"Tari ...? Tari?!"
Mentari terhenyak ketika Amara memanggilnya dengan suara cukup keras itu. Ia yang tadinya menghadap komputer dengan setengah melamun, langsung menoleh ke arah Amara.
"Hah? Ada apa, Am?" tanya Mentari yang segera mencoba mengembalikan fokusnya.
"Ada apa denganmu hari ini? Seharian kamu tidak konsentrasi bekerja. Tadi, saat rapat kamu juga kelihatan tidak fokus. Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Aku ... hanya bingung dengan sikap kak Arka," jawab Mentari terdengar ragu-ragu.
"Bingung kenapa?"
"Sikapnya sangat dingin, tapi diam-diam perhatian. Dia, juga sangat jarang bicara, tapi tidak menunjukkan rasa marah. Dia sepertinya peduli, tapi kadang mengabaikanku. Aku, sama sekali tidak tahu seperti apa karakternya?"
"Wah, sepertinya kamu sudah mulai suka, ya?" goda Amara.
"Bukan begitu!" sanggah Mentari. "Aku pikir, kamu benar menyuruhku untuk mulai menjalin hubungan baik degan kak Arka. Semakin kita tidak berbicara satu sama lain di dalam satu rumah, rasanya semakin aneh."
"Betul, kan! Jadi, apa kamu sudah berbicara dengannya?"
"Aku berusaha memulainya, tapi sepertinya tidak berjalan lancar. Dia seperti sedang menjauhiku."
"Kenapa dia menjauhimu?"
"Mungkin, karena selama ini aku bersikap buruk padanya. aku sudah mengatakan kata-kata yang menyakiti hatinya. Padahal, kalau dipikir-pikir kembali, dia sudah peduli padaku. Tapi, aku justru sama sekali tidak menghargainya."
"Kalau begitu, minta maaf saja!"
"Bicara sih mudah. Tapi, aku sendiri merasa tidak yakin."
"Tapi, menurutku kak Arka sudah cukup baik padamu setelah kalian menikah."
"Benar juga. Setelah menikah, Kak Arka sama sekali tidak berbuat macam-macam padaku. Bahkan, kalau aku coba ingat-ingat, selama ini aku merasa kak Arka sudah banyak membantuku. Hanya saja karena aku terlalu emosi dengan keadaan yang sudah berlalu, sehingga aku hanya marah-marah."
"Nah, jadi aku yakin kalau kamu minta maaf dan memulai bicara dengannya, dia pasti akan menanggapinya dengan baik."
"Baiklah. Aku akan lebih berusaha untuk mencobanya lagi."
"Bagus! Sekarang kamu fokus saja pada Kak Arka. Kamu, harus memperbaiki hubungan kalian. Meski bukan sebagai suami istri, tapi kalian masih bisa menjadi teman," tutur Amara.
Mentari terdiam memikirkan kalimat Amara untuknya. Benar! Dengan begini, Mentari semakin yakin untuk kembali bicara dengan Arka. Ia juga ingin meminta maaf, atas sikapnya sebelumnya.
***
Mentari membuka pintu apartemen dari luar. Ia baru pulang kerja. Hari ini, ia pulang lembur. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam. Setelah itu, ia berjalan ke arah ruang tamu dan meletakkan tasnya di sofa. Mentari lalu melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia kemudian menyandarkan badannya pada sofa untuk melepas kepenatannya.
Mentari melihat sekitar ruangan apartemennya nampak sepi. Tidak ada tanda-tanda orang. Mentari lalu menengok ke arah kamar Arka. Ia melihat kamarnya tertutup dan tidak ada suara.
"Sepertinya dia memang belum pulang," gumam Mentari berbicara sendiri, ditujukan untuk Arka.
Mentari kemudian berdiri dari sofa. Ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Setelah mengambil gelas, Mentari menuangkan air minum dan meminumnya.
Pada saat minum, Mentari mendadak terhenti di tengah-tengah ia minum. Saat itu, ia melihat ke arah rak cangkir yang tadi pagi, sempat membuatnya heboh. Mentari tertegun melihat rak tersebut.
Rak yang tadi pagi berisi cangkir-cangkir yang ditata itu jadi lebih pendek dari sebelumnya. Mentari mengerjapkan mata dan menggosok-gosoknya. Benar! Rak itu jadi lebih pendek seukuran dengan tinggi badannya.
Mentari lalu berjalan mendekat dan mengambil cangkir dari sana. Mentari tidak sedang mengkhayal dan ini bukan imajinasinya. Mentari benar-benar bisa mengambil cangkir dan piring seukuran tinggi badannya, tanpa perlu menggunakan bangku pendek dan berjinjit.
Mentari jadi teringat kejadian tadi pagi saat Arka menolongnya yang hampir terjatuh. Siapa lagi yang membuat tempat cangkir ini jadi lebih pendek selain Arka? Pikir Mentari.
"Jadi, karena tidak ingin aku terjatuh, dia membuatnya lebih pendek?" gumam Mentari berbicara sendiri. Mentari lalu tersenyum kecil terharu sembari memandangi cangkir tersebut.
"Tunggu! Tapi, kapan dia membenarkan tempat cangkir ini? Bukankah tadi dia berangkat kerja lebih pagi dariku? Dan sekarang, dia juga masih belum pulang?" lanjut Mentari masih menerka-nerka sendiri.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka dari arah luar. Membuat Mentari terhenyak dan segera menoleh ke arah pintu. Arka, baru pulang dan berjalan masuk ke dalam. Mentari tercekat ketika melihat Arka pulang itu.
Arka berjalan ke arah ruang tamu. Tepat saat itu, ia melihat Mentari sedang berdiri di dapur, memegang salah satu cangkir yang baru ia ambil dari tempat rak yang lebih pendek. Mata mereka bertemu dan mereka saling tatap dalam waktu sekian detik. Kegiatan saling pandang kembali terulang dan keduanya sama-sama tidak berbicara.
Sekian detik berlalu dengan hanya saling tatap. Arka, tanpa sepatah kata apapun, mengalihkan pandangannya. Ia kemudian berjalan akan masuk ke arah kamarnya. Membuat Mentari kebingungan.
"Kalau dia masuk, aku akan kehilangan kesempatan lagi untuk meminta maaf dan berbicara dengannya," kata Mentari dalam hati.
"Tunggu, Kak Arka!" panggil Mentari tiba-tiba.
Arka yang sudah sampai tepat di depan pintu kamarnya itu pun, terhenti. Ia menoleh ke arah Mentari. Mentari dengan tidak yakin dan ragu-ragu, berjalan mendekat ke arah Arka. Mendadak, Mentari merasa gugup.
Mentari dapat melihat ekspresi Arka yang memperhatikannya dengan tatapan aneh, ketika mendapati dirinya berjalan mendekat. Apa boleh buat? Mentari memang harus memulai duluan untuk mengakhiri pertikaian batin mereka.
"Ada apa?" tanya Arka saat Mentari sudah berdiri di depannya.
"Eee ... Kak Arka baru pulang, ya?" tanya Mentari mencoba mencari basa-basi yang sebenarnya sudah sangat basi. Hanya itu yang terpikir di otak Mentari saat ini.
"Hm!" Arka mengangguk satu kali menjawab Mentari. Mentari lalu tersenyum canggung menanggapinya.
"Kenapa dia tidak balik bertanya? Apa dia memang langsung hanya membicarakan soal penting-penting saja?" tanya Mentari dalam hati.
"Ada apa?" Arka bertanya untuk kedua kali. Karena Arka merasa, Mentari terus diam dan berdiri di depannya dalam waktu yang cukup lama. Membuat Mentari terhenyak.
"Eee ... apa rak piring di dapur itu kak Arka yang memindahkannya?" tanya Mentari.
Arka menoleh ke arah rak yang ditunjuk Mentari. Lalu ia kembali menengok ke arah Mentari lagi. Mentari mencoba membaca ekspresi wajah Arka. Sayangnya, sama sekali tidak ada kode apapun yang bisa ia dapat.
"Hm!" jawab Arka sekali lagi dengan mengangguk satu kali.
Mentari pun mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali tanda mengerti. Ia kembali berpikir. Ternyata, Arka memang bisa diandalkan sebagai lelaki.
"Kamu, hanya ingin bertanya itu?" tanya Arka lagi yang kembali membuat Mentari terhenyak.
"Ah! Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kak Arka."
"Soal apa?" tanya Arka.
Mentari mengepalkan tangan erat-erat, mengumpulkan keberanian. Ia tidak tahu kalau ternyata sesulit ini untuk hanya sekedar meminta maaf. Mentari lalu menarik nafas dalam-dalam mengukuhkan niatnya.
"Maaf," ucap Mentari pelan dengan menundukkan kepalanya.
Mentari mengatakannya dengan lumayan berat. Saat mendengarnya, jujur saja Arka tercekat dan tidak menyangka. Namun, ia masih saja diam tanpa ekspresi.
"Maafkan aku, karena sudah mengatakan sesuatu yang menyakiti kak Arka sebelumnya. Mungkin, aku hanya fokus pada kejadian malam itu. Aku merasa, kak Arka tidak sejahat yang aku kira," tambah Mentari dengan masih menundukkan kepala. Arka memperhatikannya.
"Tidak apa-apa. Aku juga tidak semarah itu padamu," jawab Arka. Perlahan, Mentari kemudian mulai mengangkat kepala dan melihat ke arah Arka.
"Tapi, kenapa aku merasa Kak Arka terus menjauhiku? Kak Arka juga sangat jarang bicara padaku?"
"Aku memang jarang bicara. Aku tidak berniat menjauhimu."
"Benarkah?" tanya Mentari sembari berjalan mendekat ke arah Arka. Membuat Arka terus melihat Mentari yang semakin dekat dengannya. "Kalau begitu, apa kak Arka sudah tidak marah lagi padaku?" tanya Mentari yang sudah berdiri di depan Arka.
Arka diam kembali dan tidak segera menjawab. Melihat Mentari yang tersenyum ke arahnya membuat jantungnya berdetak tidak normal. Meski begitu, ia tetap masih saja memberikan wajah datar tanpa ekspresi.
"Dari awal, aku memang tidak pernah marah padamu," jawab Arka.
"Kalau begitu, mulai sekarang kita adalah teman," kata Mentari sembari menyodorkan salah satu tangannya.
Arka melihat ke arah tangan Mentari. Ia sedikit tercekat juga dengan sikap Mentari. Butuh waktu untuk memproses sesuatu di dalam kepala Arka. Sekian detik kemudian, akhirnya Arka membalas salam tangan Mentari. Mereka saling bersalaman. Mentari pun jadi tersenyum lega.