Kedatangan Madu

1268 Kata
Bagian 9 POV Mulya Jujur saja, sebenarnya aku lelah jika harus terus berpura-pura di depan Aira. Aku ini laki-laki yang sudah mapan, tampan dan juga tajir. Aira tidak berhak menghalangiku untuk berpoligami, karena sampai saat ini ia tak bisa memberiku anak laki-laki. Laki-laki diperbolehkan untuk berpoligami, memiliki istri lebih dari satu. Jadi, aku akan jujur dan mengatakan semuanya pada Aira, bahwa aku akan menikah lagi. Lagian, aku sudah terlalu lama menunggu hadirnya seorang bayi laki-laki dari rahim Aira. Aku jenuh menunggu dan menunggu! Jadi, Aira tidak bisa menyalahkanku jika aku menikah lagi. sekaranglah saat yang tepat untuk mewujudkan impianku. Aku yakin, akan mendapatkan keturunan anak laki-laki dari rahim wanita lain. Femi adalah gadis yang tepat untuk kujadikan istri kedua. Malam itu, aku membawa ibu untuk menemui Femi agar Ibu bisa menilai sendiri calon menantunya yang akan segera menjadi istri kedua anaknya yang tampan ini. Yah, malam itu aku sudah resmi melamar Femi, memintanya untuk menjadi istriku. Ternyata Ibu menyukai Femi. Mereka begitu akrab, padahal baru pertemuan pertama. Aku juga melihat bahwa Femi menyukai Ibu, terlihat dari sikapnya yang santun saat berbicara kepada ibu. Semuanya berjalan sesuai rencana, Femi menerima lamaranku dan bersedia menjadi istri keduaku. Walaupun kami akan menikah secara siri, ia sama sekali tidak keberatan. Saat keluar dari mall, kami berjalan menuju parkiran. Tiba-tiba aku melihat Aira dan anak-anak. Aira terlihat marah saat ia melihatku dengan Femi bergandengan tangan. Aira mungkin sudah curiga, ia pun mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang tidak sanggup untuk kujawab. "Siapa perempuan ini, Mas? Kenapa kalian pegangan tangan segala? Kamu ada main sama perempuan ini di belakangku ya, Mas?" Tanya Aira dengan nada tinggi. Ia tampak sedang menahan emosi. Aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan, karena lidahku serasa tercekat saat itu. Ingin jujur, tapi aku tak tega. Aku mengajak Aira pulang, tetapi Aira menolak ajakanku, Ia lebih memilih naik taksi. Malam itu, aku melihat kekecewaan di mata Aira. Mungkin dia cemburu melihat suaminya bergandengan dengan wanita lain. Akhirnya kuputuskan untuk menjelaskan semuanya saat kami telah pulang ke rumah. Tetapi Ibu malah mencegahku. Ibu bilang belum waktunya untuk memberitahu Aira yang sebenarnya. Nanti akan ada saat yang tepat, katanya. Saat Aira bertanya tentang Femi, Ibu langsung mengatakan kalau Femi adalah sepupuku yang baru datang dari luar kota, dan nampaknya Aira pun percaya pada ucapan ibu. Aku tersenyum di dalam hati, alangkah mudahnya mengelabui istriku ini. Istriku memang terlalu polos dan juga bodoh, jadi gampang untuk dibodohi. *** Akhirnya, hari yang kunantikan tiba juga. Yaitu hari pernikahanku dengan Femi, gadis pujaan hatiku. 'Barakallahu laka wa jama'a bainakuma fi khairin. Barakallahu likulli wahidin minkuma fi shahibihi wa jama'a bainakuma fi khairin. Semoga berkah Allah tercurahkan bagimu. Dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebahagiaan.' "Selamat ya, mulai hari ini kalian sudah menjadi pasangan suami istri yang sah," ucap Pak penghulu. "Alhamdulillah, Terima kasih, Pak," jawabku dan Femi secara bersamaan. Alangkah bahagianya aku, karena telah menikahi gadis yang sangat kucintai. Kebahagiaanku pun kian terasa sempurna, karena ada Ibu yang turut memberikan doa restu. Acara pernikahan kami memang dilangsungkan secara sederhana, tetapi aku sangat bahagia. Begitu juga dengan Femi, terlihat dengan jelas rona bahagia di wajah cantiknya. Setelah selesai melangsungkan akad nikah dan menggelar pesta kecil-kecilan, aku pun langsung memboyong Femi ke rumah. Aku yakin, Aira tidak akan menolak kehadiran Femi. Aira adalah istri yang sabar dan penurut. Aku yakin, lambat laun, Aira pasti akan menerima Femi sebagai adik madunya. Kalaupun ia menolak, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena semua harta peninggalan orang tuanya saat ini berada dalam genggamanku. Dalam kuasaku. Aira tidak akan bisa mengambil alihnya dariku, karena semua dokumen penting dan bukti kepemilikan seluruh aset ada di tanganku. Tok tok tok! "Assalamu'alaikum .…" Aku mengetuk pintu serta mengucapkan salam. "Wa'alaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam. Aku tahu betul, itu suara istriku, Aira. Aira pun membukakan pintu, dan ia sangat shock melihatku yang memakai setelan baju pengantin. Serta melihat Femi yang mengenakan kebaya, lengkap dengan mahkota dan hiasan di kepalanya. Aira terdiam sejenak, mungkin ia berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Ibu yang dari tadi sudah capek menunggu dibukakan pintu, akhirnya masuk duluan. Ibu melewati Aira yang masih mematung di depan pintu. "Bi Inah … siapkan minuman segar untuk menyambut nyonya muda di rumah ini," teriak Ibu. "Baik, Nyonya!" sahut Bi Inah dari dapur. Aku mendekati Aira, meraih tangannya. Kemudian memperkenalkan Femi kepada Aira. "Aira, kenalin ini Femi, istriku. Adik madumu," ucapku kepada Aira. Aira masih diam membisu, hanya butiran bening yang terus menetes dari kelopak matanya. "Aira, maafin Mas. Mas telah menikah lagi tanpa sepengetahuanmu. Mas hanya ingin mendapatkan keturunan anak laki-laki. Mas harap, kamu mengerti dan mau menerima Femi sebagai adik madumu." Aira masih diam tanpa kata. Ia malah menarik tangannya dari genggamanku. Femi pun menghampiri aku dan Aira, "Hai Mbak, aku Femi," ucap Femi, memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Aira. Tetapi Aira malah menepis tangan Femi. "Dasar pelakor, perempuan murah*n," ucap Aira. Apa kamu sudah tidak laku sehingga kamu menikahi lelaki yang sudah beristri, hah?" Aira mengamuk, ia menarik alas meja hingga vas bunga yang ada di atasnya jatuh ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Aku tidak mengira jika Aira akan Semarah ini. Ia bahkan berani mengatakan bahwa Femi adalah pelakor dan perempuan murah*n. "Mas, aku nggak mau disebut sebagai pelakor. Aku juga bukan perempuan murah*n, Mas!" Femi protes. Aku yang mendengar hal itu pun ikutan marah. Bagaimana mungkin, Aira mengatakan bahwa Femi adalah pelakor dan perempuan murahan? "Apa-apaan kamu ini, Aira! Femi ini istriku juga. Dia bukan pelakor." Kali ini, aku membentak Aira, karena menurutku ia sudah keterlaluan. Wajar jika ia marah, tetapi ia tidak perlu mengucapkan kata-kata yang membuat Femi sakit hati. "Terus, apa sebutan yang paling pantas buat perempuan yang sudah merebut suami orang kalau bukan pelakor? Dan apa sebutan yang pantas untuk perempuan yang sudah tidur dan merelakan dirinya disentuh oleh lelaki yang belum menikahinya kalau bukan perempuan pelakor dan murah*n? Jawab, Mas!" "Tutup mulutmu Aira, Femi ini wanita baik-baik. Jangan kamu Fitnah dia." Ibu angkat bicara, marah dan membentak Aira. "Aku tidak memfitnah, Bu! Aku punya buktinya. Aku telah mengetahui perselingkuhan kalian, dan aku juga tahu bahwa kalian sudah tidur bersama dan telah berz*na. Kamu hanya mencari-cari alasan, Mas! Kamu menjadikan kehamilanku yang lagi-lagi mengandung anak perempuan untuk menikah lagi. Tega kamu, Mas!" Apa ini? Aira malah melimpahkan kesalahannya padaku. "Jaga bicaramu, Mbak! Jangan memfitnahku seperti itu," ucap Femi, tidak terima. Aira pun mengambil ponselnya, menunjukkan chat dan fotoku yang sedang tiduran di kamar hotel bersama Femi. Kali ini, aku tidak bisa mengelak lagi. "Masih mau ngelak? Hah? Sudah jelas-jelas ada buktinya masih mau ngelak," bentak Aira. "Ibu juga, Ibu bilang perempuan ini sepupunya Mas Mulya. Nyatanya bukan. Ternyata kalian sengaja melakukan semua ini. Ibu sudah sekongkol dengan Mas Mulya untuk membohongiku," bentak Aira kepada Ibu. Sungguh tidak kusangka, ternyata Aira sudah mengetahui semuanya. Berarti ia sudah mengecek ponselku tanpa sepengetahuanku. "Cukup, Aira. Mulya telah menikahi Femi. Jadi, kamu harus menerima Femi di rumah ini dan memperlakukannya dengan baik," sahut Ibu, tak mau kalah. "Tidak! Aku tidak setuju. Sampai kapanpun, aku tidak mau dan tidak akan sudi dimadu," teriak Aira. Bi Inah yang sedang mengantarkan minuman pun terkejut mendengar teriakan Aira. Bi Inah menatapku dan juga Femi, sepertinya ia sudah faham bahwa aku sudah menikah lagi. Bi Inah mengelus d**a sambil menatap Aira, mungkin ia kasihan pada Aira. "Kamu bisa apa Aira? Kamu sudah tidak bisa melakukan apa-apa karena pernikahan ini sudah terjadi. Sebaiknya kamu terima saja Femi sebagai adik madumu." Ibu memberi saran. "Tidak, Aira lebih baik pisah dengan Mas Mulya daripada harus dimadu seperti ini. Aira tidak sudi." Aira menjerit histeris. Lalu ia berlari ke kamar, meninggalkan kami yang masih berada di ruang tamu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN