Bab 10. Mengantar Kerja

1303 Kata
Arka membuka pintu kamar dari dalam. Begitu dibuka, ia melihat Mentari sudah ada di dapur sedang membuat kopi. Arka pun menautkan kedua alisnya heran melihat Mentari. Saat itu, Mentari juga melihat Arka yang baru saja keluar kamarnya. "Kak Arka sudah bangun?" sapa Mentari. Arka tidak langsung menjawab. Ia menolehkan kepala melihat ke arah jam dinding. Masih pukul lima pagi. Membuatnya heran. "Kenapa dia sudah bangun sepagi ini? Bahkan ia sudah membuat kopi di pagi yang masih petang," gumam Arka bertanya dalam hati. Mentari lalu meneruskan mengaduk kopi di cangkir. Setelah itu, ia berjalan membawa cangkirnya mendekat ke arah Arka. Arka masih diam saja dengan tatapan herannya. "Ini, kopi untuk kak Arka," kata Mentari sembari memberikan secangkir kopi yang baru saja ia buat. Arka semakin menautkan kedua alisnya dalam. Ia bingung dengan sikap Mentari dari tadi malam. Mentari tiba-tiba menjadi sangat ramah dan baik padanya. Membuat Arka masih harus memproses dalam kepalanya. "Kenapa, tiba-tiba kamu bersikap baik padaku?" tanya Arka. "Bukankah aku sudah bilang tadi malam, kalau kita sudah bisa menjadi teman?" "Ya. Kita teman, tapi kenapa kamu membuatkan kopi untukku?" "Sebenarnya, ini hanya rasa terima kasih dariku," kata Mentari pelan dengan ragu-ragu. "Terima kasih untuk apa?" "Kak Arka, sudah menolongku saat aku akan jatuh kemarin." "Ooh ... itu kan hal biasa," jawab Arka. Arka pun akhirnya menerima kopi buatan Mentari dan mulai meminumnya. Satu seruput membuat hati Arka sangat senang. Ini, adalah kopi pertama buatan istrinya. Meski Mentari menganggap mereka hanya berteman. Namun, Arka merasa sangat bahagia. Tapi, Arka tetap menyembunyikan rasa senangnya itu dan masih hanya memberikan ekspresi biasa saja di depan Mentari. "Bagaimana, Kak?! Enak kopi buatanku?" tanya Mentari yang mengembalikan fokus Arka. "Hm!" Arka hanya menjawabnya dengan menganggukkan kepala satu kali. Mentari tersenyum lebar melihatnya. Ia lalu kembali ke dapur dan juga mengambil cangkir kopinya sendiri. Kemudian dilanjut berjalan ke arah meja makan. Arka juga ikut duduk di kursi meja makan. Mereka meminum kopi bersama di meja makan. Baru pertama kali, mereka satu meja makan bersama. "Ini masih sangat petang. Kenapa kamu sudah bangun?" tanya Arka. "Aku, ingin bangun lebih pagi dari Kak Arka." "Kenapa?" "Aku, ingin berterima kasih pada kak Arka." "Bukankah tadi kamu sudah mengatakannya?" "Kak Arka, yang sudah memindahkan rak tempat cangkir dan piring di atas itu, untukku. Jadi, aku membuatkan kak Arka kopi untuk membalasnya," ujar Mentari. Arka yang akan meminum kopinya, tidak jadi. Ia melihat ke arah Mentari, tercekat dan sedikit salah tingkah. Sekian detik berlalu, Arka kembali melanjutkan meminum kopinya. "Penataan ruang kak Arka, bagus sekali, ya," kata Mentari melihat seisi ruangan. "Aku kan bekerja di perusahaan furniture. Tentu saja, aku sudah terbiasa." "Tapi, kak Arka kan CEO di Elme Company. Aku kira, seorang pimpinan hanya bekerja soal data dan dokumen saja." "Mana bisa begitu? Tentu saja aku juga harus langsung terjun ke lapangan," jawab Arka lagi. Mentari kembali mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Tapi, ngomong-ngomong kapan Kak Arka memindahkan rak cangkir itu jadi lebih pendek? Saat itu kan, Kak Arka berangkat lebih pagi, dan pulang lebih malam dariku?" "Waktu istirahat, aku sedang senggang. Dari pada aku menganggur di kantor, aku pulang saja. Karena aku sedang bosan, aku memindahkan raknya saja," jelas Arka. Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Arka lalu melihat ke arah Mentari dan segera ingin mengklarifikasi sesuatu. "Aku, memindahkannya karena memang menurutku tempatnya lebih bagus di bawah," tambah Arka. Mentari tersenyum mendengarnya. Ia tahu, Arka memang sengaja memindahkannya agar Mentari tidak terlalu tinggi mengambilnya. Tapi, Arka tidak mengakuinya. "Meski begitu, aku merasa tertolong. Karena aku jadi lebih mudah untuk mengambilnya," kata Mentari sembari tersenyum manis. Arka, hanya berdehem salah tingkah melihat senyuman manis Mentari. "Kak Arka, setiap pagi apa selalu berangkat sepagi ini?" Mentari mengubah topik pembicaraan. "Hari ini, aku harus ke bengkel dulu untuk mengambil mobilku. Aku masuk kerja di jam normal. Jam delapan pagi." "Oooh ...." Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Mentari lalu kembali meneguk kopinya. Arka diam-diam melirik ke arah Mentari. Kemudian ia berdehem beberapa kali. "Ngomong-ngomong, kamu juga berangkat sekitar jam setengah delapan, kan?" tanya Arka dengan ragu-ragu sembari memegangi leher bagian belakangnya. "Iya." Mentari mengangguk dua kali. "Apa ... kamu mau aku antar?" tawar Arka dengan nada yang sama. *** "Terima kasih banyak, Kak," ujar Mentari sembari melepaskan sabuk pengamannya di mobil Arka. Arka hanya menganggukkan kepala pelan menanggapi Mentari. Sesuai tawaran Arka, setelah ia mengambil mobilnya, ia mengantar Mentari pergi ke kantor. Mentari keluar dari mobil Arka. Tepat saat itu, dari depan gedung perusahaan Mentari, Amara juga baru datang dan sedang berdiri di depan pintu utama masuk. Amara melihat Mentari yang baru turun dari mobil yang dikendarai Arka. Amara memperhatikan Mentari yang diantar oleh Arka. Membuat Amara menautkan kedua alisnya heran. Amara juga melihat, Mentari sudah bertegur sapa dengan Arka. Sekian detik kemudian, Mobil Arka pergi setelah Mentari menjauh dari mobilnya. Amara memperhatikan, Mentari berbalik dan berjalan ke arah gedung tempat kerjanya. Mentari juga melihat Amara yang berdiri di pintu utama perusahaannya. Mentari pun mendekati Amara. "Pagi, Tari! Wah, lihatlah perempuan yang sudah menikah ini! Kamu sudah berangkat kerja bersama dengan suamimu, ya?" goda Amara. "Hentikan, Am! Tadi, kak Arka hanya menawariku. Aku menerimanya karena menghargai bantuannya." "Padahal sebelumnya kamu sangat menolaknya, bukan? Jadi, apa yang terjadi kemarin? Apa ini efek karena kamu sudah meminta maaf pada kak Arka?" "Ya ... aku rasa begitu," ungkap Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Kak Arka, orang yang baik." "Eh, Tari! Aku pikir, lebih baik kamu memang sangat cocok dengan kak Arka!" ujar Amara. Mentari pun jadi menoleh ke arah Amara lagi. "Lagi-lagi, kamu membicarakan itu!" "Lalu kenapa? Bukankah bagus kalau kalian memang bersama? Kalau kamu terus mengelaknya, apa kelanjutan hubunganmu dengan kak Arka? Memangnya kalian mau bercerai?" Mentari jadi terdiam berpikir. Mendengar kalimat Amara, mendadak Mentari jadi memikirkan masa depannya. Masa depan bayi yang dikandungnya. Mentari jadi merenung dibuatnya. Amara memperhatikannya. "Tari? Apa yang kamu pikirkan? Kenapa tiba-tiba jadi diam?" "Aku, jadi berpikir soal masa depanku." "Apa lagi yang kamu risaukan? Kamu sudah punya suami, Ayah dari calon anakmu. Suamimu juga bertanggung jawab! Tentu saja kamu tinggal menunggu sampai masa itu berakhir." "Entahlah? Aku masih tidak begitu yakin! Yang jelas, sekarang aku hanya menjalaninya saja. Lagi pula ... sebenarnya aku tidak pernah mencintai kak Arka. Dan juga ... aku masih belum bisa melupakan Edo," ujar Mentari nampak ragu-ragu. Ia menundukkan kepala saat berbicara. Amara menghela nafas beratnya. "Tari! Kamu kan sudah menikah. Kamu tidak seharusnya terus-menerus memikirkan Edo!" kata Amara. "Aku tidak memikirkan Edo dengan sengaja! Tapi, aku masih belum bisa menghilangkan perasaanku padanya." "Tari, aku beritahu padamu! Menurutku, kak Arka lah yang lebih pantas denganmu! Edo tidak cocok untukmu. Lagi pula, Edo ke luar negeri dan sampai sekarang dia sama sekali tidak menghubungimu. Pasti, dia di sana juga sudah melupakanmu," ujar Amara lagi. Kali ini dengan memberikan penekanan pada kalimatnya. Mentari menautkan kedua alisnya mendengar ungkapan Amara itu. "Kenapa, kamu jadi menjelek-jelekkan Edo?" "Aku tidak menjelek-jelekkannya. Aku hanya takut kalau kamu terlalu berharap, kamu akan kecewa sendiri. Ingat kataku! Lepaskanlah saja Edo." Mentari pun diam dan masih belum menanggapi Amara. Ia jadi berpikir mendengar kalimat Amara tadi. Tiba-tiba, ponsel Amara memberikan suara notifikasi. Membuat Amara mengalihkan fokusnya pada ponsel. Amara mengambil ponsel dari dalam tasnya. Setelah itu, ia membacanya. "Aduh! Aku lupa, dokumen ke pak Aris belum aku antar! Ini sudah jam delapan ternyata! Waktu kenapa cepat sekali berlalu?!" kata Amara yang mengembalikan ponselnya ke dalam tasnya lagi. "Tari, aku duluan, ya! Aku masih harus meng-copy dokumennya sebelum diantar ke pak Aris!" kata Amara dengan nada setengah panik dan terdengar tergesa. "Iya ... iya! Cepatlah!" kata Mentari. Amara pun segera berjalan menjauhi Mentari. Mentari masih berdiri di tempat dan tidak segera pergi. Ia melihat Amara yang berjalan cepat setengah berlari menuju ke tangga dan menaikinya terburu-buru. Dari kejauhan, Mentari masih memperhatikan Amara yang menaiki tangga itu. Mengingat kalimat Amara untuknya baru saja, rasanya ada hal aneh yang membuatnya berpikir. Namun, sekian detik kemudian Mentari segera menggelengkan kepala cepat dan melupakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN