Ceraikan Aku, Mas!

1124 Kata
Bagian 10 Hal yang paling menyakitkan bagi seorang istri adalah ketika suami pulang ke rumah dengan wanita lain dan memperkenalkan wanita tersebut sebagai istri barunya. Rasanya bumi seolah berhenti berputar dan dunia seakan runtuh. Aku berlari ke kamar meninggalkan Mas Mulya dan gundiknya itu yang masih berada di ruang tamu. Tidak kusangka jika rasanya akan sesakit ini. Aku memang sudah mengetahui perselingkuhan suamiku dengan perempuan itu. Jauh sebelumnya, aku sudah mempersiapkan mental untuk menerima kenyataan pahit ini. Tapi ternyata rasanya lebih sakit, melebihi apa yang aku bayangkan. Aku memang sedang menyusun rencana untuk mengamankan seluruh aset peninggalan orang tuaku, untuk masa depan anak-anakku nantinya. Saat ini, Mas Mulya lah yang menyimpan dokumen penting dan bukti kepemilikan aset tersebut. Aku harus bisa merebutnya dari tangan Mas Mulya. Tentunya tidak mudah untuk mendapatkan dan mengambil alihnya kembali. Setelah bayi ini lahir, aku akan mengajukan gugatan cerai karena aku tidak sudi lagi hidup bersama suami yang tidak pernah menghargaiku dan menyayangi anak-anaknya. Hari ini benar-benar hari yang menyakitkan. Sungguh diluar dugaan, ternyata Mas Mulya sudah menikahi perempuan itu dan langsung membawanya ke rumah ini. Bahkan dengan santainya, suami dan mertuaku memaksaku untuk menerima perempuan itu sebagai adik maduku. Tentu saja aku menolak. Mana ada perempuan di dunia ini yang mau berbagi suami dengan perempuan lain. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua kesedihan di dalam kamar. Tidak kusangka jika suamiku begitu tega membawa gundiknya itu tinggal satu atap bersama kami. Bahkan ia sama sekali tidak memikirkan perasaanku yang saat ini sedang mengandung anaknya. "Aira … maafkan Mas, ya!" Tiba-tiba, terdengar suara Mas Mulya yang ternyata sudah berada di ambang pintu. Aku tidak menghiraukannya. Kuambil bantal kemudian melemparkan bantal tersebut kepadanya. "Pergi kamu, Mas! Aku tidak sudi melihat wajahmu. Pergi sana," teriakku. Mas Mulya mendekatiku, kini ia duduk di sampingku. "Maafkan Mas, ya! Mas sudah salah. Tolong terima Femi di rumah ini. Mas yakin, lambat laun kalian akan akrab," ucapnya santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Apa katamu, Mas? Aku harus menerima pernikahanmu dengan Perempuan itu? Tidak, aku tidak sudi." "Tolong mengertilah, Ra! Mas mohon!" "Sekali tidak, tetap tidak. Tidak ada tempat untuk orang lain di rumah ini," ucapku tegas dengan air mata yang berderai. "Femi bukan orang lain, Ra. Dia sudah menjadi istriku. Dia juga berhak tinggal di rumah ini." Mas Mulya terang-terangan membela perempuan yang baru dinikahinya itu. Membuatku semakin sakit hati. "Ya sudah, Mas ceraikan Aira sekarang juga," ucapku sambil menatap mata Mas Mulya dengan tatapan kebencian. Yah, aku benci padanya. "Kamu jangan main-main, Ra! Mas tidak akan pernah menceraikanmu. Mas masih mencintaimu. Lagian kamu saat ini sedang mengandung. Wanita yang sedang hamil tidak boleh bercerai dari suaminya." "Cinta? Mas bilang masih mencintaiku? Omong kosong. Jika Mas mencintaiku, Mas tidak mungkin menikahi perempuan lain. Apalagi disaat kondisiku yang sedang mengandung anakmu. Dimana hati nuranimu, Mas?" "Mas bicara apa adanya. Mas masih mencintaimu. Mas menikah lagi, karena ingin mendapatkan keturunan anak laki-laki." "Alasan. Semuanya sudah jelas, Mas sudah tidur dengan perempuan itu sebelum kalian menikah. Sudahlah Mas. Aku tidak mau lagi mendengar apapun yang keluar dari mulutmu. Aku minta ceraikan aku sekarang juga." Aku berteriak, tidak bisa lagi mengontrol emosiku. Ini semua terlalu menyakitkan bagiku. Mas Mulya mendekatiku, mendekapku ke dalam pelukannya. Mungkin dengan memelukku, ia berharap jika aku akan memaafkannya dan menerima pernikahannya dengan perempuan itu. Tidak, hal itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah menerima perempuan itu di rumah ini, dan aku tidak sudi dimadu. Pengabdian dan kesetiaanku selama ini ternyata dibalas dengan penghianatan. Aku telah melakukan semuanya untuknya, mencurahkan cinta dan kasih sayangku untuknya, mencintaimu dengan setulus hati, bahkan aku mempercayainya mengelola usaha dan harta peninggalan orang tuaku. Tapi ternyata inilah balasannya untukku. "Lepaskan aku, Mas!" Aku mendorong tubuh Mas Mulya, menjauhkan tubuhnya dariku. Dulu, aku sangat menginginkan pelukan darinya, sekarang bahkan aku benci melihatnya. "Kenapa kamu berubah jadi kasar begini sih, Ra? Mana Aira ku yang dulu?" "Aira mu yang dulu sudah mati, Mas! Karena kamu sudah membunuh hati dan perasaannya. Selalu menyakitinya, tak pernah membahagiakannya. Bahkan dengan teganya, kamu menghianatinya, Mas!" Mas Mulya terdiam, mungkin ia tidak menyangka jika aku bisa bersikap kasar dan berkata seperti itu terhadapnya. "Keluar kamu dari kamarku sekarang juga, Mas! Aku tidak mau lagi bicara denganmu," teriakku sambil meremas dadaku yang kian terasa sesak. "Mas, aku tungguin kok' masih di sini?" Tiba-tiba perempuan itu sudah masuk ke dalam kamarku. Sungguh tidak sopan. "Mas Masih mau ngomong sama Aira," jawab Mas Mulya. "Ya udah, aku nunggu disini saja, Mas!" ucapnya. Aku makin risih saja dengan kehadiran perempuan itu, apalagi sekarang ia berada di kamarku. "Kurasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas! Kalian keluarlah dari kamarku." Aku seperti merasakan kontraksi di perutku. Perutku terasa kram dan kepalaku juga pusing. Mungkin itu terjadi karena aku terlalu banyak berfikir. Menghadapi situasi seperti ini sangat menguras emosi dan pikiranku. Sepertinya, aku harus menenangkan diri dan memikirkan cara untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Setelah itu, aku akan membuat perhitungan dengan mereka.Tapi bagaimana mungkin aku bisa menenangkan diri di rumah ini. Rumah yang didalamnya ada perempuan lain yang sudah sah menjadi istri suamiku. Sungguh situasi ini sangat sulit. Jika saja aku sedang tidak mengandung saat ini, pasti sudah langsung kuajukan gugatan cerai kepada Mas Mulya. Rasanya, aku tidak sanggup lagi menunggu dua bulan lagi sampai bayi ini lahir. Belum sehari saja serumah dengan maduku, rasanya sudah seperti setahun lamanya. Aku benar-benar tidak tahan jika seperti ini terus-menerus. "Kamar Mbak ini lumayan besar juga ya! Bagus lagi. Ada AC-nya, ada tivi juga. Mas, aku mau kamar ini jadi milikku ya Mas!" pinta perempuan itu pada Mas Mulya. Sungguh berani sekali dia. Dasar perempuan tidak t*hu diri. Sudah merebut suamiku, sekarang malah berani-beraninya meminta kamarku. "Hey perempuan pel*kor, kamu itu tidak tahu diri banget ya! Kamu sudah mendapatkan suamiku, sekarang kamu malah menginginkan kamarku. Tidak bisa, aku tidak akan memberikan kamar ini untukmu." "Mas, ayo dong Mas! Aku maunya kamar ini." Perempuan itu terus merengek kepada Mas Mulya, seperti anak kecil saja. Mas Mulya hanya diam saja. Kali ini ia tidak mau menuruti permintaan istri mudanya itu. "Kamu tidur di kamar lain saja ya!" ucap Mas Mulya. "Kalian berdua, keluarlah dari kamarku sekarang juga. Aku malas melihat wajah kalian." Aku membentak mereka berdua. "Keluarlah, aku mau istirahat!" Akhirnya, mereka keluar juga dari kamarku. Setelah mereka keluar, aku kembali menangis, menumpahkan semua kesedihanku. Setelah lelah menangis, aku pun sadar. Aku tidak boleh berlama-lama larut dalam keadaan ini. Aku harus bangkit demi anak-anakku yang masih membutuhkan kasih sayang dariku. Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengambil wudhu. Kubentangkan sajadah, menunaikan kewajibanku. Kupanjatkan doa kepada Sang Khalik, sang pemilik kehidupan. Memohon pertolongan dan perlindungannya. Semoga Allah memberikan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tanggaku. Serta menunjukkan jalan keluar agar secepatnya lepas dari semua masalah dan kesulitan yang sedang kurasakan saat ini. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN