lagi mereka dibuat melongo, kata-kata Lingga begitu ajaib sampai-sampai membuat ketiga remaja itu tidak habis pikir.
"Dia kesambet setan apa sih?" Becca jadi geleng-geleng sendiri melihat tingkah Lingga.
"Bodo amat, pokoknya gue kesel sama dia. Buat seminggu ke depan, gue mau duduk sama Becca aja." Zulla mengeluh sambil melampiaskan sisa-sisa kemarahannya dengan meremas-remas bantal.
Vanko menatap Becca, mencoba bertanya-tanya apa yang membuat Zulla begitu marah pada Lingga. Tapi Becca hanya mengedikkan kedua bahunya pura-pura tak tahu.
"Lo udah baikan, Bec?" Vanko benar-benar mengira kalau Becca sedang datang bulan.
"Oh... Hehehe, enggak kok. Gue udah enggak kenapa-napa." angguknya sedikit malu, karena alasan yang diberikan Zulla.
Vanko ikut mengangguk melihat Becca menjawabnya. Kini Vanko beralih fokus ke arah Zulla. Dia masih bingung, kenapa dan apa yang membuat Zulla begitu marah pada Lingga. Padahal kalau ada yang harus lebih marah, sudah jelas itu Becca. Tapi kenapa malah Zulla?
"Oh iya, ini catatan gue tentang MTK sama IPA tadi." Vanko menunjukkan bukunya pada Becca agar kekasihnya bisa menyalin catatan itu darinya.
"Gue mau minjem catatan lo juga." sahut Zulla.
"Boleh." angguk Vanko dengan senang hati.
***
Mata Zulla dan Becca sama-sama lirik-lirikan melihat sejumlah jajanan yang baru saja dibelikan Vanko di pedagang kaki lima sekitar sana. Sayangnya, Vanko tidak membeli dengan jumlah yang sesuai personel. Ada satu jajanan yang sama-sama disukai oleh kedua gadis itu tapi sayangnya hanya ada satu.
"Gue duluan...!" pekik mereka berdua secara bersamaan.
Tapi sayangnya, Zulla lebih dulu mendapatkan permen kenyal rasa leci tersebut. Tentunya dalam satu bungkus hanya ada satu permen dan tidak bisa dibagi. Zulla menjulurkan lidahnya mengarah ke Becca.
"Aish... Lo ngapain cuma beli satu sih?" sentak Becca pelan sambil menyenggol lengan Vanko.
Deretan gigi putih Vanko terlihat, dia hanya nyengir kuda sambil membentuk kedua jarinya sebuah makna peach pada kekasihnya. Sedangkan Zulla terus-menerus meledek Becca.
"Jatoh, gue ketawain." Becca masih menggumel bahkan sampai mendoakan permen jeli itu jatuh.
"Enggak usah dendam." Zulla tak henti-hentinya mencibir Becca.
Mereka berdua tertawa saja melihat ekspresi Becca. Lucu saja kalau dilihat-lihat. Tak jarang ada rebutan seperti ini di antara mereka.
"Tadi sisa satu doang, makanya cuma beli satu." sela Vanko memberi alasan kenapa hanya ada satu permen yupi yang dia beli.
"Nanti gue beliin deh sekerdus."
"Ecieee... Dapet jatah sekerdus tuh dari pacar." Zulla ikut menggoda Becca.
Godaan Vanko barusan berhasil membuat Becca kembali tertawa. Wajah gadis itu juga memerah, tak kuasa menahan rasa senang dalam hatinya. Padahal, Vanko juga mengatakannya dalam nada biasa. Bahkan tidak terkesan menggoda atau merayu.
Zulla mendesah dalam hati, lagi-lagi dia iri pada Vanko dan Becca. Bukan cemburu, tapi memang iri karena dia tidak mungkin punya kenangan pacaran di waktu sekolah seperti Becca.
Ketiga remaja itu memutuskan buat nongkrong di taman sekitar sekolah. Karena Zulla tidak mau meminjam catatan dari yang lain, dan dia tidak mau membuat Vanko terlalu lama mengizinkan bukunya dipinjam oleh Becca lalu ke Zulla, jadinya gadis yang bercita-cita jadi dokter itu usul kalau sepulang sekolah mereka mending menyalin bersama agar lebih irit waktu juga.
Salin menyalin selesai juga, kini mereka memutuskan untuk pulang. Karena Vanko hanya membawa motor, jadi dia tidak bisa mengantar Zulla pulang. Jelas, Zulla tidak keberatan kalau Vanko tidak bisa mengantarnya. Lagi pula, sudah sewajarnya Vanko harus lebih mementingkan pacarnya ketimbang temannya karena kondisi dan posisi mereka memang sama-sama berteman dekat.
"Mending lo balik sendiri aja deh, Van. Biar gue bareng sama Zulla naik taksi." usul Becca yang merasa tak enak.
"Enggak bisa, Bec. Rumah kita 'kan beda arah. Lagian katanya lo ada acara dinner sama bonyok, takut nanti telat." Zulla juga merasa semakin tidak enak kalau Becca malah lebih memilih naik taksi.
Becca menepuk jidatnya, kenapa dia bisa sampai lupa. Akhirnya Becca langsung memakai helm pasangan punya Vanko yang berwarna coklat dan membonceng di belakang. Usai mengucap maaf, sepasang kekasih itu sudah pergi dari sana. Hanya tersisa Zulla saja.
Tanpa bingung, Zulla berjalan keluar dari area taman yang tetap ramai meski hari sudah hampir gelap. Bahkan Zulla sekarang bisa mendengar suara adzan maghrib dikumandangkan di beberapa masjid terdekat di sana.
Langkah kakinya begitu lambat. Bukan karena lelah atau tidak semangat, Zulla hanya ingin menikmati waktunya berjalan kaki saja. Wajahnya tersenyum hanya karena mengingat rupa Alfa kemarin.
Zulla melihat ada pedagang kaki lima menjual serabi di sisi jalan. Kata teman-temannya yang tinggal di sekitar sekolah, rasa serabi itu enak. Akhirnya, Zulla memilih mampir ke sana dan memutuskan untuk membeli dua serabi.
"Bu, saya beli sepuluh ya serabinya."
Untuk yang kedua kalinya, Zulla merasa kalau dia seperti mengenal suara barusan. Benar, yang memesan sepuluh serabi tadi bukan Zulla. Tapi pembeli lain yang sepertinya laki-laki.
Zulla menoleh ke samping, dia tidak menyangka kalau hari ini dia tak sengaja bertemu dengan Alfa lagi. Lelaki itu tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat juga, namun Alfa belum melihat Zulla karena sibuk dengan ponselnya.
Wah... Kata orang, kalau enggak sengaja ketemu sampai tiga kali itu namanya jodoh. Dan ini ketiga kalinya gue ketemu secara tidak sengaja sama Om dokter. Batin Zulla tanpa berhenti memandangi Alfa.
"Om dokter..." sapa Zulla memberanikan diri setelah beberapa saat terpesona.
Seketika Alfa menoleh, lelaki itu tersenyum tampan saat mengetahui bahwa gadis yang datang lebih awal sebelum dirinya tadi adalah Zulla. Ponsel yang sedari tadi dimainkan oleh Alfa itu kini dia masukkan ke dalam saku celananya.
"Kamu beli serabi juga?" tanya Alfa ramah.
Hal yang paling melekat di ingatan Zulla adalah senyum dan tawa ringan yang selalu menghiasi wajah Alfa. Itu yang selalu dilihat Zulla saat bertemu dengan Alfa.
"Iya, Om juga suka serabi?" Zulla ganti memberikan pertanyaan agar obrolan mereka berlanjut.
"Iya, Mama di rumah minta dibeliin serabi." angguk Alfa.
Hati Zulla tak karuan rasanya di dalam sana. Jujur saja, dia senang ada kejadian seperti ini. Bahkan, Zulla berharap kalau mereka bisa lebih sering tidak sengaja ketemu begini.
"Oh... Begitu." angguk Zulla mengerti.
Yang kemarin sepupunya yang pengen n****+, sekarang Mamanya. Apa bener ini bukan cuma alesannya Om dokter doang ya? Hati Zulla mulai bertanya.
Kalau misalkan beneran Om dokter udah punya pasangan, gue harus siap-siap. Walaupun sulit, gue yakin bakal bisa. Desah hati kecil Zulla walau sebenarnya tidak rela dia berkata seperti itu meski di dalam hati saja.
"Kamu jam segini baru pulang?" heran Alfa.
"Oh... Enggak Om, udah pulang dari tadi cuma harus ngerjain tugas aja sama temen makanya baru mau pulang." angguk Zulla.
"Dek, ini serabinya." penjual serabi tadi memberikan dua serabi yang sudah dibungkus menggunakan daun pisang lalu dimasukkan ke dalam keresek bening.
Zulla merogoh uang saku di dalam saku roknya dan menemukan uang lima ribuan. Tentu saja, Zulla harus membayar serabinya.
"Biar saya saja yang bayar." cegah Alfa saat Zulla akan memberikan uang lima ribuannya ke pedagang tadi.
Tindakan yang dilakukan Alfa mampu membuat kekesalan dan kemarahan Zulla pada Lingga menghilang begitu saja. Dalam hati, Zulla senang karena pertemuan kedua ini dia sendirian. Tidak akan ada pengganggu lagi seperti kemarin.
"Padahal Om gak perlu repot-repot segala. Tapi makasih hehehe..." cengir Zulla sedikit malu-malu.
Alfa membalas Zulla dengan senyuman pula. Tak lama, serabi pesanan Alfa juga sudah selesai dan segera lelaki itu membayarnya. Pada awalnya, Zulla berniat pamitan pada Alfa karena mau pulang lebih dulu tapi dicegah oleh dokter tampan satu itu.
"Pulang bareng saya saja, kebetulan rumah kita 'kan searah. Biar kamu irit ongkos juga." ajak Alfa yang tak dapat disangka oleh Zulla sebelumnya.
Zulla baru tahu, kalau rumah mereka searah. Kalau Alfa tidak bilang kali ini, Zulla juga tidak akan tahu.
Mimpi apa gue semalam? Apa ini gantinya yang kemarin dari Tuhan buat gue? Pekik Zulla dalam hati.
Inilah contoh dari habis gelap terbitlah terang. Pokoknya gue enggak mau nyia-nyiain kesempatan langka ini. Hati Zulla benar-benar kegirangan di dalam sana.
"Zulla, hallo... Kamu dengar apa yang saya katakan barusan 'kan?" Alfa sampai melambaikan tangannya mengarah ke Zulla.
Guntur terdengar bergemuruh, langit pun semakin gelap. Beberapa pedagang kaki lima di sana pun ada yang mulai membereskan dagangan mereka dan siap pulang atau ada yang akan berteduh.
Dalam hati, Zulla sangat senang. Seolah-olah langit mendukungnya mendekati Alfa.
"Mau sih Om, tapi apa enggak ngerepotin Om dokter?" sok-sokan saja Zulla jual mahal, padahal dia sudah ingin segera masuk ke mobil Alfa.
"Enggak, keburu hujan nanti. Ayo masuk." Alfa sudah lebih dulu masuk ke mobil dan tinggal menunggu Zulla masuk ke bagian penumpang.
Aroma jeruk dari pewangi yang digantung di spion menguar, menyapa hidung Zulla ketika gadis itu baru masuk ke mobil Alfa. Tidak banyak aksesoris di dalam mobil itu, hanya ada pewangi ruangan saja.
Mobil mulai melaju pelan, Zulla tidak bisa mengendalikan detak jantungnya yang berdisko di dalam d**a. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Alfa menggunakan ekor mata kanannya.
Hujan jatuh bersamaan, rintik demi rintiknya membasahi apa saja yang ada di bumi. Termasuk dengan mobil yang membawa Alfa dan Zulla.
Lima menit berada di dalam mobil Alfa, kini Zulla menyadari kalau mobil itu bukan hanya beraroma pewangi ruangan saja. Tapi juga ada wangi dari parfum maskulin yang sepertinya dipakai Alfa. Antara pewangi ruangan dan parfum itu bercampur menjadi satu tapi tetap wangi dan tidak ada bau apek sama sekali di sana.
Kira-kira, Om dokter pakai parfum apa ya? Batin Zulla masih sambil melirik ke Alfa.
"Oh ya, kamu tadi beneran sendirian?" Alfa mulai membuka suara.
"Ah... Iya Om, aku tadi sendirian. Lagian, mau sama siapa hehehe..."
Bagi Zulla, ini kesempatan emas buatnya supaya bisa menjelaskan pada Alfa bahwa dia dengan Lingga tidak memiliki hubungan apa-apa.
"Pacar kamu kemarin itu?"
"Pacar? Dia mah bukan pacar aku lagi, Om. Kita cuma temen doang, dia aja yang suka bercandanya kelewatan."
Ada harapan dalam hati Zulla, semoga Alfa percaya padanya. Bisa gawat kalau Alfa masih menganggap bahwa dia punya pacar.
"Hahaha... Saya dulu juga gitu waktu pas masih muda. Ngaku-ngaku pacar tapi sebenarnya cuma temen biasa." Alfa terkekeh menceritakan sedikit kisahnya dulu.
Bunga-bunga mekar di dalam d**a Zulla. Gadis itu merasa seperti ada banyak kupu-kupu menggelitik di dalam perutnya. Kalau Alfa menyahut begitu, sudah pasti kalau lelaki itu percaya pada Zulla.
"Oh ya, sepupu Om itu gimana? Suka sama novelnya?" sebisa mungkin Zulla mencari topik lain yang masih berkaitan.
"Suka, dia memang pengen banget punya n****+ itu. Tapi ya namanya anak sekolah, jadi dia harus irit-irit uang sakunya."
Lega. Zulla lega mendengar kalau n****+ itu memang untuk diberikan kepada sepupu Alfa. Bukan kekasih gelapnya karena disembunyikan. Jadi Zulla tidak perlu cemas lagi sekarang.
Jalanan yang cukup licin karena hujan, tidak mengurangi keahlian Alfa dalam menyetir. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Marsel.
Alfa memutar badannya ke belakang seperti mengambil sesuatu. Dan ternyata, Alfa mengambil payung.
"Ini, biar kamu tidak kehujanan. Jangan sampai sakit, sekolah yang bener dan jaga kesehatan." kata Alfa sembari memberikan payung lipat untuk Zulla.
"Tapi nanti Om gimana?"
"Saya tinggal pulang, jadi jangan khawatirkan saya."
Zulla tersenyum, dia mengambil payung itu dan mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Perlahan, Zulla keluar dari mobil dan melihat Alfa meninggalkannya sendiri di sana. Meski harus begini, tapi Zulla senang. Dia melihat sampai mobil itu benar-benar tak terlihat sama sekali baru Zulla memencet bel rumahnya.
Sore yang indah, ditemani hujan pas lagi sama pujaan hati. Gumam hati Zulla sambil menunggu orang rumah membukakan gerbang untuknya.
***
Next...