Chapter 15

1231 Kata
Jika di hitung menggunakan jari, memang sudah sebelas hari Max tinggal di apartemen Emily semenjak Diana menitipkan Max bagaikan barang di apartemen tersebut, Max datang tanpa pakaian lain kecuai yang Max pakai saat itu, tidak ada identitas lain kecuali nama Maxime. Selain itu, sekitar dua jam yang lalu, Max telah membuat Emily salah paham atas kalimat yang Max ucapkan. Dan apa katanya, “Anak yang pintar adalah anak yang penurut?” Emily berdecih, ia mengambil satu bantal yang lain di atas tempat tidurnya untuk di peluk. Tapi sebelum itu, Max mengatakan hal yang lain dan berhasil membuat Emily berdebar-debar, Hans tak pernah menghawatirkannya seperti apa yang Max lakukan tadi, sejak jalan malam bersama Max selesai, Emily tak bisa melupakan beberapa kalimat terakhir Max sebelum mereka memutuskan pulang. Baru sebelas hari dan Emily memiliki kesan berbeda-beda tentang Max, ia berpikir Max adalah pria yang dingin namun pintar memasak karena mungkin Max adalah koki, tapi kesan yang Emily dapat malam ini berbeda. Max cukup perhatian meski dengan cara yang berbeda. Emily tak bisa memejamkan matanya barang semenit, ia memilih duduk mengambil laptop yang berada di atas meja, benda lipat persegi itu di pangku, Emily punya cerita terbaru yang harus ia buat selama ada ide yang muncul di kepalanya saat ini. Sembari tersenyum, jari tangan Emily bergerak di atas papan keyboard untuk membuat sebuah kisah romansa terbaru, meski belum memiliki judul untuk cerita tersebut, Emily bisa pikirkan judul itu nanti setelah ia menulis beberapa bab terlebih dahulu malam ini, lagi pula ia juga tak bisa tidur. Satu jam ... dua jam hingga tiga jam terlewati tanpa terasa, tak tahu jika sekarang sudah pukul tiga dini hari, Emily tak masih tak merasakan kantuk, terlalu bersemangat melanjutkan karya terbarunya sampai langit mulai memunculkan semburat cahaya matahari, dan saat itu Emily mulai lelah, matanya terasa berat, setelah menyimpan file yang ia ketik semalam, ia tertidur dengan pulas, lagi pula hari ini ia tidak punya pekerjaan apapun. Hidung Emily bergerak, mengendus aroma wangi yang memasuki sela pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat, dengan mata terpejam ia bangun dari tempat tidur, berjalan dengan sempoyongan mendekati pintu, tak sengaja keningnya terantuk oleh Pintu dan berhasil menyadarkan Emily dari tidur. “Astaga, aku harus membersihkan wajahku dulu sebelum menikmati masakan Max.” Emily berujar sendiri, lantas tak butuh waktu lama bagi wanita itu berada di kamar mandi, mengikat rambutnya secara asal sebelum menghmapiri Max yang tampak tampan memakai celemek dan memegang sepatula di tangannya. Tatapan dingin yang sudah biasa Emily lihat selama beberapa hari ini menyapa kedatangannya, Max melihat kedatangan Emily, sensor biru kembali muncul untuk mendeteksi kondisi Emily yang terlihat tidak baik-baik saja. “Begadang tidak baik untuk tubuh manusia.” ucap Max sebelum ia melihat masakan yang sementara membuat sesuatu. “Kau berkata seperti itu seolah kau bukan manusia.” Emily tertawa pelan. “Tapi, darimana kau tau aku begadang? Kau mengintipku saat ak...,” “Kantung matamu menjelaskan kau tidak tidur dengan cukup tadi malam.” sahut Max menyela kalimat Emily, spontan tangan Emily meraba bagian matanya. “Benarkah? Apa kantung mataku sangat kentara seperti yang kamu katakan?” Emily melihat Max datang membawakan dua jenis menu yang berbeda. Apron dan benda lain yang Max pakai di simpan kembali ke tempat semula lalu ia duduk di kursi yang berseberangan meja dengan Emily. “Tidak tidur denga baik bisa membuat tekanan darahmu tidak seimbang, kau bisa terkena penyakit dengan mudah jika kebiasaanmu yang seperti itu tetap kau pertahankan dan ...,” Emily terdiam ia mendengarkan lanjutan dari kalimat Max, tutur kata Max saat menjelaskan seperti jauh lebih baik dari dokter, Emily heran, lulusan dari mana Max sampai kepalanya seperti terisi oleh kepintaran, Emily sendiri tidak begitu paham dengan apa itu bahasa kedokteran yang terasa asing di telinganya. Selain itu ia juga jarang ke rumah sakit walaupun sedang sakit. Setelah Max berucap panjang kali lebar mengenai kesehatan, Emily bertepuk tangan dengan kagum. “Kenapa kau tidak menjadi seorang dokter saja? Keahlianmu dalam menjelaskan mengenai hal medis sangat bagus, mungkin kau juga butuh terjun langsung untuk mengobati pasien.” “Aku tidak bisa melakukan hal itu.” “Kenapa?” “Karena aku bukan ma...,” kalimat Max terjeda, lagi-lagi ada sensor yang terdeteksi agar Max tidak melanjutkan kalimatnya, itu adalah ulah Diana yang sengaja menjeda kalimat Max agar tidak di lanjutkan. Diana di tempat lain segera mengubah kendali Max, lantas Max melanjutkan kalimat lain yang melenceng dari kalimatnya yang terjeda barusan. “Bukan apa?” tanya Emily. “Bukan lulusan kedokteran.” Diana menghela nafas lega, “Syukurlah, hampir saja Max mengatakan kalau dia bukan manusia di depan Emily!” seru Diana pada profesor yang terlihat ketiduran dengan posiisi duduk. Diana kembali melihat apa yang Max lakukan semalam, tadi malam ia ketiduran karena lelah menyiapkan perlengkapan update terbaru agar Max bisa benar-benar bisa terlihat dengan manusia, kalau perlu jangan ada bedanya selain organ tubuh dan kemampuan Max yang tentunya bisa melebihi kekuatan manusia normal. Emily menatap Max, tiba-tiba saja dagunya terasa gatal. “Kalau kau bukan lulusan kedokteran bagaimana bisa kau begitu fasih menjelaskan mengenai hal medis seolah kau memang ahli di bidang itu?” “Aku mempelajarinya, dan aku juga tidak pernah sekolah jika kau ingin tau.” Semakin di buat tidak percaya, bagaimana mungkin? Apa di kepala Max ada internet yang bisa menjangkau informasi yang cepat dan akurat tanpa perlu belajar? Mustahil, layaknya robot saja, pikir Emily tak yakin. Emily terkekeh, “Maksudmu seperti saat kau mengatakan jika kau belajar memasak hanya dalam satu malam dengan cara mengandalkan internet?” tanya nya. “Itu benar, internet memudahkanku untuk mengakses banyak hal dengan cepat.” jawab Max, Emily mengangguk mengerti di selingi kekehan pelan. Betapa beruntungnya punya pemikiran seperti Max, dia bisa mengetahui banyak hal hanya dengan mengandalkan internet, daya ingat yang sangat luar biasa, Emily akui itu. Sepertinya keberadaan Max di apartemennya membuat Emily punya cukup ide untuk melanjutkan cerita yang ia buat semalam. Selama kurang lebih delapan belas hari lagi, itu mungkin cukup membuat Emily menyelesaikan satu buku terbarunya, dan akan menjadi rekor tercepat selama Emily menjadi seorang penulis n****+. Lalu yang perlu Emily lakukan adalah mencari kegiatan lain agar ia punya cukup banyak adegan yang di perankan para tokoh dalam novelnya nanti, tapi kegiatan apa? Dan apa Max akan setuju dengan ide anehnya ini jika Max tau ia adalah seorang penulis yang sedang mencari bahan untuk kelanjutan dalam cerita terbaru? “Max.” panggilnya. “Ya?” “Apa aku bisa meminta bantuanmu?” “Mengenai hal apa?” tanya Max balik. Emily justru ragu mengatakan kalau ia butuh bantuan Max untuk membuat suasana romantis layaknya dalam n****+ romansa, ia dan Max belum sedekat itu walaupun sudah belasan hari tinggal di tempat yang sama. “Tidak jadi, lupakan saja.” Emily menarik masakan yang Max buat untuk ia nikmati, hal itu adalah cara jitu untuk menghindar dari pertanyaan yang mungkin saja akan Max lontarkan. Max memperhatikan Emily, namun matanya menyesuaikan data yang ia peroleh dari internet, seperti apa yang Diana katakan, jangkauan internet yang di pakai oleh Max terlalu cepat dan itu membuat processor tidak dapat menampung semuanya. Muncul tulisan berwarna merah di layar komputer Diana, dan bunyi beeb yang cukup kencang. Diana segera berlari dari arah toilet, tanda merah bertuliskan WARNING!! menjadi pengingat keras untuk Diana jika hari ini juga Max membutuhkan penyimpanan berkapasitas besarnya, jika tidak, humanoid itu akan mengalami kerusakan yang tidak bisa Diana bayangkan berapa banyak kerugian yang harus ia tanggung setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN