Tak Mau Kalah

1326 Kata
Bagian 8 Sesampainya di rumah, aku melihat mobil Mas Mulya sudah ada di garasi. Ternyata, mereka sudah sampai lebih dulu. Tanpa diperintahkan, Bi Inah langsung membawa anak-anak ke kamar. Sepertinya, Bi Inah sudah mengerti dengan apa yang akan terjadi. Mas Mulya dan ibu mertua sudah menungguku di ruang tamu. "Aira, Mas mau ngomong sama kamu!" Aku pun mendekat dan ikut duduk bersama suami dan ibu mertuaku itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku sambil melirik Mas Mulya dan Ibu secara bergantian. "Tadi kalian beli apa saja? Kamu narik uang dari ATM sesuai dengan yang Mas perintahkan? Ingat Aira, kamu jangan boros. Kita harus berhemat karena kamu membutuhkan banyak biaya untuk proses persalinan nanti." Aku hanya diam mendengarkan ocehan dari suamiku yang super pelit bin cerewet itu. "Oh ya, perempuan yang kamu lihat bersamaku tadi, itu …." Mas Mulya gugup saat menyebut nama perempuan itu. "Siapa, Mas? Memangnya perempuan yang tadi itu siapa, Mas?" tanyaku lagi pura-pura tidak tahu. Darahku langsung mendidih saat Mas Mulya membahas tentang perempuan selingkuhannya itu. "Dia itu sepupunya Mulya yang baru datang dari luar kota!" Kali ini, Ibu yang menjawab pertanyaanku. Mas Mulya dan Ibu mungkin mengira kalau aku tidak tahu apa-apa. Mereka selalu menganggap kalau aku ini adalah perempuan bodoh yang tidak tau apa-apa. Mereka terlalu meremehkanku. Nyatanya, aku sudah tahu semuanya. Kupikir Mas Mulya akan jujur soal hubungannya dengan perempuan itu. Tapi ternyata nyalinya tidak sebesar yang kukira. Ia hanya berani bermain dan di belakang tanpa berani mengakuinya. "Jika perempuan itu sepupunya Mas, kenapa nggak diajak main ke sini? Kenapa nggak pernah dikenalkan padaku dan anak-anak, Mas? Kenapa aku tadi tidak diajak ikut serta saat ada pertemuan keluarga? Atau jangan-jangan, ada yang disembunyikan dariku. Jawab, Mas?" Aku sengaja bertanya seperti itu, untuk melihat reaksinya Mas Mulya. "Dia lagi sibuk, Ra. Nanti kapan-kapan Mas kenalkan padamu ya! Lagian kamu 'kan sedang hamil besar, enggak baik keluar malam." "Iya nih, jadi orang kok' curigaan mulu!" sahut Ibu. "Kan Ibu pernah bilang kalau posisi Aira akan digantikan oleh perempuan lain. Wajar saja kalau Aira curiga." Aku sengaja mengungkit apa yang Ibu katakan malam itu. "Udah ah, Ibu mau istirahat dulu, capek!" Ibu kemudian berlalu dari hadapan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Aku tahu, Ibu dan Mas Mulya sengaja mengalihkan pembicaraan karena mereka takut ketahuan olehku. *** Di dalam kamar, aku diam saja. Hanya menjawab Mas Mulya seperlunya saja. Setelah selesai mengganti baju dan membersihkan diri, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang dan memilih untuk tidur membelakangi Mas Mulya. Sengaja kukenakan lingerie yang seksi untuk memancing Mas Mulya. Aku ingin mempermainkannya, aku akan membuat suamiku kecewa malam ini. Memangnya ia saja yang bisa bermain-main denganku? Aku juga bisa. "Ra, kenapa kamu diam saja? Nggak seperti biasanya," tanya Mas Mulya sambil merebahkan tubuhnya disampingku. Pertanyaan macam apa itu? Bisa-bisanya ia tidak merasa bersalah sama sekali atas apa yang sudah ia lakukan terhadapku. Mas Mulya kemudian memelukku dari belakang, membelai rambutku, kemudian mengelus perutku yang semakin membesar. "Mas, jika anak ini perempuan, apakah Mas akan memperlakukannya seperti kakak-kakaknya?" Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu. "Ra, Mas kangen kamu, enggak usah bahas itu dulu ya! Mas menginginkanmu malam ini." Menginginkanku? Enak saja! Aku mana mau jadi pelampiasan hasrat doang! Jujur, aku kecewa dengan jawabannya. Ia hanya bersikap baik saat ada maunya saja. Jelas, aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Aku hafal betul dengan kelakuan suamiku. Jika aku sudah mengenakan lingerie di dalam kamar, maka ia tidak akan bisa tahan. "Maaf, Mas! Aku ngantuk banget. Pinggangku juga sakit, mungkin karena kelelahan mengajak anak-anak jalan-jalan di mall tadi." Jujur, aku jijik disentuh olehnya. Tubuhnya sudah kotor karena telah tidur dengan perempuan lain. Aku tidak sudi disentuhnya. Tidak sudi berbagi peluh dengan perempuan lain. Bagiku suami yang sudah berkhianat dan tidur dengan perempuan lain tidak bisa dimaafkan. Itu berarti ia sudah m*****i pernikahan kami dan mengingkari janji suci pernikahan kami. "Dosa loh, menolak melayani suami. Lagian siapa suruh kamu pergi ke mall bersama anak-anak? Jadinya 'kan kamu capek. Sekarang malah nggak mau melayani suami sendiri." Mas Mulya terlihat kecewa. Biarkan saja, emang enak! Aku tahu, akan berdosa jika menolak ajakan suami. Tetapi, aku tidak bisa melakukan itu. Hatiku sudah telanjur sakit karena penghianatan yang sudah dilakukannya. "Maaf, Mas! Aku nggak bisa. Tolong mengertilah! Lagian, Mas 'kan tidak pernah lagi mengajakku dan anak-anak untuk sekadar jalan-jalan atau bermain. Sekarang malah Mas menyalahkanku! Apa salahnya membahagiakan anak-anak sesekali?" Aku berucap tanpa mau menatap wajah suamiku yang kini sudah duduk di pinggir ranjang. "Aku hanya meminta hakku sebagai seorang suami, tapi kamu malah mengajak ribut." Wajah lelaki yang pernah kucintai itu merah padam, terlihat sekali kalau ia sedang menahan amarah. Ingin rasanya kulemparkan foto mesra Mas Mulya yang sedang berduaan di kamar hotel bersama perempuan itu ke wajahnya. Masih beranikah ia memintaku untuk melayaninya setelah foto itu kutunjukkan? Tetapi kuurungkan niatku. Belum saatnya. Nanti akan ada waktu yang tepat untuk membongkar kebohongan yang dilakukannya. "Ya sudah! Kamu tidur duluan saja. Lebih baik aku keluar. Aku malas berdebat denganmu." Jika Mas Mulya sudah mengucapkan kata 'aku', berarti ia sedang marah. Aku tahu, pasti Mas Mulya akan menemui perempuan itu karena malam ini aku menolak melayaninya. Tapi biarkan saja, aku sudah tidak peduli. Toh, setelah anak ini lahir, aku akan melayangkan gugatan cerai terhadapnya. Mas Mulya kemudian berpakaian lagi dan meninggalkanku di dalam kamar. Ia membanting pintu dengan kuat, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Tiba-tiba terdengar suara tangisan anak-anak dari lantai bawah, entah apa yang terjadi dengan mereka. Aku langsung mengganti pakaian dengan yang lebih sopan, kemudian bergegas menemui anak-anak. Ternyata benar, mereka bertiga sedang berpelukan sambil menangis. "Anak-anak Mama kenapa menangis? Udah ya, kan ada Mama," ucapku sambil memeluk ketiga buah hatiku itu. "Kami takut, Ma! Kami takut Mama sama Ayah berantem lagi," ucap Naura. "Nggak usah takut ya sayang, Mama sama Ayah enggak berantem, kok. Itu tadi hanya bunyi pintu. Jangan takut lagi ya!" Aku berusaha menenangkan anak-anak. Kasihan mereka, mereka jadi ketakutan seperti ini. Setelah anak-anak kembali tertidur, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Karena jika tidur bersama mereka, aku susah bergerak. Mengingat perutku yang semakin membesar. Baru saja aku merebahkan kembali tubuhku di atas ranjang, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu. Setelah pintu kubuka, ibu mertuaku langsung nyelonong masuk begitu saja. "Aira, Ibu nggak habis pikir! Kamu sama sekali tidak bisa menyenangkan suamimu. Pantas saja kalian ribut terus." Ibu berucap sambil menatapku dengan tatapan tajam. "Kamu tahu nggak sih Aira, jika kamu menolak ajakan suamimu, maka kamu akan dilaknat oleh malaikat," ucap Ibu lagi. "Aira tahu, Bu! Tetapi, Aira punya alasan, kenapa nggak mau melayani Mas Mulya," jawabku tak mau kalah. "Apapun alasannya, Ibu nggak mau tahu. Yang jelas, jangan kamu kecewakan Mulya lagi dengan penolakanmu itu. Mulya berhak meminta haknya kepadamu selagi kamu masih menjadi istrinya yang sah!" Ibu mertuaku memang sudah benar-benar keterlaluan, sampai-sampai urusan ranjang segala dibahas. "Kan sudah Aira bilang, Bu! Aira punya alasan atas penolakan yang Aira lakukan. Oh ya Bu, seharusnya Ibu nggak usah terlalu ikut campur urusan rumah tangga kamu. Ini urusan Aira dengan Mas Mulya." "Lancang sekali mulutmu itu. Kamu sudah berani melawanku, Aira?" "Wajar-wajar saja jika aku melakukan itu, Bu! Itu semua belum sebanding dengan apa yang Ibu dan Mas Mulya lakukan di belakang Aira," ucapku sambil menatap tajam manik mata ibu mertuaku itu. Ya, rasa hormatku padanya sudah hilang dan aku tidak takut lagi padanya. "Apa maksud perkataanmu, Aira? "Ibu nggak usah pura-pura lagi. Aira sudah tahu semuanya. Aira bukan perempuan bodoh, Bu!" "Satu hal lagi, Bu! Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu juga dengan kalian. Apapun yang Ibu dan Mas Mulya sembunyikan dari Aira, suatu saat pasti akan terbongkar." Raut wajah ibu terlihat mulai berubah setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Aku tahu beliau mengerti dengan apa yang kuucapkan barusan, hanya saja beliau tetap pura-pura tidak tahu. "Ngomong sama kamu nggak nyambung," ketus Ibu. Ibu pun keluar dari kamarku sambil mengeluarkan kata-kata u*****n yang ditujukan kepadaku. Ibu selalu saja menyalahkanku dan membela anaknya walaupun sudah terbukti bersalah. Jelas saja hal itu membuat Mas Mulya semakin ngelunjak. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN