Chapter 18

1185 Kata
Waktu berlalu sehari lagi, masih belum ada kabar dari Diana jika Max akan kembali. Emily menatap layar ponsel di mana Romi baru saja mengirimkan alamat kantor yang kemarin mereka bicarakan, lokasinya memang cukup jauh dari apartemen Emily. “Lebih baik aku lihat seperti apa kantor di sana sebelum aku melamar pekerjaan di tempat itu.” Emily segera bergegas memakai pakaian rapih dan membawa tasnya ikut serta sebelum dia mulai pergi ke alamat yang Romi berikan. Butuh waktu hampir satu jam perjalanan yang Emily tempuh, lebih lama dari dugaan karena terdapat kemacetan di beberapa titik jalan menuju lokasi yang ingin Emily datangi. Dan akhirnya Emily tiba di sebuah perusahaan, memang bukan di pusat kota tapi lokasinya terlihat cukup strategis untuk ukuran kantor cabang, tapi ini kantor cabang apa? “Aku lupa bertanya dengan Romi mengenai perusahaan apa ini.” gumam Emily, dan untuk memastikan perusahaan apa itu, Emily masuk ke dalam dan tak sengaja ia malah berpapasan dengan orang yang paling tak ingin Emily temui. Keduanya saling bertatapan tak bersahabat. “Kenapa kau di sini?” ujar Raffael. “Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini? Gara-gara kau aku haru mengundurkan diri dari pekerjaan lamaku.” sahut Emily tak kalah sinis. Dari belakang Raffael muncul seorang laki-laki lain, laki-laki itu menatap Raffael dan Emily bergantian. “Ada apa?” tanya Zayn, orang yang mendirikan perusahaan cabang tersebut. “Tidak jadi, sepertinya aku salah tempat untuk melamar menjadi salah satu karyawan di perusahaan ini.” “Tunggu dulu, kau bisa bicara dengan pihak yang bersangkutan lebih dulu. Di perusahaan ini ada dua tempat yang masih kosong, mungkin kau bisa melamar salah satunya.” “Apa? Kau mengijinkan wanita ini kerja di tempatmu?” sahut Raffael, “Kuperingatkan padamu Zayn, dia tidak berkompeten bekerja di perusahaanmu.” tambahnya. Emily mendelik. “Hei, kau meragukan kemampuanku?” “Sudah cukup. Aku tidak mengerti dengan kalian berdua, dan masalah apa yang membuat kalian berdebat seperti ini. Tapi Raffael, untuk apa kau melarangku menerima karyawan baru di tempatku?” “Dia pembuat ulah, lebih baik kau tidak menerimanya dari sekarang atau perusahaanmu akan di rugikan karenanya.” Raffael menuding Emily, merasa tak terima dengan tudingan Raffael, dengan berani Emily menarik kerah baju kemeja yang Raffael pakai. “Kau ingin berkelahi denganku hanya karena artikel yang sudah berlalu itu?!” ujarnya. “Dasar wanita gila, jauhkan tanganmu dariku.” Raffael mendorong Emily sampai hampir jatuh, namun Zayn dengan sigap menangkap tubuh Emily sebelum mendarat di atas lantai. Emily segera bangun dan berdiri normal, ia menoleh ke arah Zayn. “Aku sudah tidak tertarik lagi bekerja jika ada lelaki ini, maaf, aku harusnya tidak membuat keributan di kantormu.” Emily menatap Raffael dengan tatapan paling sinis yang pernah Emily lakukan, lantas sebelum pergi Emily menendang kaki Raffael setelahnya berlari tanpa bersalah. Sementara Raffael mengaduh kesakitan akibat tendangan Emily di tulang keringnya. “Wanita macam apa itu, berani sekali dia.” Zayn terkekeh, membantu sahabatnya duduk di kursi yang ada di dekat mereka, “Aku tidak tau siapa wanita tadi dan apa masalah di antara kalian, sepertinya wanita tadi sangat tidak menyukaimu.” “Dia yang menyebarkan artikel tentangku, kau tau beberapa hari lalu saat aku menjadi topik utama di pencarian gara-gara satu artikel? Dialah pembuatnya, aku membayarnya agar dia menghapus artikel itu sekaligus membuatnya mengundurkan diri dari perusahaan.” “Sepertinya bukan hanya itu saja.” sela Zayn. Raffael berdecih pelan, mengusap bagian tulang keringnya yang masih terasa sedikit sakit. “Aku juga mengatakan jangan pernah menampilkan wajahnya di depanku lagi,” “Sepertinya aku tau alasan perempuan tadi membencimu.” Zayn terkekeh lagi, Raffael mengepalkan tinjunya tapi tak ia gerakkan untuk memukul Zayn. “Harusnya tadi aku menerima perempuan tadi untuk bekerja di sini, seperti apa katamu tadi, dia bisa membuat satu artikel hingga menjadi trending topik, sepertinya kemampuan perempuan tadi memang tidak di ragukan.” Raffael membulatkan matanya jengkel, “Kau ingin aku pecat dari daftar pertemanan?” ancamnya, Zayn kembali tertawa sebelum mereka memutuskan untuk pergi dari perusahaan itu setelah Rffael merasa kakinya lebih baik. _ Emily pergi dari perusahaan yang tak ia sangka malah bertemu dengan Raffael, apa dunia sesempit itu sampai dengan mudahnya ia bertemu kembali dengan orang paling tak ingin ia temui, dan anehnya kenapa Raffael punya jutaan penggemar? Jika saja para penggemar itu tau bagaimana watak asli dari selebriti yang mereka kagumi selama ini, mungkin Raffael bukan apa-apa selain pria arrogan yang menyebalkan. Selama perjalanan Emily bergumam tidak jelas, dalam hati ia juga mengumpati Raffael. Emily memilih singgah di tempat santai untuk menikmati beberapa makanan di siang hari yang cukup panas walaupun sedang musim semi. Lokasinya tak jauh dari apartemen, jadi mungkin jika Diana tiba, Emily bisa dengan cepat sampai di rumah. Emily sudah duduk bertemankan secangkir minuman berwarna biru dan kue coklat, baru satu seruput Emily menikmati minumannya, ada sebuah pertengkaran yang tak jauh dari tempat dia duduk. “Padahal aku juga sangat ingin mencakar wajah Raffael seperti itu tadi, tapi jika itu aku lakukan pasti jutaan penggemar Raffael juga akan balik membuliku.” Emily menggeleng pelan, berurusan dengan Raffael sangat menantang adrenalin, namun Emily cukup puas karena sudah berhasil menendang kaki Raffael dengan sepatunya. Sesekali Emily menatap layar ponsel, berharap Diana menghubunginya dan mengatakan sudah kembali bersama Max. Tapi harapan Emily pupus, pikirannya berganti ke arah, Apa mungkin Max sudah akan kembali ke negara asalnya? Jika memang Max kembali ke negara asalnya berarti cerita yang sedang Emily tulis harus mencari alur yang lain yang mungkin hanya imajinasi semata tanpa ada bayang kehidupan nyata. Tak terasa sudah sejam Emily duduk, makanan dan minumannya pun sudah habis, Emily berjalan ke arah pintu keluar namun baru beberapa kali melangkah dari tempat duduknya, terlihat keributan dari tempat pramu saji, karena penasaran keributan apa yang terjadi, Emily pun mendekat. “Meja nomer dua belum selesai.” “Aku harus ke meja nomer delapan.” “Aku harus bagaimana? Orang sedang memesan di sini, jika aku tinggalkan tempat ini siapa yang akan melayani p********n?” ucap tiga orang yang sepertinya sedang mendebatkan tugas mereka karena kekurangan pegawai. Emily mendekat, ia juga sedang tidak ada pekerjaan, mungkin menjadi karyawan di sebuah kaffe bukan masalah. “Apa kalian butuh bantuan?” tanya Emily. Tiga orang dan satu laki-laki itu menoleh ke arah Emily. “Maaf, Nona. Anda silahkan menikmati hidangan yang kami sementara siapkan.” “Tidak, aku sudah selesai dengan hidangan yang di siapkan, Aku lihat kalian butuh tambahan anggota, bagaimana jika aku membantu?” “Apa tidak masalah dengan Anda?” tanya salah satu dari tiga orang tadi, Emily menggeleng dan ketiga orang itu pun menghela nafas. “Kalau begitu apa kau bisa menjadi kasir?” “Tentu saja.” Jawab Emily, ia menyimpan tasnya sebelum memakai baju seragam seperti tiga orang yang ia ajak bicara barusan. Tiga orang tadi tidak ribut lagi kemudian mengerjakan tugas masing-masing, para pembeli hari ini memang terlihat sangat ramai, tak heran tiga pegawai tadi kelabakan untuk mengurus para pallanggan yang datang. Emily tersenyum, “Setidaknya aku punya pekerjaan untuk mengisi waktu luangku yang membosankan.” batinnya, lalu dengan santai dan seolah sudah ahli, Emily melayani para pembeli yang akan membayar pesanan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN